Ketegangan geopolitik antara India dan Pakistan bukanlah hal baru dalam peta konflik internasional. Namun, setiap kali konflik itu memuncak, seperti yang terjadi baru-baru ini, dampaknya tidak hanya terasa di wilayah perbatasan dua negara tersebut. Narasi dan ketegangan itu kerap kali melampaui batas geografisnya dan menjalar hingga ke ruang-ruang digital global, termasuk ke Indonesia. Yang menjadi persoalan bukan semata fakta perang atau kekerasan, tetapi bagaimana konflik itu diproduksi ulang dalam narasi keagamaan yang apokaliptik, dan disusupkan ke dalam kesadaran publik melalui media sosial serta jejaring komunitas berbasis ideologi.
Narasi apokaliptik yang berkembang pasca-konflik India–Pakistan bukan sekadar retorika. Ia sering dikemas dengan bahasa teologis yang meyakinkan, mengutip hadis-hadis tentang akhir zaman, pertempuran antara kebenaran dan kebatilan, serta penampakan simbolik antara umat Islam dan musuh-musuhnya. Konflik yang sejatinya bermotif politik, ekonomi, dan teritorial, direduksi menjadi perang agama. Beberapa kelompok radikal bahkan menjadikan peristiwa tersebut sebagai alat kampanye untuk mempopulerkan ideologi khilafah di kalangan publik Indonesia.
Fenomena ini diperparah oleh algoritma media sosial yang cenderung memunculkan konten ekstrem kepada pengguna yang sudah terpapar isu serupa. Dengan sekali klik atau bagikan, narasi sesat itu menyebar ke berbagai lini massa, meracuni nalar publik, dan memperkuat polarisasi di tengah masyarakat Indonesia. Tanpa kesadaran kritis, banyak masyarakat yang terjebak dalam logika emosional tersebut dan kemudian merasa terpanggil untuk bersolidaritas atas dasar agama, padahal narasi yang dikonsumsi sangat tidak utuh dan penuh manipulasi dan propaganda.
Di titik ini, kita harus mengakui bahwa ancaman terhadap persatuan Indonesia tidak selalu datang dalam bentuk konflik internal, tetapi bisa juga berupa ekspansi ideologis dari luar negeri yang dikemas melalui isu-isu global. Ketika perang India–Pakistan dieksploitasi sebagai simbol pertempuran antara ‘Hindu’ dan ‘Islam’, maka kita tengah berhadapan dengan propaganda identitas yang sangat berbahaya. Sebab, umat Hindu dan Muslim di Indonesia hidup berdampingan secara damai, bahkan banyak terlibat dalam ruang kerja sama lintas iman dan budaya.
Jika narasi apokaliptik ini terus dibiarkan, maka benih-benih kebencian bisa tumbuh menjadi konflik horizontal yang destruktif. Oleh karena itu, upaya menangkal narasi semacam ini harus dilakukan secara serius dan sistematis. Pertama, tokoh agama dan pemuka masyarakat harus tampil memberikan klarifikasi atas teks-teks keagamaan yang disalahgunakan. Hadis-hadis yang kerap dikutip untuk membenarkan kekerasan dan kebencian harus dikaji ulang secara ilmiah melalui pendekatan takhrij dan kontekstualisasi. Penting untuk menunjukkan bahwa tidak semua teks bersifat normatif, apalagi jika digunakan di luar konteks historis dan geografisnya.
Kedua, pemerintah melalui lembaga seperti Kementerian Kominfo dan BNPT harus lebih aktif dalam melakukan pencegahan penyebaran konten radikal, termasuk yang menggunakan narasi konflik global sebagai pembenaran ideologis. Penyaringan konten digital, pelaporan akun penyebar kebencian, serta kampanye literasi digital harus ditingkatkan oleh pemerintah.
Ketiga, publik sendiri harus dibekali dengan kemampuan berpikir kritis serta kesadaran atas realitas bangsa. Masyarakat perlu memahami bahwa solidaritas terhadap penderitaan umat di belahan dunia lain tidak harus dilakukan dengan meniru konflik dan kebenciannya, tetapi justru melalui cara-cara yang beradab, damai, dan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Kita bisa menunjukkan empati tanpa harus menumbuhkan permusuhan di antara umat beragama.
Menjaga persatuan Indonesia di tengah arus deras konflik transnasional adalah bagian dari tanggung jawab kebangsaan kita. Ketika dunia luar bergolak, tugas kita bukan meniru gejolaknya, tetapi memperkuat stabilitas internal dengan cara menumbuhkan kedewasaan spiritual dan sosial. Pengendalian diri dalam menyikapi informasi, serta kebijaksanaan dalam merespons narasi-narasi yang memecah belah, adalah dharma kebangsaan yang harus terus dirawat oleh kita semua.
Dengan demikian, narasi apokaliptik yang mengakar pada konflik India–Pakistan tidak akan mendapat ruang tumbuh di Indonesia. Sebaliknya, yang akan tumbuh adalah semangat damai, toleransi, dan solidaritas antarumat beragama yang merupakan fondasi utama bangsa ini.