Tanpa Ruang yang Adil Perempuan Rentan Terjebak dalam Pusaran Lone Wolf Terrorism

Tanpa Ruang yang Adil Perempuan Rentan Terjebak dalam Pusaran Lone Wolf Terrorism

- in Narasi
11
0
Tanpa Ruang yang Adil Perempuan Rentan Terjebak dalam Pusaran Lone Wolf Terrorism

Di tengah dinamika global dan regional yang semakin kompleks, fenomena lone wolf terrorism—aksi teror individu yang bergerak sendiri tanpa afiliasi langsung dengan jaringan besar—menunjukkan tren yang semakin mengkhawatirkan. Dalam beberapa tahun terakhir, kecenderungan keterlibatan perempuan dalam aksi-aksi semacam ini juga semakin meningkat, mematahkan stereotip lama bahwa terorisme adalah hanyalah dunia laki-laki semata.

Fenomena lone wolf terrorism yang kian marak menandai proses penting untuk membicarakan isu radikalisme dari perspektif gender, dan lebih jauh lagi, menuntut kita untuk membuka ruang partisipasi yang luas dan bermakna bagi perempuan dalam kehidupan sosial, politik, dan keagamaan sebagai bagian dari strategi pencegahan yang lebih holistik.

Lone wolf terrorism pada dasarnya tumbuh dalam ruang-ruang sunyi—kekosongan makna, keterasingan sosial, atau krisis identitas—yang kemudian diisi oleh narasi ekstrem. Bagi sebagian perempuan, keterlibatan dalam ideologi kekerasan tidak selalu berangkat dari militansi ideologis, melainkan dari keterisolasian, perasaan tertindas, ketidakadilan sosial, atau bahkan pencarian jati diri dalam dunia yang sering kali tidak mau mendengarkan mereka. Di sinilah pentingnya membangun ruang partisipasi yang adil dan setara untuk perempuan sebagai langkah pencegahan, bukan hanya reaksi yang bersifat gradual dan tidak terarah.

Ruang partisipasi yang dimaksud tidak sekadar formalitas pelibatan, melainkan ruang-ruang nyata di mana perempuan merasa diakui, diberdayakan, dan dihargai sebagai subjek yang. Dalam banyak komunitas, perempuan masih ditempatkan dalam posisi marginal, bahkan dalam diskursus perdamaian dan deradikalisasi di mana perempuan seharusnya dilibatkan.

Sebab, disadari atau tidak, perempuan memiliki potensi besar untuk menjadi agen perdamaian dan ketahanan sosial yang kuat. Keterlibatan aktif perempuan dalam komunitas lokal, forum keagamaan, pendidikan, serta kebijakan publik dapat menjadi benteng pertama yang efektif dalam mencegah proses radikalisasi yang berlangsung secara diam-diam.

Banyak perempuan yang bergerak ke arah radikalisme karena terputus dari komunitas sosialnya, baik karena pengucilan, stigma, atau tekanan norma yang membatasi ruang gerak mereka. Kita perlu menciptakan ruang aman bagi perempuan untuk berbicara, berkumpul, dan menyuarakan pendapat tanpa takut dihakimi. Komunitas perempuan yang inklusif dapat menjadi tempat perlindungan emosional sekaligus forum pertukaran ide yang konstruktif.

Namun, pelibatan perempuan dalam konteks ini tidak boleh berhenti pada peran domestik semata. Kita tidak boleh terjebak pada narasi bahwa perempuan hanya berperan sebagai “ibu bangsa” atau “penjaga moral rumah tangga.” Perempuan juga harus dilibatkan sebagai analis, pemimpin komunitas, pendidik, peneliti, dan pengambil keputusan. Ruang publik harus benar-benar membuka diri pada kapasitas perempuan dalam semua level intervensi sosial dan kebijakan sehingga betul-betul mampu menjadi jalan keluar.

Perempuan yang hidup dalam ketimpangan ekonomi, kekerasan domestik, atau diskriminasi sistemik lebih rentan mencari pelarian dalam ideologi yang menjanjikan “keadilan” atau “kemuliaan” spiritual instan. Oleh karena itu, pencegahan lone wolf terrorism juga harus dikaitkan dengan pemenuhan hak-hak dasar perempuan—akses ekonomi, keadilan hukum, perlindungan dari kekerasan, dan jaminan atas martabat mereka sebagai perempuan.

Ke depan, kita perlu terus mendorong lahirnya tafsir-tafsir keagamaan baru yang berpihak pada keadilan gender, yang melihat perempuan sebagai aktor aktif dalam kehidupan publik. Membangun ruang tafsir keagamaan yang mengakomodasi suara perempuan akan membantu membentengi mereka dari penafsiran ekstrem yang meminggirkan mereka.

Dalam banyak kasus, perempuan yang menjadi pelaku lone wolf terrorism sebenarnya adalah korban dari sistem yang menutup telinga terhadap suara mereka. Mereka sering kali tidak ingin menjadi “radikal,” tetapi merasa tidak punya ruang lain untuk memperjuangkan eksistensi atau mengatasi ketidakberdayaan mereka. Maka dari itu, jawaban atas teror tidak cukup dengan pengawasan dan penindakan, melainkan harus dimulai dari empati dan pembukaan ruang, ruang untuk didengar, untuk dilibatkan, dan untuk berdaya.

Sebagai masyarakat, kita perlu bergeser dari paradigma keamanan yang maskulin menuju paradigma pencegahan yang inklusif. Menghadirkan perempuan dalam strategi antiterorisme bukan hanya soal representasi, tetapi soal efektivitas. Karena keamanan sejati bukanlah ketiadaan kekerasan semata, melainkan keberadaan keadilan yang merata.

Melawan lone wolf terrorism di kalangan perempuan yang belakangan ini kian mengkhawatirkan bukan hanya soal mencegah terjadinya ledakan, tapi juga memadamkan bara sunyi yang menyala dalam keterasingan. Dan untuk itu, kita semua punya tanggung jawab: membuka ruang, mendengar suara, dan bersama membangun ketahanan sosial dari akar.

Facebook Comments