Momentum Suksesi Kekuasaan; Dari Transisi Kepemimpinan Menuju Rekonsiliasi Kebangsaan

Momentum Suksesi Kekuasaan; Dari Transisi Kepemimpinan Menuju Rekonsiliasi Kebangsaan

- in Narasi
36
0
Momentum Suksesi Kekuasaan; Dari Transisi Kepemimpinan Menuju Rekonsiliasi Kebangsaan

Minggu, 20 Oktober 2024 merupakan hari bersejarah bagi demokrasi kita. Pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka resmi dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI masa bakti 2024-2029. Suasana pelantikan berjalan khidmat. Dilanjutkan pesta rakyat yang semarak.

Pelantikan presiden dan wakil presiden adalah bagian penting alias puncak dari mekanisme suksesi kekuasaan lima tahunan. Sistem demokrasi kita mewajibkan adanya pergantian kekuasaan sekali dalam lima tahun. Suksesi kekuasaan di level elite itu bertujuan agar konsolidasi demokrasi tetap terjaga sekaligus juga memastikan agar sirkulasi kepemimpinan berjalan sebagamana mestinya.

Galibnya, masa transisi itu selalu diikuti dengan potensi konflik horisontal. Baik sosial maupun politik. Pergantian kekuasaan selalu menghadirkan gejolak, baik di kalangan elite maupun masyarakat akar rumput. Hal ini sebenarnya wajar, mengingat kontestasi politik acapkali memang menyisakan residu kekecewaan dari sejumlah pihak.

Yang terpenting adalah bagaimana potensi konflik horisontal itu bisa dimitigasi sejak dini. Jika melihat kondisi politik dan demokrasi Indonesia saat ini, kita sebenarnya tidak perlu khawatir berlebihan. Dalam artian, ancaman konflik horisontal itu sepertinya kecil kemungkinan akan terjadi. Mengapa demikian? Setidaknya kita bisa melihat dari banyak pembacaan.

Modal Peralihan Kekuasaan

Pertama, diakui atau tidak, suksesi kekuasaan dari Presiden Joko Widodo ke Prabowo Subianto ini merupakan peralihan kekuasaan paling smooth (lancar) sepanjang era pemilihan presiden langsung. Suksesi kekuasaan dari Jokowi ke Prabowo nyaris tidak menimbulkan gejolak berarti. Tagline “keberlanjutan” yang diusung Prabowo-Gibran selama masa kampanye tampaknya benar-benar diwujudkan.

Di satu sisi, Presiden Jokowi dengan legowo menyerahkan tampuk kepresidenan yang selama 10 tahun ini ia duduki. Tidak ada semacam gejala post-power syndrome dari Jokowi. Dalam banyak kesempatan wawancara, ia selalu mengatakan bahwa pasca meninggalkan Istana Negara, ia akan kembali ke Solo menjadi warga biasa. Di sisi lain, Prabowo juga menunjukkan komitmen untuk melanjutkan hal-hal baik yang diwariskan pemerintahan sebelumnya.

Kedua, kondisi politik nasional bisa dikatakan kondusif. Tersebab, pemerintahan baru Prabowo-Gibran ini berhasil membangun koalisi besar sehingga mayoritas partai politik bergabung ke pemerintahannya. Hal ini efektif mengurangi kegaguhan di kalangan elite politik yang kerapkali memicu perpecahan di masyarakat. Dengan terbentuknya koalisi besar ini, rivalitas kepentingan politik di level elite nisbi bisa diminimalisasi.

Ketiga, situasi sosial pasca Pilpres 2024 bisa dikatakan sangat kondusif. Polarisasi politik yang melanda masyarakat sejak Pilpres 2014 dan berlanjut hingga 2019 kini perlahan mulai memudar. Absennya narasi politik identitas dan politisasi agama di Pilpres 2024 ikut menyumbang andil pada terciptanya situasi kondusif pasca Pilpres 2024.

Mewujudkan Rekonsiliasi Kebangsaan

Tiga kondisi itulah yang menjadi modal penting menjalani masa transisi yang steril dari ancaman konflik sosial. Sekarang, tugas kita adalah memastikan agar suksesi kekuasaan itu bukan semata sebagai ajang transisi kepemimpinan, namun juga menjadi sarana rekonsiliasi kebangsaan. Peralihan kekuasaan tidak melulu soal pergantian kepemimpinan di level elite.

Lebih dari itu, peralihan kekuasaan idealnya juga bisa menjadi ajang rekonsiliasi kebangsaan. Rekonsiliasi kebangsaan itu bisa terwujud dengan sejumlah syarat. Antara lain, menerima hasil Pemilu dan Pilpres dengan lapang dada tanpa menyebar narasi-narasi negatif. Hasil akhir kontestasi politik tentu tidak mungkin akan menyenangkan semua pihak.

Selalu ada pihak yang kalah dan menang. Dititik inilah diperlukan sikap legawa dan ksatria dari pihak yang kalah untuk mengakui kemenangan lawan. Selain sikap ksatria itu, rekonsiliasi kebangsaan juga bisa terwujud manakal semua pihak berkomitmen mendukung pemerintahan yang sah.

Dukungan semua pihak terhadap pemerintahan yang sah adalah fondasi penting mewujudkan rekonsiliasi yang nyata dan konkret. Rekonsiliasi idealnya bukan hanya sekadar wacana, namun harus direalisasikan dalam tindakan nyata. Rekonsiliasi bukan sekadar saling meminta-maaf atas kesalahan selama kontestasi. Rekonsiliasi yang sesungguhnya terjadi manakala semua pihak yang terlibat dalam kontestasi berkomitmen mendukung pemerintahan yang sah.

Arkian, kita patut menyambut gembira pelantikan Presiden dan Wakil Presiden. Kiranya, peralihan kekuasaan ini akan menjadi satu titik penting dalam milestone perjalanan bangsa ke depan. Masih banyak capaian yang belum kita raih. Sedangkan tantantan seperti kita tahu, kian hari kian kompleks dan berat. Diperlukan soliditas antar-elemen bangsa untuk menaklukkan tantangan itu. Dan, soliditas itu hanya mungkin terbangun jika bangsa ini berhasil melakukan rekonsiliasi.

Facebook Comments