Kontroversi ucapan selamat hari Natal telah menjadi debat tahunan yang selalu mencuat di bulan Desember. Debat yang sebenarnya tidak konstruktif, dan cenderung basi karena dari tahun ke tahun tidak berubah apalagi menghasilkan pengetahuan yang baru. Ibaratnya, debat ucapan Natal itu seperti seekor ular yang memburu ekornya sendiri; berputar-putar tak jelas, tak ada ujung, dan tentunya nir-faedah dan nir-makna.
Sebenarnya, mengucapkan selamat hari Natal oleh non-muslim itu sekadar sebagai sebuah bentuk komunikasi sosial saja. Ucapan yang tidak ada kadar teologisnya, melainkan hanya bahasa sosial keseharian. Mengucapkan selamat Natal, kadarnya sama dengan mengucapkan selamat wisuda, selamat menikah, selamat liburan, atau selamat apa pun umat non-muslim.
Menjadi absurd, jika kalangan konservatif menilai ucapan selamat Natal itu sebagai bentuk afirmasi terhadap keyakinan Kristen dan pada akhirnya menodai tauhid umat Islam. Absurditas kelompok konservatif dalam memaknai ucapan selamat hari Natal itu terjadi karena mereka tidak memaknai ucapan itu dari perspektif hermeneutika.
Hermeneutika secara sederhana didefinisikan sebagai teori penafsiran. Jika merujuk pada buku Seni Memahami karya F. Budhi Hardiman, hermeneutika adalah teori untuk memahami sebuah “teks”. Teks yang dimaksud dalam hal ini meliputi kitab suci, buku, atau karya seni seperti sastra, lukisan, film, dan juga ucapan manusia. Dalam hermeneutika, memahami atau menafsirkan teks itu tidak bisa dilakukan secara harfiah.
Konteks Sosial, Politik, dan Budaya Ucapan Natal
Sebuah teks, hanya bisa dimaknai manakala kita memahami konteks subyek serta ruang dan waktu mengapa teks itu muncul. Dalam memahami teks keagamaan misalnya, kita wajib memahami bagaimana kondisi sosial-politik ketika teks itu muncul. Dalam hermeneutika, sebuah teks tidak berdiri sendiri, melainkan selalu terikat oleh konteks ruang dan waktu tertentu.
Demikian pula dalam memaknai ucapan selamat hari Natal oleh umat Islam ke kaum Nasrani. Kita tidak boleh mencerabut begitu saja fenomena ucapan selamat Natal itu dari konteks sosial, politik, dan budaya masyarakat Indonesia. Jika dibaca dari perspektif hermeneutis, kita akan melihat bahwa fenomena ucapan selamat hari Natal itu tidak muncul begitu saja.
Fenomena ucapan selamat hari Natal lahir karena konstruksi sosial dan politik masyarakat Indonesia itu sendiri. Dalam konteks politik, ucapan selamat hari Natal merupakan salah satu produk birokrasi pemerintahan kita. Sebagaimana juga ucapan selamat untuk hari raya agama-agama lain. Seperti ucapan selamat Idulfitri/Iduladha, Waisak, Nyepi, dan hari raya keagamaan lainnya.
Ucapan selamat Natal dan hari raya keagamaan lain adalah wujud kehadiran negara dalam menyokong kehidupan beragama yang bebas. Ucapan selamat Natal yang dipasang di spanduk atau flyer digital menandai bahwa negara hadir untuk menjamin kebebasan beragama warganegara. Di titik ini, ucapan selamat Natal dan hari raya keagamaan lain murni produk birokrasi yang tidak ada kaitannnya dengan isu teologi.
Sedangkan dari sisi sosial, ucapan selamat Natal muncul dilatari oleh realitas sosial-keagamaan masyarakat Indonesia yang plural. Di tengah kondisi yang plural, umat beragama membutuhkan semacam ungkapan komunikasi yang bisa mempererat hubungan persaudaraan. Ucapan selamat Natal adalah bagian dari upaya umat beragama untuk merawat harmoni di tengah pluralitas tersebut.
Mengakhiri Debat Kosong Ucapan Natal
Ucapan selamat Natal menjadi populer ketika media massa mengamplifikasinya. Terlebih sekarang, ketika media digital mendominasi kehidupan manusia. Mengucapkan selamat atas hari raya umat agama lain telah menjadi semacam trend yang mencerminkan toleransi umat beragama. Lagi-lagi, ucapan selamat Natal itu murni ekspresi toleransi, dan tidak ada kaitannya dengan urusan teologi.
Pendek kata, ucapan selamat Natal yang kini populer itu tidak muncul begitu saja, melainkan hasil dari konstruksi sosial, politik, dan budaya masyarakat Indonesia itu sendiri. Maka, ucapan Natal idealnya juga diinterpretasikan dari sisi sosial, politik, dan budaya. Bukan sekadar dari sisi teologis saja. Jika diinterpretasikan dari sisi teologis saja, maka kesimpulannya akan selalu berujung pada pengharaman.
Mengucapkan selamat Natal itu hukumnya haram bagi muslim. Tersebab, ucapan Natal berarti pengakuan terhadap konsep keimanan umat Kristen. Dan itu sama saja dengan merusak akidah. Argumen itulah yang kerap dipakai kalangan konservatif untuk mengharamkan ucapan Natal. Padahal, jika dibaca dari banyak perspektif, kita bisa melihat dengan jernih apa makna dan hakikat ucapan selamat Natal tersebut.
Dari pembacaan hermeneutis tersebut, bisa disimpulkan bahwa ucapan Natal itu muncul karena konstruksi sosial, politik, dan budaya. Ucapan Natal adalah ekspresi kultural yang tidak berkaitan dengan kesucian iman. Mengucapkan Natal adalah bentuk basa-basi dalam kultur masyarakat yang majemuk. Meski demikian, sikap basa-basi ini tentu penting untuk memperkuat harmoni dan toleransi.
Arkian, kita berharap dengan pembacaan hermenuetis ini, debat tentang ucapan Natal bisa diakhiri atau minimal dikurangi. Jangan sampai energi bangsa ini tersedot habis hanya untuk mengurusi hal remeh-temeh dan tidak subtansial. Debat tentang ucapan Natal sudah sepatutnya disudahi, lantaran nirfaedah dan nirmakna.