Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memiliki peran krusial dalam menjaga keamanan Indonesia dari ancaman terorisme. Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia telah menghadapi berbagai ancaman teror, salah satunya yang paling menonjol adalah kelompok Jamaah Islamiyah (JI). JI dikenal sebagai organisasi teroris yang memiliki keterkaitan dengan Al-Qaeda dan terlibat dalam berbagai aksi teror di wilayah Asia Tenggara, termasuk serangan bom Bali pada tahun 2002 yang menewaskan lebih dari 200 orang.
Setelah bertahun-tahun menjadi ancaman utama, JI secara bertahap mengalami kemunduran akibat berbagai operasi keamanan, penangkapan, dan upaya deradikalisasi. Namun, kemunduran JI tidak berarti akhir dari ancaman terorisme di Indonesia. BNPT kini menghadapi tantangan baru di era pasca-Jamaah Islamiyah yang memerlukan penyesuaian strategi dan pendekatan dalam menangani terorisme yang semakin dinamis dan kompleks.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi BNPT pasca-JI adalah munculnya kelompok-kelompok teroris baru yang lebih terdesentralisasi dan sulit dideteksi. Jika JI beroperasi dengan struktur hierarkis yang relatif jelas, kelompok teroris pasca-JI, seperti Jamaah Ansharut Daulah (JAD), cenderung beroperasi dalam sel-sel kecil yang terpisah satu sama lain. Kelompok-kelompok ini sering kali tidak memiliki struktur kepemimpinan yang terpusat, sehingga mempersulit aparat keamanan untuk menargetkan mereka secara efektif. Selain itu, kelompok-kelompok ini lebih fleksibel dalam melakukan rekrutmen dan menjalankan operasi mereka, termasuk dengan memanfaatkan media sosial dan teknologi digital untuk menyebarkan ideologi mereka dan merekrut anggota baru.
BNPT juga harus menghadapi perubahan dalam strategi dan taktik teroris yang semakin memanfaatkan serangan-serangan berskala kecil namun berdampak besar. Jika pada masa lalu serangan bom skala besar seperti yang dilakukan JI menjadi ciri khas terorisme di Indonesia, sekarang kita melihat tren serangan yang lebih sederhana tetapi tetap mematikan, seperti penusukan, pengeboman skala kecil, atau serangan menggunakan senjata tajam. Serangan seperti ini lebih sulit dicegah karena dilakukan oleh individu atau sel kecil yang bergerak sendiri dan tidak memerlukan perencanaan logistik yang rumit. Dengan demikian, BNPT harus lebih fokus pada deteksi dini dan pencegahan terhadap aksi terorisme yang dilakukan oleh individu-individu yang sudah teradikalisasi.
Selain ancaman yang datang dari kelompok-kelompok baru di dalam negeri, BNPT juga dihadapkan pada tantangan globalisasi terorisme. Fenomena “foreign terrorist fighters” atau pejuang teroris asing menjadi salah satu tantangan besar di era pasca-JI. Banyak warga negara Indonesia yang pergi ke luar negeri, terutama ke Suriah dan Irak, untuk bergabung dengan kelompok teroris seperti ISIS. Meskipun ISIS telah mengalami kekalahan secara teritorial, ideologi dan jaringan mereka masih hidup.
Mereka yang kembali ke Indonesia, baik sebagai pejuang yang sudah terlatih atau sekadar simpatisan, membawa potensi ancaman serius bagi keamanan nasional. Para “returnees” ini tidak hanya terlatih dalam taktik militer, tetapi juga berpotensi untuk menyebarkan ideologi radikal kepada orang-orang di sekitarnya. Mengelola kembalinya pejuang teroris asing ini memerlukan strategi yang komprehensif, termasuk program deradikalisasi yang efektif serta pengawasan yang ketat.
Di samping tantangan operasional, BNPT juga harus berhadapan dengan masalah ideologis yang lebih dalam. Radikalisasi dan penyebaran ideologi ekstremis masih menjadi masalah yang signifikan, terutama di kalangan generasi muda. Meskipun Jamaah Islamiyah sudah melemah, ideologi yang mereka wariskan tetap bertahan dan menemukan bentuk-bentuk baru dalam kelompok-kelompok lain.
BNPT harus bekerja sama dengan lembaga pendidikan, tokoh agama, dan masyarakat sipil untuk menangkal penyebaran ideologi radikal ini. Pendidikan yang menekankan pentingnya toleransi, pluralisme, dan pemahaman agama yang moderat menjadi kunci dalam mencegah generasi muda terjebak dalam jeratan radikalisme.
Program deradikalisasi BNPT juga menjadi tantangan tersendiri. Meskipun banyak teroris yang berhasil ditangkap dan menjalani proses hukum, upaya deradikalisasi untuk memulihkan mereka dari ideologi radikal tidak selalu berjalan mulus. Beberapa mantan narapidana teroris kembali terlibat dalam kegiatan terorisme setelah dibebaskan, menunjukkan bahwa proses deradikalisasi memerlukan pendekatan yang lebih intensif dan berkelanjutan. Hal ini membutuhkan tidak hanya program pendidikan ulang, tetapi juga dukungan sosial dan ekonomi bagi mantan teroris agar mereka dapat kembali ke masyarakat tanpa mengalami diskriminasi atau kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan.
Lebih jauh lagi, BNPT juga perlu menghadapi tantangan dalam hal koordinasi dan sinergi antara lembaga pemerintah, aparat keamanan, serta masyarakat sipil. Dalam era pasca-JI, di mana ancaman terorisme menjadi lebih beragam dan terfragmentasi, pendekatan satu dimensi dari aparat keamanan saja tidak lagi cukup. BNPT perlu membangun kemitraan yang lebih erat dengan berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil, lembaga agama, dan komunitas lokal. Pemberdayaan masyarakat lokal dalam upaya pencegahan terorisme sangat penting, karena mereka sering kali lebih memahami dinamika sosial dan budaya yang terjadi di wilayahnya masing-masing.
Di era pasca-Jamaah Islamiyah, BNPT menghadapi lanskap terorisme yang semakin rumit dan dinamis. Meskipun JI telah mengalami kemunduran, ancaman terorisme tetap ada dalam bentuk-bentuk baru yang memerlukan strategi penanggulangan yang lebih fleksibel dan adaptif. BNPT harus terus mengembangkan metode yang lebih canggih dalam deteksi dan pencegahan terorisme, sembari memperkuat program deradikalisasi dan kerjasama dengan berbagai elemen masyarakat. Dengan strategi yang komprehensif dan partisipasi semua pihak, Indonesia dapat lebih siap menghadapi ancaman terorisme yang berkembang di masa depan.