Tahun 2013, organisasi teror Al-Qaeda in Irak (AQI) resmi berganti nama menjadi the Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Pada 29 Juni 2014 ISIS mengumumkan pendirian “khilafah state” dan berganti nama yang kedua kalinya menjadi the Islamic State.
Tepat empat bulan kemudian, presiden baru dilantik di Indonesia. Pada 30 Oktober 2014, Joko Widodo (Jokowi) resmi mendapat mandat sebagai Presiden Republik Indonesia ke-7. Mandat itu lahir di tengah kondisi geopolitik Timur Tengah yang kacau akibat militansi ISIS.
Dalam konteks nasional, rezim Jokowi disambut dengan aktivisme organisasi trans-nasional, seperti Jamaah Islamiyah dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Kelompok yang terakhir disebut bahkan sempat mendapat “karpet merah” di era Susilo Bambang Yudhoyono (Tempo, 2013).
Kedua kelompok trans-nasional tersebut menginduk pada visi politik-ideologis yang sama meskipun memiliki model pendekatan yang berbeda. Belum lagi lahirnya Jamaah Ansharud Daulah (JAD) pada 2015. Sayap jaringan ISIS Asia Tenggara bentukan Aman Abdurrahman itu menambah dinamika penanggulangan terorisme di era Jokowi.
Pada era kepemimpinan Jokowi, meski penanggulangan terorisme di Indonesia mengalami transformasi yang signifikan, terdapat beberapa catatan yang perlu direfleksikan. Beberapa undang-undang yang lahir di era Jokowi menjadi komitmen berarti bagi keamanan negeri, namun tampaknya itu belum cukup mengamankan apa yang tak kasat mata.
Supremasi ISIS dan Tantangan Baru bagi Indonesia
Kekuatan ISIS di Timur Tengah memberikan pengaruh siginifikan terhadap pergerakan kombatan di Asia Tenggara. Alhasil, lahirlah Jamaah Ansharud Daulah (2015) dan Jamaah Ansharu Khilafah (2016) yang disinyalir merupakan perpanjangan ISIS di Asia Tenggara. Dari tahun 2014-2016, ada 30 kelompok dari Indonesia yang berbaiat kepada ISIS, termasuk dua kelompok yang disebut di atas.
Menurut Ines von Behr dalam Radicalisation in the Digital Era; The Use of the Internet in 15 Cases of Terrorism and Extremism (2013), ISIS adalah kelompok teroris yang paling berhasil dalam mengeksploitasi kemajuan informasi teknologi dan media berbasis internet (internet of things) untuk melakukan propaganda.
Upaya antisipasi pemerintah dengan kemampuan digital ISIS menyiratkan ketimpangan yang kentara. Alhasil, diperkirakan lebih dari 1.ooo warga negara Indonesia berangkat ke wilayah konflik untuk bergabung dengan ISIS sejak 2014.
Indonesia dan Malaysia sebagai negeri dengan mayoritas masyarakat Muslim menjadi lahan seksi untuk merekrut anggota baru. ISIS berhasil merekrut individu dari berbagai negara termasuk Indonesia melalui manuver digital dan sayap-sayap jejaring itu.
Selanjutnya, pemerintah masih rapuh dalam hal kebijakan misalnya membatasi repatriasi deportan dan returnis ISIS ke Indonesia. Tetapi itu hanya menyentuh aspek hilir penanggulangan terorisme saja. Pencabutan kewarganegaraan eks ISIS yang dianggap menjadi solusi pencegahan penyebaran ISIS di Indonesia nyatanya berbenturan dengan prinsip esensial lainnya, yaitu hak asasi manusia (Akmal, 2023).
Kejadian Aksi Terorisme Sepanjang Tahun 2014-2024
Kejadian aksi terorisme di Indonesia selama periode 2014 hingga 2024 menunjukkan pola yang berubah seiring dengan perkembangan ideologi dan modus operandi kelompok teroris.
Data dari Global Terrorism Database, Institute for Economic & Peace mengungkap data kasus teror yang fluktuatif sejak tahun 2014. Melihat trennya, insiden terorisme di Indonesia cenderung menurun dalam 3 tahun terakhir. Pada 2021, terdapat 16 insiden terorisme yang terjadi di dalam negeri, lebih rendah 15,8% dibandingkan setahun sebelumnya.
Tetapi di periode 2014-2019 yang notabene era pertama rezim Jokowi, relatif tinggi terutama jika 2018-2019 diakumulasi. Sebaliknya dalam dua tahun terakhir rezim jilid dua Jokowi ini, tidak terjadi serangan teror terbuka di Indonesia (BNPT, 2024).
Merujuk catatan Densus 88, serangan teror sebagian besar tidak lagi menginduk pada aktor luar seperti ISIS dan Al-Qaeda, melainkan berangkat dari aktor lokal sendiri yang banyak mengalami swaradikalisasi.
Aksi teror besar yang beririsan dengan amaliyah ISIS di Indonesia terjadi pada serangan Thamrin, Sarinah Jakarta pada 2016 dan bom Astana Anyar Bandung pada Desember 2022. Khusus bom Sarinah, hampir semua rencana dan detail teknis mengenai serangan ini dirancang dari dalam penjara. Dua narapidana Nusakambangan diwartakan berkontak dengan salah satu anggota ISIS asal Indonesia bernama Bahru Naim di Suriah (CNN, 2016).
Tren aksi teror berubah pada tahun 2018 berupa serangan bom di Surabaya yang melibatkan keluarga teroris (family bombing). Kejadian ini mencerminkan perubahan dalam strategi rekrutmen dan pelaksanaan serangan. Kemudian tren berganti pada maraknya kombatan yang lahir dari swaradikalisasi.
Insiden serangan Zakia Aini di Mabes Polri menandakan mulainya era generasi Millenial yang siap beraksi hanya berbekal pemahaman dangkal dan manipulasi kelompok teror melalui media sosia. Kasus Zakia Aini menegaskan kembali gap kecakapan digital yang dilancarkan oleh kelompok teror dan pemerintah sebagai penyelenggara negara.
Dari tahun 2016 hingga 2024, penegakan hukum terhadap terduga teroris menunjukkan hasil yang signifikan. Jumlah penangkapan kumulatif per tahun adalah sebagai berikut;
Angka di atas bukan hanya dibaca sebagai statistik penangkapan, tetapi potensi ancaman teror yang bisa jadi meledak jika tidak ada penindakan. Terjadi anomali pada tahun 2021 di mana terjadi lonjakan penangkapan yang signifikan. Intensitas yang tinggi terhadap smartphone akibat kebijakan pembatasan sosial memang menandai lahirnya fenomena swaradikalisasi masif pasca pandemi Covid-19.
Turunnya penangkapan memang efektif di era Jokowi tetapi bukan menjadi semacam prestasi. Masih adanya penangkapan terduga teroris berapapun jumlahnya mengindikasikan masih adanya ancaman terorisme di Indonesia. Karena itu mindset yang harus dibangun adalah menekan ancaman teror seminimal mungkin, bukan menangkap terduga teroris sebanyak mungkin.
Hanya terjadi dua kali peningkatan siginifikan di era Jokowi di tahun 2018 dan 2021. Merespon hal itu, pemerintah melakukan beberapa langkah kebijakan di masing-masing tahun itu yang akan dibahas selanjutnya dalam tulisan ini,
Kebijakan Negara vis-à-vis Tantangan Terorisme Mendatang
Pada tahun 2018, setelah serangkaian serangan teroris di Surabaya, Presiden Jokowi mendorong percepatan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Revisi ini bertujuan memperkuat landasan hukum bagi aparat keamanan dalam menangani ancaman terorisme. Jika revisi tidak segera disahkan, Presiden menyatakan akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagai langkah alternatif.
Revisi ini bertujuan untuk memberikan aparat keamanan lebih banyak kekuasaan dalam menangani aktivitas teroris, termasuk penangkapan tanpa peradilan untuk individu yang dicurigai terlibat dalam aktivitas teroris.
Pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2019 sebagai bentuk pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Muatan utama PP No. 77 Tahun 2019 adalah Kesiapsiagaan Nasional, Kontra-radikalisiasi, Deradikalisasi, dan Perlindungan terhadap Aparat Penegak Hukum.
Selain itu, penerbitan Perpres tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan Ekstremisme Berbasis Kekerasan pada tahun 2021 menunjukkan komitmen pemerintah untuk tidak hanya menangani tindakan terorisme tetapi juga mencegah radikalisasi melalui pendekatan yang lebih komprehensif. Ini mencakup pendidikan, rehabilitasi, dan keterlibatan masyarakat sebagai bagian dari strategi pencegahan yang lebih luas.
Beberapa output-nya bisa dilihat salah satunya melalui statistik penangkapan terduga teroris yang telah dibincang sebelumnya. Sejak 2021, penangkapan terduga teroris menurun, yang ujungnya berhasil mencatatkan zero terrorist attack pada tahun kalender 2023.
Era Jokowi juga menandai kejatuhan ormas-ormas yang bertentangan dengan landasan bernegara, Pancasila dan NKRI. Pada 2017, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) secara resmi telah membubarkan organisasi kemasyarakatan (ormas) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Pembubaran itu dilakukan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang ormas.
Dilansir VOA Indonesia (2017) Presiden Joko Widodo memberi sinyal bahwa HTI tidak akan menjadi ormas terakhir yang dibubarkan pemerintah. Ia menyampaikan bahwa pembubaran ormas yang bertentangan dari Pancasila akan dilakukan satu per satu. Komitmen itu terbukti ketika pemerintah menetapkan Front Pembela Islam (FPI) sebagai organisasi terlarang melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) 6 menteri Kementerian/Lembaga sejak 30 Desember 2020. Segala aktivitas dan penggunaan atribut organisasi berbasis agama itu dilarang.
Larangan terhadap kedua organisasi tersebut dilakukan dalam upaya menjaga stabilitas nasional, mencegah radikal terorisme, dan mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara.
Dalam konteks penanggulangan teror, Jokowi seperti mendapat “kado terakhir” di akhir kekuasannya berkat bubarnya Jamaah Islamiyah pada 30 Juni 2024. Setelah bertahun-tahun bermain “petak-umpet” dengan penegak hukum, ditambah dinamika internal yang kompleks di kalangan anggotanya, organisasi teror paling berpengaruh di Asia Tenggara itu secara resmi menyatakan ikrar dan kembali kepada NKRI.
Mengutip Tempo (2024), program deradikalisasi sebagai turunan PP No. 77 tahun 2019 memegang peran penting dalam upaya merangkul petinggi Jamaah Islamiyah itu, setelah sebelumnya salah satu pendiri JI Abu Bakar Ba’asyir telah menyatakan ikrar Pancasila dan NKRI pada tahun 2022.
Menunjang Kebijakan dengan Kontra-radikalisasi
Rapor penanggulangan terorisme era Jokowi secara akumulasi boleh dibilang baik dengan beberapa catatan. Hal ini mencerminkan upaya signifikan dalam menghadapi ancaman terorisme di Indonesia dari awal kebangkitan ISIS hingga jatuhnya Jamaah Islamiyah.
Presiden Jokowi “ngebut” dan sangat proaktif melawan terorisme melalui revisi regulasi dan penegakan hukum yang efektif, namun masih kurang pada komitmen untuk mencegah radikalisasi. Ini yang menjelaskan mengapa penangkapan terduga teroris tampak sangat efektif di era Jokowi.
Yang harus menjadi catatan bersama adalah soal kemampuan adaptif para pemangku kepentingan dalam merespon digitalisasi. Deutsche Welle dalam laporannya How extremist groups like ‘Islamic State’ are using AI (2024) sudah mewanti-wanti bagaimana piranti kecerdasan buatan sudah dieksploitasi oleh ISIS.
Global Network on Extremism & Technology bahkan mengungkap manuver kebangkitan Al-Qaeda dengan mulai membuka loka karya AI bagi anggotanya. Mereka diajari untuk memaksimalkan chatbot, deep fake, audio fake untuk instrumen propaganda.
Level cekatan dan adaptivitas ini dalam era Jokowi berada dua langkah di belakang kelompok-kelompok teror. Karena itu untuk pemerintahan selanjutnya, komitmen penanggulangan teror, selain ditopang dengan kebijakan yang baik juga harus ditunjang dengan literasi digital yang mutakhir juga.
Menyusul semakin melemahnya organisasi teror formil, swaradikalisasi, lone wolf terrorist, dan sempalan-sempalan kelompok JI yang sporadis menjadi tantangan bagi pemerintahan selanjutnya.
Perekrutan kepemimpinan dalam jaringan teroris dan penyebaran ideologi ekstremis tetap menjadi perhatian utama. Dengan banyaknya individu yang terpengaruh oleh ideologi radikal, langkah-langkah pencegahan yang lebih komprehensif harus diambil. Program deradikalisasi, pendidikan, dan keterlibatan masyarakat harus terus dikembangkan untuk menciptakan ketahanan terhadap ideologi ekstremis.