Mencegah Kekacauan Menjadi Budaya Perspektif Islam

Mencegah Kekacauan Menjadi Budaya Perspektif Islam

- in Keagamaan
0
0

Fenomena yang selalu terjadi dalam masyarakat kita menjelang pemilihan umum adalah kekacauan. Kekacauan merupakan salah satu hal yang buruk. Jika dibiarkan terus menerus, hal ini akan dianggap sebuah budaya dan tradisi, walaupun sejatinya tidak memenuhi unsur dan syarat dari keduanya. Sebagaimana keburukan yang terjadi di zaman Jahiliyah yang dianggap menjadi budaya mereka, seperti mengubur anak perempuan dan lain-lain. Saya khawatir ini akan dinormalisasi oleh masyarakat kita.

Kebudayaan, tradisi ataupun ritual merupakan hal-hal yang bersifat eksklusif. Artinya kebudayaan dari suatu ekosistem tidak bisa ditentang atau pun dilarang oleh komunitas lain. Kita bisa melihat banyak ritual-ritual yang jika dipikir dengan dengan pola pikir sebuah agama tertentu pasti dinilai buruk. Jadi sifat ekslusif ini seperti tidak menerima kritik. Namun jika kebudayaan tersebut menodai salah satu hak asasi manusia, maka kita boleh mengkritik bahkan menawarkan solusi dan mengubahnya. Seperti ketika Rasulullah saw. berhadapan dengan tradisi di masa jahiliyah.

Teknik Mengubah Mindset ala Rasulullah

Rasulullah saw. mengemban misi membawa cahaya-cahaya peradaban untuk menghilangkan kegelapan-kegelapan budaya dan tradisi zaman jahiliyah. Kita bisa melihat bagaimana proses perubahan mereka dalam kurun waktu yang singkat. Banyak orang-orang arab kuno mulai beralih pada aturan, norma atau etika yang dibawa oleh Islam. Walaupun tidak semuanya memeluk agama Islam, tapi mereka meyakini bahwan ajaran ini sesuai dengan kemanusiaan.

Pola pikir masyarakat kita harus diubah. Jika kita mengidam-ngidamkan suasana yang santun dan toleran di setiap saat, maka mindset masing-masing individu harus berubah. Kesantunan atau pun toleransi bisa didapat dari literasi. Kita bisa belajar dari sejarah-sejarah agama.

Misi-misi agama yang berupa ritual, etika dan norma dibawa dengan mengubah mindset suatu kaum. Program ini bisa dicapai dengan menggunakan literasi dari pembawa ajaran. Literasi adalah sebuah sebuah kecakapan dalam aspek pengetahuan, baik membaca, menulis, menghitung, memecahkan masalah, sosial budaya dan lain-lain.

Dalam mengubah mindset, Rasulullah saw. menggunakan literasi yang ia miliki. Memang Rasululllah dikenal sebagai sosok yang tidak bisa baca-tulis, namun kecakapannya dalam hal lain tidak diragukan. Rasulullah memerintah beberapa sahabatnya menulis apa yang kita kenal sebagai al-Quran, firman Tuhan, saat Rasulullah saw. membacakannya. Dengan kata lain, Rasulullah saw. menyebarkan budaya literasi bagi orang arab pada waktu itu.

Bedanya dengan kita, Rasulullah saw. menuntun mindset masyarakat pada masa itu selain dengan membacakan dan menyampaikan ayat al-Quran dan esensi kandungannya, Rasulullah juga mempraktikan kandungan al-Quran, hingga dijuluki sebagai al-Quran berjalan.

Kaum-kaum ekstrimis yang kita selalu waspadai itu pun bergerak membawa sebuah misi. Mereka juga menggunakan literasi mereka sebagai pendorong kesuksesan misi mereka. Mereka mengetahui betul kesukaan masyarakat kita, mengetahui cara paling baik untuk berkomunkikasi dengan targetnya dan lain-lain. Apalagi di abad ini, kita dengan mudah mendapatkan informasi. Kita sedang berada di perang literasi.

Tokoh masyarakat di desa, seperti Pak RT, kepala desa ataupun tokoh agama di sana mungkin bisa menyampaikan misi perdamaian dan keagamaan. Namun jika masyarakat di sana melihat praktik kehidupan tokoh-tokoh tersebut tidak sesuai dengan apa yang mereka sampaikan di panggung, di mimbar atau di pidato sambutan, masyarakat akan menilai hal itu hanya bualan dan omong kosong. Sebab yang mereka butuhkan adalah panutan yang hampir mereka bisa ikuti dalam segala aspek kehidupan mereka.

Di era seperti sekarang ini sebenarnya orang-orang membutuhkan influencer lahir batin. Influencer ini harus memiliki sebuah pemahaman yang utuh dan mendalam dalam sebuah bidang. Sebab, mau tidak mau influecer ini merupakan panutan bagi orang yang melihat. Influencer di sini mencakup orang-orang yang dianggap sebagai tokoh oleh masyarakat, seperti guru, kepala desa, penulis, ulama, pemangku jabatan di kenegaraan dan lain-lain. Sayangnya seseorang yang menjadi tokoh kadang merasa dirinya bukan panutan dan mudah bertindak gegabah. Dan tindakan tersebut diikuti oleh orang-orang yang menjadikannya seorang tokoh.

Literasi dan Esensi

Agama-agama yang berkembang ini disebarkan melalui tulisan-tulisan yang dikarang oleh para cendekiawan. mereka menulis buku berdasarkan ajaran-ajaran agama disesuaikan dengan zaman dan tempatnya.

Misalnya di dalam Islam, tradisi menulis dan mengarang kitab sudah berlangsung lama dan terus berlanjut. Walaupun temanya selalu sama dari jaman terdahulu sampai sekarang, namun kita bisa melihat perubahan kecil ataupun besar di kitab-kitab selanjutnya dalam pemaparan dan Bahasa yang digunakan. Usaha cendekiawan-cendekiawan itu merupakan usaha untuk mengurangi resiko kesalahpahaman.

Jika teks kuno dibaca oleh manusia modern, mungkin secara harfiah dia bisa memahami. Namun belum tentu dia tau apa yang benar-benar dimaksud oleh penulis teks tersebut. Karena di masa penulisan tersebut terjadi banyak hal yang tidak kita ketahui mulai dari kondisi sosial, budaya, politik dan lain-lain. Oleh sebab itu cendekiawan-cendekiawan agama ini ingin menjembatani orang di masanya dengan orang-orang yang lebih kuno. Maka dikenallah kitab-kitab syarah ataupun hasyiyah dan tafsir.

Syarah dan Hasyiyah adalah komentar-komentar pelengkap dari teks asal yang ringkas. Biasanya di kitab tersebut dijelaskan makna kalimat dan sejarah-sejarah yang bisa membantu kita menangkap esensi dari teks asal dengan benar. Sebab, kesalahan memahami teks asal (matan) bisa menyebabkan seseorang menjadi ekstrimis, keras dan merasa paling benar.

Sikap ekstrimis bisa disebabkan karena informasi yang didapat tidak sesuai dengan esensi yang diinginkan oleh pengarangnya. Banyak dari mereka menggunakan dalil-dalil al-Quran, hadis, dan teori-teori ulama, tapi karena mereka tidak memiliki pemahaman yang utuh tentang konsep keseluruhan agama maka terjadilah kekacauan pemahaman di pemahaman mereka. karena, setiap ahli hadis belum tentu esensi sebenarnya dari sebuah hadis. Maka perlu ulama-ulama fikih yang menganalisis hadis. Menghafal belum tentu paham esensi.

Sifat merasa paling benar biasanya muncul karena kedangkalan pemahaman. Orang baru belajar dan baru mengetahui sesuatu yang baru bagi dirinya cenderung merasa diri pintar dan menganggap orang lain tidak tau. Ketidaklengkapan informasi juga memicu sikap buruk ini. Ini lah pentingnya belajar dengan utuh. Bayangkan jika orang yang memiliki pemahaman yang tidak utuh menulis sebuah pernyataan atau buku dan dijadikan panutan!

Facebook Comments