Menumbuhkan Toleransi Beragama Sejak Dini: Peran Parenting dalam Islam

Menumbuhkan Toleransi Beragama Sejak Dini: Peran Parenting dalam Islam

- in Keagamaan
6
0
Menumbuhkan Toleransi Beragama Sejak Dini: Peran Parenting dalam Islam

Fenomena kurangnya toleransi, bahkan yang berujung pada perundungan (bullying) atau diskriminasi berbasis identitas, kini tak jarang kita saksikan bermanifestasi di kalangan anak-anak, remaja, hingga mahasiswa. Lingkungan sekolah dan pergaulan menjadi cerminan nyata dari tantangan koeksistensi di tengah masyarakat yang majemuk. Isu sensitif seperti perbedaan agama, suku, atau pandangan politik dapat dengan mudah tersulut di kalangan generasi muda yang masih dalam proses pembentukan jati diri.

Konsekuensinya sangat signifikan, tidak hanya merusak kohesi sosial di tingkat mikro (sekolah/kampus), tetapi juga berpotensi mengikis pondasi persatuan bangsa yang dibangun di atas keberagaman. Dalam konteks inilah, peran pendidikan menjadi esensial, dan yang paling fundamental serta memiliki pengaruh jangka panjang adalah pendidikan yang dimulai dari lingkungan keluarga.

Keluargalah madrasah pertama bagi anak, tempat nilai-nilai dasar, termasuk sikap terhadap “yang berbeda”, ditanamkan secara konsisten melalui teladan dan bimbingan langsung. Menjadikan keluarga sebagai benteng awal penanaman toleransi bukanlah pilihan, melainkan sebuah keniscayaan demi mempersiapkan generasi yang matang secara spiritual dan sosial, siap menghadapi realitas dunia yang pluralistik dengan penuh hikmah dan kearifan.

Dalam khazanah Islam, prinsip toleransi bukan sekadar konsep modern yang diimpor, melainkan memiliki akar yang kokoh dalam ajaran fundamentalnya. Toleransi dalam Islam, atau sering diartikan sebagai tasamuh (lapang dada) dan dihubungkan dengan prinsip wasatiyyah (moderasi) serta keadilan, bukanlah berarti sinkretisme atau mengakui kebenaran teologis agama lain. Sebaliknya, ia dibangun di atas keyakinan yang teguh pada kebenaran ajaran sendiri, yang justru melahirkan sikap percaya diri untuk berinteraksi secara damai dan adil dengan pemeluk agama lain.

Al-Qur’an secara eksplisit mengajarkan keadilan bahkan kepada mereka yang memiliki perbedaan atau bahkan potensi gesekan. Allah SWT berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 8). Ayat ini merupakan landasan teologis yang sangat kuat bahwa emosi negatif seperti kebencian pribadi atau golongan tidak boleh mengalahkan prinsip keadilan universal.

Manifestasi nyata dari prinsip keadilan dan toleransi dalam interaksi sosial adalah kemampuan menjaga lisan dan perilaku. Islam sangat menekankan pentingnya adab (akhlak) dalam berbicara dan bertindak, terutama agar tidak menyakiti atau menyinggung perasaan orang lain. Mencela atau merendahkan keyakinan atau simbol agama lain adalah tindakan yang secara tegas dilarang dalam Islam, karena dapat memicu permusuhan dan merusak tatanan sosial.

Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu mencaci maki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan mencaci maki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia Beritakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am [6]: 108). Ayat ini mengajarkan hikmah dalam berinteraksi; melarang penghinaan untuk menghindari balasan yang lebih buruk, menunjukkan bahwa menjaga lisan adalah strategi menjaga martabat diri sendiri dan menghormati ruang keyakinan orang lain demi kemaslahatan bersama.

Pembelajaran tentang akhlak mulia, yang menjadi fondasi bagi sikap toleran, paling efektif ditanamkan melalui teladan dan nasihat yang penuh hikmah, sebagaimana dicontohkan dalam Al-Qur’an. Kita dapat merujuk pada kisah Luqman Al-Hakim dalam Surah Luqman. Meskipun bukan seorang nabi, Allah mengaruniainya hikmah dan nasihat-nasihatnya kepada sang anak diabadikan dalam Al-Qur’an sebagai panduan abadi.

Luqman memulai nasihatnya dengan hal paling fundamental: larangan syirik, yang menunjukkan pentingnya akidah yang lurus sebagai pondasi. Dari pondasi akidah ini, nasihat berlanjut pada pentingnya berbakti kepada orang tua, kesadaran akan pengawasan Tuhan atas setiap perbuatan , mendirikan shalat, amar ma’ruf nahi munkar serta bersabar dalam menghadapinya, hingga adab dalam bersosialisasi seperti tidak sombong, berjalan dengan rendah hati, dan berbicara dengan suara yang lembut.

Nasihat Luqman ini sangat komprehensif, mencakup hubungan vertikal (dengan Allah), hubungan horizontal (dengan sesama manusia, dimulai dari keluarga), dan pembangunan karakter pribadi. Sikap rendah hati dan berbicara lembut, misalnya, secara langsung berkorelasi dengan kemampuan berinteraksi tanpa arogansi atau merendahkan orang lain – sikap yang krusial untuk toleransi. Nasihat Luqman menjadi model parenting profetik yang menekankan dialog, keteladanan, penahapan (dari yang paling pokok ke cabang), dan konsistensi dalam menanamkan nilai-nilai luhur yang membentuk pribadi utuh: beriman, berakhlak mulia, dan mampu berinteraksi secara positif dengan lingkungannya yang beragam.

Facebook Comments