Sesat Pikir Menggantungkan Kebanggaan pada Agama: Merespon Hasil Survei PMD BNPT 2024

Sesat Pikir Menggantungkan Kebanggaan pada Agama: Merespon Hasil Survei PMD BNPT 2024

- in Narasi
13
0
Sesat Pikir Menggantungkan Kebanggaan pada Agama: Merespon Hasil Survei PMD BNPT 2024

Apa yang sebenarnya dibanggakan dari sebuah agama ketika segala hal yang gumelar atau yang tampak sama sekali tak tergantung olehnya?

Pusat Media Damai BNPT pernah merilis hasil survei 2024 yang menyingkapkan bahwa ternyata eksklusivitas agama masih menjadi sebentuk kebanggan seorang anak manusia di instansi pendidikan di Indonesia. Meskipun mayoritas siswa tak menginginkan sistem agama tertentu mengatur kehidupan sosial mereka, menurut hasil survei itu, ternyata mereka merasa lebih dapat berbangga ria ketika bergaul dengan siswa yang seagama.

Para siswa, dengan usia yang masih sebelia itu, tentu saja bukanlah pihak yang patut dipersalahkan. Agama berproses dengan banyak cara dan jalan, lewat orantua atau keluarga, sekolah, lingkungan sosial, dan pemerintah.

Namun, dalam temuan saya, orangtua—yang digaung-gaungkan sebagai madrasatul ula—bukanlah faktor determinan atas eksklusivitas beragama semacam itu. Banyak, di masa sekarang, orangtua yang bahkan pun sama sekali tak mengenal agama, memiliki anak-anak yang hidup dengan rasa bangga pada agamanya, seolah-olah beja-cilaka atau untung-sial dalam kehidupan ini sama sekali ditentukan oleh agama yang dipeluknya.

Maka, bisa jadi, mengingat pula narasi Indonesia selama ini sebagai suatu negara yang toleran terhadap perbedaan, sekolah dan ruang sosial adalah pihak-pihak yang patut dipersalahkan.

Pasca 2014, dengan berkaca pada proses sosial-politik di Indonesia, waham tentang kebesaran Islam memang sudah dihembuskan ke segenap ruang yang diisi oleh warga negara Indonesia, dan bukan sekedar warga Islam semata.

Ketika eksklusivitas beragama masih menjadi pilihan oleh orang-orang Indonesia di masa sekarang, maka gejala ini hanyalah sisa-sisa belaka dari aspirasi gagal “umat Islam” yang pernah digoreng sampai garing untuk kepentingan politik belaka.

Tentu, istilah “Islam” ataupun “umat Islam” di sini, apalagi pasca 2014, sama sekali tak mencerminkan keseluruhan orang yang merasa sebagai orang Islam—yang pada saat itu ikut pula dianggap rendah atau bahkan dihakimi sebagai “kafir” hanya karena tak sepaham dengan “Islam” ataupun “umat Islam” itu.

Satu hal yang patut dicamkan di sini adalah ketika orang terjejali oleh rasa bangga pada suatu agama, misalnya Islam, tentu saja yang akan menerima segala keuntungan yang barangkali didapat darinya bukanlah orang-orang Indonesia ataupun negara Indonesia semata.

Sebab, pola pikir orang selama ini sudah terbentuk sedemikian rupa bahwa dengan “Islam” atau “berislam” dirasa tuntas sudah semua permasalahan dalam kehidupan ini. Pada tataran praktis, pola pikir semacam ini terang melatari para pemabuk khilafah atau para penggila penerapan (syari’at) Islam secara kaffah, bahkan sampai mesti pada perubahan corak pemerintahan dan bentuk negara.

Yang patut dipertimbangkan, bagi saya, adalah pemekakan telingan dan perluasan nalar bahwa aspirasi “Islam” ataupun “umat Islam” pasca 2014 telah gagal total. Ketika kegagalan ini tak bisa diterima, maka akan senantiasa perjalanan bangsa ini dihiasi oleh berbagai karnaval pelecehan akal sehat.

Jadi, intoleransi pasif semacam sikap untuk lebih memilih orang-orang yang seagama daripada yang non-seagama adalah sama sekali tak berguna atau sia-sia pada tataran kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan itu pun tak otomatis Islam akan menjadi besar dan berjaya, ketika kebesaran dan kejayaan di sini adalah berarti juga merendahkan dan mengenyampingkan yang bukan Islam.

Facebook Comments