Dari Empati Menuju Ekstremisme: Mengurai Bahaya Residu Konflik Global

Dari Empati Menuju Ekstremisme: Mengurai Bahaya Residu Konflik Global

- in Narasi
1
0
Dari Empati Menuju Ekstremisme: Mengurai Bahaya Residu Konflik Global

Ketegangan yang terus membara di kawasan Timur Tengah—dari konflik berkepanjangan Palestina-Israel, konfrontasi Iran-Israel, hingga luka lama di Suriah, Irak, dan Afghanistan—membentuk lanskap krisis yang seakan tak pernah reda. Di Asia, deretan konflik di Myanmar, Filipina Selatan, dan tensi India-Pakistan tak jarang dilihat publik dalam bingkai emosional dan keagamaan yang menyala-nyala.

Namun, yang kerap luput disadari adalah dampak tak langsung dari konflik-konflik ini terhadap negara jauh seperti Indonesia. Konflik global, khususnya yang melibatkan umat Islam, sering kali meninggalkan residu ideologis yang berbahaya. Bukan hanya dalam bentuk opini, tetapi dalam bentuk propaganda, agitasi, dan bahkan rekrutmen jaringan ekstrem.

Sejarah dan data membuktikan, ketidakadilan yang dialami umat Islam di berbagai penjuru dunia kerap dijadikan bahan bakar narasi kebencian oleh kelompok radikal. Mereka memotong video kekerasan, menayangkan adegan memilukan, lalu menyisipkan tafsir keagamaan yang provokatif. Narasi ini menyasar empati masyarakat yang tulus—terutama generasi muda—dan mengarahkannya menjadi amarah yang membutakan.

Antara Empati dan Agitasi

Solidaritas terhadap Palestina dan rakyat tertindas lainnya adalah sikap moral sekaligus amanat konstitusional. Pasal 1 UUD 1945 dengan jelas menyatakan bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Namun, sejarah juga mengingatkan kita bahwa solidaritas bisa dibajak menjadi kendaraan ideologis.

Banyak anak muda terperangkap dalam agitasi karena gagal membedakan antara empati yang tulus dengan propaganda ekstrem. Laporan IPAC (Institute for Policy Analysis of Conflict) menyebutkan bahwa sejumlah remaja yang direkrut kelompok radikal di Indonesia mengaku mulai tertarik setelah menyaksikan konflik global—terutama di Palestina dan Suriah. Mereka dipersuasi untuk percaya bahwa satu-satunya bentuk pembelaan terhadap Islam adalah melalui kekerasan bersenjata.

Kisah seorang eks-militan perempuan asal Indonesia yang pernah bergabung dengan ISIS menjadi pengingat penting. Dalam testimoni penuh penyesalan, ia mengaku terbujuk oleh narasi “jihad” yang dibalut solidaritas palsu, padahal justru menyesatkan dan merusak hidupnya secara total.

Hari ini, platform seperti Telegram, TikTok, dan X (Twitter) bukan sekadar media sosial, tetapi medan tempur narasi ideologis. Di sana, algoritma bekerja tanpa henti memperkuat konten yang emosional dan provokatif, hingga seseorang bisa berubah pandangan hanya dalam hitungan hari. Komunitas digital terbentuk—bukan atas dasar dialog dan empati, melainkan validasi kebencian.

Waspada, Tanpa Membungkam Solidaritas

Indonesia tak bisa mengubah konflik global, tapi Indonesia bisa mengendalikan bagaimana warganya menyikapi konflik itu. Solidaritas harus tetap tumbuh, tapi bukan dengan semangat permusuhan dan kekerasan. Empati yang sehat harus diarahkan pada langkah-langkah nyata: edukasi, diplomasi, bantuan kemanusiaan, dan penguatan masyarakat sipil.

Kita perlu menghindari dua jebakan besar: sikap pasif yang apatis, atau sikap reaktif yang agresif. Perjuangan tanpa hati nurani adalah kekerasan. Tapi perjuangan tanpa akal sehat adalah kesesatan. Dalam dunia yang penuh narasi manipulatif, kita membutuhkan generasi muda yang punya daya kritis, bukan sekadar semangat.

Para ulama, pendidik, tokoh masyarakat, dan pemimpin agama memegang peran strategis untuk meredam polarisasi. Narasi Islam rahmatan lil ‘alamin harus ditegaskan kembali. Dakwah dan ceramah tidak boleh menjadi corong agitasi, melainkan jembatan yang memperkuat empati dan akal sehat.

Jika ruang publik dibiarkan kosong, maka suara paling keras—meskipun sesat—akan menjadi pemimpin opini. Kita harus hadir. Kita harus bersuara. Agar empati tak lagi tersesat menjadi ekstremisme, dan solidaritas tetap menjadi cahaya yang menuntun pada kemanusiaan, bukan bara yang membakar sesama.

Facebook Comments