Waspada Karakter Fasik di Era Digital: Menyaring Informasi, Menyelamatkan Persatuan

Waspada Karakter Fasik di Era Digital: Menyaring Informasi, Menyelamatkan Persatuan

- in Keagamaan
2
0
Waspada Karakter Fasik di Era Digital: Menyaring Informasi, Menyelamatkan Persatuan

Di era digital yang dibanjiri informasi, sikap kehati-hatian dan bijak menjadi kebutuhan pokok. Bayangkan, setiap hari, kita disuguhi ratusan hingga ribuan konten dari berbagai platform dari berita politik, agama, hingga opini dan video pendek yang viral.

Di tengah derasnya arus informasi itu, muncul satu pertanyaan penting: siapa yang berbicara? dan apa yang dibicarakan? Pertanyaan ini harus didahulukan sebelum menyimpulkan apalagi menyebarkan.

Ada pepatah Arab klasik menyatakan,“Lihatlah apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan.”Sebuah pesan yang tampak ideal bahwa kebenaran harus dinilai berdasarkan isi, bukan identitas penyampainya. Namun, dalam konteks era digital, pepatah ini tidak bisa diterapkan secara mutlak.

Di era digital kredibilitas, rekam jejak, dan integritas penyampai informasi justru menjadi hal yang sangat penting untuk diperiksa. Jika tidak, kita akan terjebak dalam ilusi kebenaran yang semu dan dalam tingkat tertentu bisa menyebabkan bencana sosial.

Karakter Fasik dan Tantangannya di Era Digital

Al-Qur’an secara tegas memberikan peringatan terhadap penyebaran informasi oleh orang fasik. Dalam QS. Al-Hujurat ayat 6, Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Jika datang kepada kalian seorang fasik membawa suatu berita, maka telitilah (tabayyun), agar kalian tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kalian menyesal atas perbuatan itu.”(QS. Al-Hujurat: 6).

Ayat ini bukan sekadar perintah untuk memverifikasi berita, tetapi peringatan keras akan adanya orang fasik sebagai pembawa kabar, berita dan informasi. Fasik adalah mereka yang menyimpang dari jalan kebenaran dan akhlak yang bisa menyebabkan kekacauan sosial jika tidak diwaspadai.

Dalam konteks digital, siapa saja yang memenuhi ciri berikut bisa dikategorikan sebagai “fasik digital”:

  1. Menyebarkan hoaks dan fitnah, tanpa sumber jelas.
  2. Memelintir fakta, demi kepentingan pribadi, politik, atau sektarian.
  3. Membangun kebencian dan perpecahan, dengan konten yang provokatif.
  4. Menghalalkan cara-cara tidak etis, seperti manipulasi foto, video, atau teks.
  5. Mendulang popularitas dengan memanipulasi emosi publik, bukan dengan substansi kebenaran.

Mereka ini bisa tampil dengan wajah ramah, bahasa religius, bahkan mengutip ayat-ayat dan hadis. Namun substansi dari pesan yang mereka sebarkan adalah kebohongan, fitnah, kebencian dan provokasi untuk memecah belah.

Menanggulangi Fasik Digital: Solusi Al-Qur’an Menjaga Nalar Sehat

Di media sosial, siapa pun bisa menjadi “penceramah dadakan”, “analis geopolitik”, atau “ustaz viral” hanya dengan modal kamera dan konten kontroversial. Tidak sedikit di antara mereka yang latar belakangnya tidak jelas, tidak memiliki dasar ilmu, atau memiliki agenda tersembunyi.

Namun aneh bin ajaibnya, kekuatan algoritma media sosial berkata lain. Mereka ternyata memiliki ribuan hingga jutaan orang mempercayai kata-katanya karena gaya penyampaiannya yang meyakinkan. Inilah fenomena krisis kredibilitas digital di mana orang lebih percaya pada viralitas daripada validitas.

Karena itulah al-Quran memberikan panduan untuk merawat nalar sehat yang dibutuhkan di era digital ini.

Pertama, tabayyun sebagai Sikap Kritis Digital. QS. Al-Hujurat:6 menuntut kita untuk menjadi umat yang cerdas, tidak mudah percaya pada satu sumber, apalagi jika penyampainya memiliki riwayat kebohongan atau provokasi. Dalam era algoritma media sosial yang memanjakan emosi dan mempersempit sudut pandang (filter bubble),tabayyunadalah bentuk jihad intelektual.

Kedua, literasi digital sebagai amal jariyah. Literasi digital bukan sekadar kemampuan mengoperasikan gawai, tetapi kemampuan menganalisis informasi, memverifikasi sumber, dan membandingkan perspektif. Mendidik masyarakat agar tidak cepat percaya atau terpancing adalah bagian dari amar ma’ruf nahi munkar di era digital.

Ketiga, kembali ke ulama dan ilmuwan yang kredibel. Dalam Surat An-Nahl : 43 ditegaskan untuk bertanya kepada orang berilmu dan kredibel jika memang tidak mengetahui. Artinya, menempatkan para pakar—baik dalam agama, sosial, politik maupun sains—sebagai sumber utama informasi adalah langkah penting untuk menyelamatkan akal sehat publik. Jangan hanya percaya pada tokoh yang sering tampil di layar, tetapi lihat keilmuannya, integritasnya, dan konsistensinya.

Era digital memberikan kita kebebasan luar biasa. Tapi di balik itu, terselip tanggung jawab yang berat. Kita harus memilih untuk menjadi penyebar cahaya atau penyebar bencana. Jangan biarkan dunia maya menjadikan kita umat yang gegabah, penuh prasangka, dan terpecah karena informasi yang menyesatkan. Fasik digital adalah realitas baru yang harus dilawan. Dengan ilmu, dengan akhlak, dan dengan sikap kritis.

Facebook Comments