Resiliensi Gerakan Pemuda di Tengah Gejolak Geopolitik Global

Resiliensi Gerakan Pemuda di Tengah Gejolak Geopolitik Global

- in Narasi
24
0
Resiliensi Gerakan Pemuda di Tengah Gejolak Geopolitik Global

Dalam beberapa tahun terakhir, kita dihadapkan pada konflik politik antar-negara. Di Eropa, ambisi Rusia mengembalikan kejayaan Uni Sovyet mendorong tindakan aneksasi terhadap Crime. Dan sekarang mereka bergerak lebih jauh; menyerang Ukraina.

Dii Timur Tengah, genosida Israel terhadap rakyat Palestina telah menyeret sejumlah negara ke dalam pusaran konflik. Lebanon dan Iran kini resmi terlibat perang dengan Israel. Dalam beberapa pekan terakhir, militer Israel membombardir Lebanon dan Iran. Sebaliknya, misil balasan dilontarkan oleh Iran dan Lebanon ke Israel.

Gejolak geopolitik global itu tentu berdampak pada isu-isu kemanusiaan. Konflik Palestina dan Israel menimbulkan tragedi kemanusiaan luar biasa. Tidak hanya itu, isu Palestina juga memicu suburnya fenomena radikalisasi keagamaan. Perjuangan rakyat Palestina lepas dari zionisme Israel dalam banyak hal telah dimanipulasi kaum radikal untuk menyebarkan ideologi kekerasan berbasis agama.

Dan, sasaran utama penyebaran ideologi kekerasan itu adalah kaum muda. Dalam konteks Indonesia misalnya, pelaku tindakan teror dan kekerasan atas nama agama didominasi kaum muda. Bahkan, belakangan terjadi fenomena mengkhawatirkan dimana terjadi pergeseran gerakan radikalisme dari kaum milenial ke generasi Z.

Kalangan generasi Z hari ini menghadapi apa yang disebut sebagai fenomena self-radicalization alias swa-radikalisasi. Yakni proses perubahan pandangan dari moderat ke radikal karena terpapar konten-konten keagamaan di media sosial. Swa-radikalisasi menjadi fenomena yang sangat mengkhawatirkan karena sulit terdeteksi.

Pemuda dan Tantangan Neokolonialisme Abad Digital

Dalam konteks inilah, penting kiranya meninjau ulang gerakan kepemudaan. Apakah gerakan kepemudaaan yang identik dengan spirit perubahan itu masih ada? Atau justru gerakan kepemudaan itu kini tidak lagi mengusung spirit progresif, melainkan regresif? Jika kita melihat realitas yang ada saat ini, harus diakui bahwa gerakan kepemudaan memang tengah mengalami krisis. Setidaknya jika dibandingkan dengan angkatan 1928, 1945, dan 1998.

Hari ini, gerakan kepemudaan cenderung mengalami disorientasi. Di bidang politik misalnya, pemuda kerap terjebak pada dua hal, yakni apatisme dan pragmatisme. Di satu sisi, banyak pemuda terjebak dalam pragmatisme politik. Yakni berpolitik demi mendapatkan kekuasaan belaka, lalu abai pada etika.

Di sisi lain, banyak pemuda yang justru apatis pada politik. Mereka emoh berpartisipasi dalam urusan politik. Sikap apatisme maupun pragmatisme itu sama-sama tidak memberikan harapan. Sedangkan di ranah sosial, gerakan kepemudaan hari ini juga nisbi tanpa inovasi.

Kaum muda seolah kesulitan mengartikulasikan gagasannya di ranah sosial, lantaran sejumlah faktor. Sengitnya kontestasi di era modern membuat kaum muda cenderung fokus pada ambisi personal, ketimbang memperjuangkan kepentingan kolektif.

Terakhir, dalam konteks keagamaan, gerakan pemuda hari ini banyak yang terinfiltrasi ideologi konservatif-radikal. Mulai dari rohis di tingkat sekolah menengah, sampai lembaga dakwah di kampus-kampus, infiltrasi radikalisme itu nyata adanya. Fenomena ini tentu mengkhawatirkan bagi bangsa Indonesia yang multireliji dan multikultur.

Disinilah pentingnya resiliensi gerakan kepemudaan. Resiliensi artinya kemampuan bertahan di tengah kondisi yang sulit. Hari ini, gerakan kepemudaan tidak dihadapkan pada isu kolonialisme dalam artian sempit. Yakni penjajahan fisik yang mengekang kebebasan. Gerakan kepemudaan hari ini dihadapkan pada neo-kolonialisme, yakni penjajahan ideologi dan pikiran.

Melawan Penjajahan Ideologis

Neo-kolonialisme apalagi di era digital ini ibarat fatamorgana yang menipu. Bayangkan saja. Di satu sisi, kita seolah diberikan kebebasan berpikir dan berbicara melalui berbagai platform media sosial. Padahal, sistem algoritma media sosial itu di-setting agar kita berada di ruang gema yang berisi opini atau wacana yang sama.

Inilah yang disebut sebagai efek ruang gema (echo chamber effect). Kondisi ketika algoritma medsos hanya memungkinkan kita bertemu dengan opini dan pandangan yang serupa. Efek ruang gema ini lambat laun menumpulkan daya kritis dan imajinatif kaum muda sehingga mudah didoktrin oleh pemikiran atau ideologi tertentu yang acapkali bertentangan dengan nilai kemanusiaan dan kebangsaan.

Resiliensi gerakan kepemudaan itu bisa dimulai dengan merevitalisasi nilai keagamaan dan kebudayaan. Artinya, kaum muda patut merenungkan ulang hakikat relasi agama dan budaya dalam perspektif keindonesiaan. Revitalisasi nilai kebudayaan dan keagamaan ini menjadi urgen di tengah banjirnya isu politik, wacana, dan ideologi yang dilatari oleh peristiwa geopolitik di sejumlah wilayah.

Revitalisasi dimulai dengan langkah awal, yakni meneguhkan jatidiri bangsa Indonesia dengan identitas kebudayaannya. Ini artinya, kaum muda harus mengenal budaya asli Nusantara dan merawatnya dengan penuh rasa bangga. Kebanggaan pada budaya sendiri itu merupakan elemen penting untuk membangun kedaulatan pikiran dan ideologi kaum muda. Sehingga kaum muda tidak mudah dirasuki ideologi asing.

Langkah selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah kaum muda wajib membangun pengetahuan atas kondisi geopolitik global. Di era ketika seluruh dunia saling terkoneksi, dan setiap fenomena politik di satu negara atau kawasan akan berdampak ke negara lain, penguasaan atas isu-isu geopolitik global itu menjadi keharusan yang tidak bisa ditawar.

Kaum muda harus melek isu-isu kontemporer. Jadikan internet dan media sosial sebagai sarana belajar dan memahami realitas dunia kontemporer. Pengetahuan yang sahih akan kondisi geopolitik itu penting untuk memastikan kaum muda tidak mengalami swa-radikalisasi.

Facebook Comments