Jumat (18/4), dinihari, jalanan di Pondok Rangon, Kampung Baru, Depok, memantulkan nyala api dari tiga mobil polisi yang dibakar massa. Aksi anarkis itu dilakukan oleh anggota Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya, mempertontonkan kekuatan destruktif ormas di tengah masyarakat. Mirisnya lagi, insiden tersebut hanyalah satu dari rangkaian kasus yang menegaskan gejala meluasnya degradasi fungsi ormas di tanah air.
Beberapa waktu sebelumnya, Wakil Ketua MPR RI, Eddy Soeparno, mengungkapkan kekhawatiran serupa. Ia mendapat informasi bahwa pembangunan pabrik BYD di Subang, Jawa Barat, sebagai salah satu investasi besar dari Tiongkok, sempat diganggu aksi premanisme oknum ormas. Itu disampaikan langsung dalam forum resmi ketika Eddy melakukan kunjungan ke Shenzhen. Iklim investasi nasional pun terancam.
Menghadapi situasi itu, suara keras datang dari berbagai penjuru. Komandan Jenderal Kopassus, Mayjen TNI Djon Afriandi menegaskan, ormas yang menyimpang dari fungsi sosialnya menjadi kelompok preman harus ditindak tegas. Menurutnya, ormas dan premanisme adalah dua entitas yang berbeda. Ketua MPR RI, Ahmad Muzani pun mengingatkan hal serupa: premanisme ormas adalah ancaman nasional.
Seruan tindakan tegas juga bergema dari Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Aria Bima. Ia mengingatkan pemerintah agar tidak tebang pilih dalam menertibkan ormas. Mengutip preseden pembubaran HTI dan FPI dengan delik radikalisme, Aria mendorong agar ormas berdelik premanisme juga mesti dievaluasi bahkan dibubarkan. Demokrasi, menurut Bima, bukan alasan untuk membiarkan premanisme berkembang di balik label ‘ormas’.
Rentetan kejadian tadi memperlihatkan dengan gamblang bahwa bangsa ini berada di ambang perpecahan sosial, disulut degradasi ormas yang tidak lagi menjadi kekuatan sosial positif, dan berubah menjadi alat intimidasi, penguasa teritorial liar, dan aktor kekerasan. Dan dalam lanskap itulah, propaganda kelompok radikal-teroris menemukan celah untuk mengampanyekan kegagalan demokrasi—memperparah potensi disintegrasi bangsa.
Karena itu, mengembalikan ruh ormas kepada jati dirinya sebagai agen bina damai merupakan upaya yang urgen. Rekonstruksi peran ormas mesti diarusutamakan (mainstreaming) untuk meredam eskalasi premanisme dan memastikan supremasi sipil dalam melawan radikalisme serta katalisator kohesi nasional. Artinya, mainstreaming ormas sebagai agen damai merupakan keniscayaan demi masa depan keutuhan bangsa.
Eskalasi Premanisme: Kembalikan Ormas ke Khitahnya!
Ormas, dalam ekosistem demokrasi Indonesia, dilahirkan sebagai instrumen penguatan partisipasi rakyat, pemberdayaan masyarakat, pelayanan sosial, dan fondasi persatuan nasional. Amanat tersebut terpatri jelas dalam UU Ormas, bahwa orientasi eksistensi ormas ialah kemaslahatan publik dan kemajuan bangsa. Namun, bagaimana jika yang terjadi justru sebaliknya: ormas bergeser dari fungsi konstruktif menjadi destruktif beraroma premanisme?
Penting dicatat bahwa, premanisme ormas bukan sekadar deviasi administratif, melainkan manifestasi degradasi nilai dan orientasi ormas itu sendiri. Insiden pembakaran mobil polisi oleh anggota GRIB Jaya, sebagai contoh, merupakan potret gamblang transformasi ormas menjadi kekuatan anarkis yang tak segan mengonfrontasi aparat negara. Jika aparat saja dilawan, maka masyarakat biasa jelas akan ‘dipiting’ oleh mereka.
Sebagian ormas memang telah keluar dari koridor pengabdian kepada masyarakat. Alih-alih jadi wadah aspirasi, mereka justru berperilaku laiknya penguasa teritori, kerap mengklaim wilayah tertentu sebagai domain kekuasaan informal yang bebas hukum nasional. Keberadaan mereka lebih merepresentasikan dinamika kekuasaan jalanan ketimbang idealisme civil society. Itu sama kasusnya dengan yang menimpa ormas keagamaan radikal: HTI dan FPI.
Ketika negara lamban menindak aksi-aksi semacam itu, pesan yang merebak di tengah masyarakat ialah bahwa kekuasaan informal—premanisme—mendapat tempat dalam demokrasi. Jelas, itu celah berbahaya. Kelompok radikal-teroris akan mengeksploitasinya untuk menuduh demokrasi sebagai sistem rapuh yang melahirkan ketidakadilan dan kekacauan. Akibatnya, grassroot semakin rentan terhadap propaganda yang memecah-belah.
Karena itu, degradasi fungsi ormas menjadi premanisme bukanlah persoalan kriminalitas biasa, melainkan persoalan fundamental jantung ketahanan nasional. Ia menuntut respons sistemik, bukan dari aparat penegak hukum saja, tapi juga dari seluruh komponen bangsa untuk mengembalikan ormas ke khitahnya sebagai kekuatan moral-sosial yang membina damai, mempererat persaudaraan, serta mengokohkan persatuan dan kesatuan Indonesia.
Mainstreaming Ormas Bina Damai sebagai Katalisator Persatuan
Dalam situasi ketika sebagian ormas, seperti GRIB Jaya, tergelincir jadi aktor instabilitas sosial, urgensi rekonstruksi peran ormas sebagai agen bina damai tak dapat ditunda. Ormas tidak boleh direduksi menjadi entitas administratif atau kelompok kepentingan lokal belaka, apalagi jadi tumpangan preman. Ia harus di-mainstreaming kembali sebagai instrumen vital dalam mengikat keberagaman, merawat solidaritas, dan menguatkan persatuan bangsa.
Mainstreaming bina damai perlu dimulai dengan reorientasi ormas pada tujuan luhur sebagaimana diamanatkan undang-undang. Artinya, setiap aktivitas ormas mesti berakar pada upaya pemberdayaan masyarakat, pelayanan sosial, penyaluran aspirasi konstruktif, serta penguatan kebangsaan. Di situlah ormas keagamaan memegang peran istimewa. Mereka memiliki potensi besar untuk menjadi imunitas organik terhadap upaya disintegrasi, sekaligus jadi katalisator solidaritas di tingkat grassroot.
Faktanya, track-record ormas keagamaan dalam membangun kohesi sosial bukanlah hal baru. Sejak dulu, ormas keagamaan telah jadi tulang punggung perjuangan kolektif bangsa, baik ketika melawan penjajahan maupun ketika mengartikulasi persatuan di atas kebhinekaan. Spirit itulah yang perlu dihidupkan kembali di tengah ancaman laten disintegrasi, lewat pembinaan umat menuju moderasi ataupun penguatan jaringan solidaritas lintas ormas.
Selain itu, kemitraan strategis antarormas juga perlu dikuatkan lagi. Sebab, tantangan bangsa saat ini terlalu kompleks untuk dihadapi secara sektoral. Kerja sama lintas ormas, baik keagamaan maupun sosial-kemasyarakatan, merupakan kunci membangun benteng sosial melawan provokasi disintegrasi hingga radikalisme. Sinergi tersebut menunjukkan bahwa masyarakat sipil tanah air mampu menampilkan wajah demokrasi yang dewasa, dan beradab.
Pada saat yang sama, negara mesti berperan aktif memfasilitasi dan melindungi upaya-upaya rekonstruksi ormas. Pemerintah tidak cukup hanya reaktif menindak pelanggaran, tapi harus proaktif menciptakan ruang kolaborasi, memberi penguatan kapasitas ormas, serta mengapresiasi inisiatif-inisiatif damai yang muncul dari masyarakat sipil. Ormas bina damai tidak boleh menjadi narasi di atas kertas saja. Ia wajib hidup di tengah masyarakat Indonesia.
Menyelamatkan ruh ormas dan mengarusutamakannya sebagai agen damai merupakan perjuangan jangka panjang yang menuntut konsistensi dan keberanian moral dari semua pihak. Hanya dengan ormas-ormas yang berfungsi sehat, bangsa Indonesia bisa terus menjaga persatuan dalam keberagaman, meneguhkan kedewasaan berdemokrasi, serta mengokohkan jati diri sebagai bangsa berdaulat yang tidak dibayang-bayangi premanisme dan radikalisme.