Spiritualitas Kartini di Tengah Fenomena Perempuan “Hijrah”: Antara Pencerahan dan Eksklusivisme

Spiritualitas Kartini di Tengah Fenomena Perempuan “Hijrah”: Antara Pencerahan dan Eksklusivisme

- in Narasi
8
0
Spiritualitas Kartini di Tengah Fenomena Perempuan “Hijrah”: Antara Pencerahan dan Eksklusivisme

Hijrah mestinya menjadi jalan pencerahan, bukan pembatasan. Hijrah seharus membuka jalan lebih partisipatif, bukan memilih lebih ekslusif”

Fenomena hijrah belakangan ini menjamur, terutama di kalangan perempuan muda Muslim. Mereka berbondong-bondong mengikuti kajian, mengubah penampilan dengan jilbab syar’i bahkan cadar, dan aktif dalam komunitas dakwah daring maupun luring. Hijrah dipahami sebagai bentuk totalitas dalam beragama, menuju kehidupan yang lebih “islami”.

Namun, ada sisi lain yang patut dikritisi. Tak sedikit dari hijrah ini yang justru melahirkan sikap eksklusif. Mereka menutup diri dari lingkungan sosial, membatasi pergaulan, bahkan memutus hubungan dengan sahabat lama—semata karena dianggap belum “taat”. Mereka menjaga jarak dengan dalih tidak ingin “tercemar” oleh dunia luar.

Di sinilah pemikiran R.A. Kartini menemukan relevansinya. Kartini adalah simbol perempuan Muslim yang religius sekaligus kritis. Ia beragama dengan kesadaran, bukan sekadar ketundukan. Ia memandang Islam bukan hanya dari sisi ritual, tapi juga nilai-nilai spiritual dan sosial yang membebaskan.

Hijrah: antara Jalan Spiritual atau Identitas Sosial Baru?

Fenomena hijrah perempuan bisa dianalisis sebagai bentuk pencarian makna dalam dunia yang semakin kompleks. Anthony Giddens menyebut kondisi ini sebagaireflexive modernity—di mana individu merasa gelisah oleh ketidakpastian dan mencari stabilitas dalam identitas baru. Hijrah pun menjadi cara untuk “melarikan diri” dari dunia yang dianggap penuh maksiat atau kotor dan tercemari.

Olivier Roy dalamGlobalized Islam berpendapat berbeda. Tren keagamaan semacam ini sering kali tidak kembali pada esensi agama, melainkan membentuk identitas baru yang rigid. Perempuan berhijrah tak hanya mengubah cara berpakaian, tapi juga mengadopsi cara berpikir biner: antara “kami” dan “mereka”, “taat” dan “lalai”, “hijrah” dan “jahiliyah”.

Jika tidak disertai dengan kedewasaan spiritual, hijrah yang seperti ini mudah terjebak dalam eksklusivisme dan sikap penghakiman terhadap yang berbeda. Harapan untuk menjadi perempuan yang berdaya justru mundur ke belakang menjadi perempuan yang terdomestifikasi.

Makna Hijrah dan Spirit Kartini yang Membebaskan

Hijrah merupakan terma yang diambil dari peristiwa bersejarah dalam Islam. Hijrah Rasulullah merupakan momentum bersejarah yang menjadi milestone peradaban Islam. Apa keberhasilan hijrah dan semangat yang dikandungnya? Hijrah adalah mencari jalan dari kesempitan menuju kelapangan, dari penindasan menjadi kondisi damai, dari suasana ekslusif menjadi terbuka. Jadi, hijrah mestinya menjadi jalan pencerahan, bukan pembatasan. Hijrah seharus membuka jalan lebih partisipatif, bukan memilih lebih ekslusif.

Di lain sisi, di masa kolonial, Kartini mengalami langsung bagaimana agama dipraktikkan secara simbolik dan menindas perempuan. Ia menggugat cara-cara beragama yang hanya menekankan hafalan, aturan ketat, tanpa mengajak berpikir dan memahami. Ia ingin agama yang menyentuh hati, memberi ruang untuk bertanya dan berdialog.

Spiritualitas ala Kartini adalah spiritualitas yang mengajak perempuan hijrah dengan terbuka dan reflektif. Ia tidak alergi pada perbedaan. Ia berdialog dengan tokoh-tokoh Barat non-Muslim, belajar dari berbagai budaya, dan tidak merasa imannya terganggu. Baginya, iman adalah kekuatan untuk memahami dunia, bukan menolak dunia.

Menjadi muslimah hari ini harus lebih dari sekadar simbol. Kita membutuhkan perempuan yang kritis, reflektif, dan terbuka. Hijrah yang sejati tidak membuat seseorang menjauh dari masyarakat, tapi justru lebih peka terhadap masalah sosial, lebih mampu berdialog dengan yang berbeda, dan lebih bijak dalam menyikapi perbedaan.

Hijrah yang mengurung diri hanya akan melahirkan generasi yang rapuh, yang mudah dimanipulasi oleh narasi-narasi radikal dan puritan. Sebaliknya, spiritualitas kritis ala Kartini adalah tameng paling kokoh untuk melawan eksklusivisme dan radikalisme yang mengatasnamakan agama.

Facebook Comments