Neo-Radikalisasi: Narasi Perang Dunia III dan Khilafah-Daulah dalam Utopia Muslim Urban

Neo-Radikalisasi: Narasi Perang Dunia III dan Khilafah-Daulah dalam Utopia Muslim Urban

- in Narasi
9
0
Neo-Radikalisasi: Narasi Perang Dunia III dan Khilafah-Daulah dalam Utopia Muslim Urban

Perang Dunia III. Narasi tentang itu, hari-hari, kerap sekali saya jumpai di medsos. Perang Rusia-Ukraina yang dibayangi NATO, perang Israel-Palestina yang dibayangi Iran dan AS, hingga perang India-Pakistan yang dibayangi AS dan China, ramai diperbincangkan. Semua terjadi di tengah kondisi ekonomi global yang tertekan; harga energi melambung, logistik terganggu, dan ketahanan pangan banyak negara berada di ujung tanduk, utamanya akibat trade war China versus AS.

Rusia memperingatkan bahwa keterlibatan NATO di Ukraina bisa memicu Perang Dunia III. Di AS, eks-penasihat Presiden Trump menyebut bahwa Perang Dunia III telah dimulai dalam format asimetris: ekonomi, siber, dan propaganda. Bahkan simulasi perang nuklir telah AS lakukan sebagai sinyal kesiapan dan kehati-hatian. Seruan perdamaian dari Paus Leo XIV pun, yang baru terpilih dalam konklaf kemarin, terasa seperti gema yang tenggelam di tengah kegaduhan global.

Namun, saya rasa, bukan itu saja problemnya. Sesuatu yang tak kalah berbahaya tengah bergerak dalam diam, yaitu pergeseran radikalisme ke fase baru: neo-radikalisasi. Ia tak lagi menarasikan jihad fisik seperti di era Al-Qaeda dan ISIS, melainkan narasi eskatologis melalui spekulasi runtuhnya dunia lama dan lahirnya tata dunia baru. Narasi tentang Perang Dunia III bertemu dengan utopia khilafah-Daulah dalam imajinasi Muslim urban. Neo-radikalisasi masuk di situ.

Ironisnya, doktrin meltdown civilization disambut hangat oleh kanal-kanal medsos islamis, terutama segmen muda Muslim urban yang literasinya tinggi namun terputus dari akar kritis dan sejarah geopolitik dunia Islam. Mereka meromantisasi kejatuhan Barat dan menganggapnya sebagai tanda-tanda zaman menuju kebangkitan Islam global. Perang Dunia III, oleh mereka, diyakini sebagai janji ilahiah mengenai kembalinya khilafah dan Daulah yang telah lama absen dari peradaban.

Di sini, saya akan menelisik fenomena narasi eskatologis yang menjadi amunisi baru dalam neo-radikalisasi, serta eksistensi utopia khilafah-daulah di benak Muslim urban sebagai jawaban atas kecemasan kolektif mereka sendiri. Saya juga akan mengulasi ihwal modifikasi retorika ‘akhir zaman’ menjadi senjata ideologis kaum radikal, dan mengapa narasi-narasi itu justru membawa potensi disrupsi sosial yang meresahkan.

Narasi Eskatologis sebagai Neo-Radikalisasi

Penting dicatat, hari ini, narasi eskatologis telah bermigrasi ke ranah digital dan mewujud sebagai arsenal ideologis orang ataupun kelompok yang mengidamkan keruntuhan tatanan dunia. Narasi-narasi Perang Dunia III, al-malhamah al-kubra, turunnya Imam Mahdi, kebangkitan khilafah ‘ala minhaj al-nubuwwah, dan hancurnya negeri Barat-kafir menjadi sumber harapan apokaliptik umat untuk menjustifikasi tindakan ekstrem dalam framework neo-radikalisasi.

Memang, eskatologi merupakan bagian krusial dalam tradisi agama samawi: Islam, Kristen, dan Yahudi, karena beririsan dengan keimanan. Namun dalam konteks neo-radikalisasi, eskatologi ditransformasikan sebagai instrumen politik. Dalam Apocalypse in Islam-nya Jean-Pierre Filiu dijelaskan, eskatologi Islam telah direbut kelompok islamis sebagai alat mobilisasi massa. Hadis-hadis tentang al-malhamah al-kubra dan khilafah, sebagai contoh, dijadikan blueprint strategis dan manifesto terorisme.

Kemunculan medsos kemudian mempercepat difusi narasi-narasi eskatologis ke kalangan awam. Laporan Institute for Strategic Dialogue pada 2022 lalu menemukan, bahwa konten bertema akhir zaman dengan narasi ‘keruntuhan dunia Barat’ meningkat 240% di YouTube dan Telegram pasca-invasi Rusia ke Ukraina. Di Indonesia, konten seputar ‘Ramalan Imam Mahdi 2024’, ‘Malhamah Sudah Dekat!’, dan ‘Perang Dunia III Jalan Menuju Khilafah’ berseliweran dengan jutaan penayangan—dibawa, misalnya, oleh Ihsan Tanjung, Zulkifli Ali, dan Rahmat Baequni.

Sementara itu, survei The Muslim 500 menunjukkan, sebanyak 38% responden Muslim urban di negara-negara mayoritas Muslim percaya bahwa mereka hidup di akhir zaman, dan bahwa akan ada transformasi besar dunia dalam waktu dekat. Angka tersebut meningkat dibanding tahun 2022, yang hanya 24%. Banyak yang yakin bahwa sistem khilafah ala Nabi akan menggantikan demokrasi modern: membangkitkan Islam di satu sisi dan meruntuhkan Barat di sisi lainnya.

Berbeda dengan radikalisasi konvensional yang menitikberatkan militansi dan aksi fisik, neo-radikalisasi menggarisbawahi estetika imajinasi-spiritualitas. Narasi akhir zaman hadir dalam bentuk ceramah YouTube, ilustrasi visual kiamat di TikTok, hingga sinetron dan novel Islam apokaliptik yang laris di kalangan remaja Muslim. Instagram juga demikian. Silakan cek akun Instagram @akhwat.akhirzaman, @kabar_akhirzaman, dan @mediaakhirzaman1, dan jangan terkejut.

Mereka tidak menyerukan jihad fisik. Narasi radikal semacam itu sudah ketinggalan zaman. Alih-alih, mereka justru mengajak ‘hijrah ideologis’, yakni mencabut kepercayaan pada demokrasi sebagai sistem, menolak nation-state sebagai produk kafir, serta mempersiapkan diri menjadi ‘pasukan akhir zaman’. Itulah soft entry point menuju radikalisasi teraktual. Demi khilafah dan Daulah, Perang Dunia III diserukan sebagai momen kehancuran Barat dan kembalinya kejayaan Islam.

Pernah menemukan doktrin apokaliptik seperti ‘Demokrasi adalah sistem thaghut yang sebentar lagi runtuh’, ‘Perang dunia akan menghancurkan sekularisme dan membuka jalan tegaknya khilafah’, atau ‘Indonesia adalah bumi Syam versi Nusantara’? Di Indonesia, doktrin tersebut bermunculan di ruang publik. Aktornya beragam, mulai dari ormas terlarang HTI, kelompok teror JAD, hingga ustaz-ustaz dadakan hanya sekadar cari cuan lewat tema-tema eskatologi.

Penelitian Norshahril Saat dari ISEAS-Yusof Ishak Institute menemukan, pasca-pembubaran, banyak simpatisan HTI berpindah ke kanal digital untuk menyebarkan gagasan tentang akhir zaman, demokrasi, dan keruntuhan global sebagai momentum kebangkitan umat. Dalam framework neo-radikalisasi, eskatologi berubah jadi ideologi yang hendak mentransformasikan nation-state jadi Daulah. Kesemrawutan politik dan kerinduan terhadap keadilan ilahiah dipelintir sedemikian rupa.

Dakwah Eskatologis Menjadi Kanal Ideologisasi

Jika narasi eskatologis adalah bahan bakar utama neo-radikalisasi, maka medsos adalah mesin distribusinya. Dakwah eskatologis mengandalkan mimbar dan majelis secara alternatif, sementara algoritma, konten viral, dan jaringan bawah tanah dunia maya dijadikan medan utama. Di situlah transformasi ideologisasi publik berlangsung: dakwah akhir zaman semakin tampak memikat dan adaptif, khususnya bagi generasi muda sebagai pribumi daring (digital natives).

Saat ini dakwah yang ringan, emosional, dan penuh visualisasi apokaliptik jauh lebih efektif untuk membentuk opini keagamaan daripada ceramah tradisional. Video YouTube berjudul tentang Perang Dunia III dengan durasi 5 menit, silakan perhatikan, bisa ditonton bahkan hingga 3 juta kali dalam sebulan, jauh lebih luas jangkauannya daripada kuliah umum tentang teologi. Doktrin ideologisnya jelas: dunia tengah hancur, dan hanya dengan khilafah-Daulah-lah, keselamatan diraih.

Di TikTok, narasi Perang Dunia III tampil dalam format gamified; efek suara dramatis, ilustrasi nuklir, dan tentara berkuda sebagai simulasi realitas masa depan yang menakutkan sekaligus mempesona. Dampaknya ialah pembentukan kesadaran apokaliptik massal yang disebarkan bukan oleh ustaz atau dai senior yang otoritatif, melainkan content creator muda yang terkadang tidak memiliki latar belakang keilmuan yang jelas.

Berbeda dengan propaganda jihad yang blak-blakan, propaganda eskatologis atas nama tegaknya khilafah-Daulah begitu halus dan seolah murni spiritual-oriented. Kalimat-kalimat ‘perbanyak taubat sebelum dunia hancur’, ‘jangan terlalu cinta dunia karena Imam Mahdi akan segera datang’, atau ‘persiapkan dirimu dengan jihad harta dan ilmu’ berupaya membawa misi ideologis yang menggerus legitimasi negara, demokrasi, dan tatanan sosial nation-state.

Karena itulah, neo-radikalisasi merupakan sinonimitas soft radicalization, proses radikalisasi tanpa kekerasan fisik dan berorientasi ideologis untuk ciptakan masyarakat eksklusif, intoleran, dan mau berjihad—teror. Kelompok neo-radikal menanamkan nilai radikal lewat narasi spiritual, yang tujuannya ialah membangun simpati dan afiliasi ideologis terlebih dahulu sebelum melangkah ke fase militan. Begitu meresahkan, bukan?

Gelombang soft radicalism, atau yang saya istilahkan dengan neo-radikalisasi, mungkin merupakan konsekuensi geopolitik aktual. Eskatologi Perang Dunia III dan tegaknya khilafah-Daulah diseret-seret untuk memompa semangat Muslim urban, membelah nalar mereka, dan melemahkan komitmen mereka terhadap negara-bangsa. Di situlah, saya pikir, kita harus masuk ke ekosistem digitalnya, memahami bahasanya, lalu memberantas semua propagandanya.

Facebook Comments