Konflik yang terus bergulir antara Israel dan Iran telah menarik perhatian dunia, terutama setelah serangan-serangan intensif yang terjadi pada 17 Juni 2025, yang menjadi hari kelima dalam konfrontasi paling sengit dalam sejarah kedua negara. Seperti yang dilaporkan oleh CNBC Indonesia, serangan tersebut telah mengakibatkan ratusan korban jiwa, dengan lebih dari 1.200 orang terluka di Iran dan sekitar 600 orang di Israel. Menurut laporan Kementerian Kesehatan Iran, sedikitnya 224 orang tewas, sementara Israel mencatatkan 24 korban jiwa. Dalam eskalasi ini, Israel menyerang gedung TV pemerintah Iran, dan melaporkan bahwa mereka telah menyingkirkan sejumlah pemimpin militer dan ilmuwan atom Iran. Ketegangan ini tentu saja menambah kekhawatiran akan kemungkinan konflik yang lebih luas, yang tidak hanya mempengaruhi kedua negara tersebut, tetapi juga seluruh kawasan Timur Tengah.
Namun, penting untuk mencermati bahwa konflik ini, seperti banyak perang lainnya di Timur Tengah, tidak hanya dipicu oleh faktor keagamaan. Meskipun narasi agama sering menjadi pembenaran atas tindakan kekerasan, akar permasalahan yang lebih mendalam terletak pada kepentingan politik, ekonomi, dan keamanan. Narasi identitas yang dibangun oleh berbagai pihak, baik dari segi keagamaan maupun politik, telah menjadi alat yang sering kali menyederhanakan situasi menjadi pertarungan hitam-putih yang berfokus pada perbedaan identitas. Ini berpotensi menutup ruang untuk analisis yang jernih dan dialog yang konstruktif, serta memperburuk polarisasi sosial yang sudah ada.
Konflik Israel dan Iran dapat dipandang sebagai contoh nyata bagaimana narasi identitas sering kali disalahgunakan untuk membenarkan kebijakan agresif. Dalam perang ini, identitas agama dan etnis sering kali digunakan untuk menciptakan garis pemisah yang jelas antara “yang benar” dan “yang salah”, antara “kami” dan “mereka”. Israel digambarkan sebagai negara Yahudi yang berjuang melawan ancaman dari negara-negara Muslim, sementara Iran sering diposisikan sebagai kekuatan utama yang melawan dominasi Barat, dengan negara-negara Muslim lainnya di Timur Tengah sering kali terpecah berdasarkan loyalitas sektarian.
Namun, jika kita menggali lebih dalam, kita akan menemukan bahwa banyak dari dinamika ini lebih berkaitan dengan kepentingan politik dan ekonomi daripada perbedaan agama yang mendalam. Perang yang terjadi di Timur Tengah bukanlah pertarungan antara agama atau etnis, melainkan pertempuran untuk hegemoni politik, kendali atas sumber daya strategis, dan pengaruh geopolitik. Negara Iran dan Israel terlibat dalam perlombaan untuk mendominasi kawasan dengan masing-masing berusaha memperluas pengaruhnya melalui aliansi dan proxy, serta mengamankan posisi strategis di kawasan yang kaya akan sumber daya alam dan jalur perdagangan.
Seiring dengan semakin rumitnya dinamika konflik, penting untuk memahami bahwa narasi-narasi yang dibangun oleh kelompok ekstrem, baik dari sisi agama maupun politik, sering kali berfokus pada penggambaran musuh sebagai ancaman eksistensial. Hal ini menyebabkan kecenderungan untuk melihat perbedaan agama sebagai alasan utama konflik, padahal kenyataannya, terdapat lapisan-lapisan kepentingan lain yang jauh lebih besar, seperti kontrol terhadap sumber daya alam dan kestabilan politik dalam menghadapi ketegangan internasional.
Sebagai contoh, peran Iran dalam mendukung kelompok-kelompok militan, serta kebijakan ekspansionisnya di Suriah, Irak, dan Lebanon, lebih dipengaruhi oleh ambisi geopolitik untuk menciptakan “Khalifah Syiah” yang dapat menandingi pengaruh Sunni yang dipimpin oleh Arab Saudi dan negara-negara Teluk lainnya. Israel, di sisi lain, menganggap Iran sebagai ancaman besar terhadap keberlanjutan eksistensinya, terutama karena program nuklir Iran yang dianggap dapat mengubah keseimbangan kekuatan di kawasan tersebut.
Menghadapi kenyataan bahwa perbedaan identitas dan agama sering kali digunakan untuk memicu kebencian dan kekerasan, sudah saatnya untuk meninggalkan narasi “identitas” dalam konflik ini. Ruang untuk diplomasi dan upaya perdamaian harus dibuka lebih lebar, dengan menekankan bahwa pada akhirnya, perdamaian yang abadi hanya dapat dicapai jika semua pihak bersedia melepaskan klaim kebenaran tunggal yang didasarkan pada narasi identitas tersebut.
Penting untuk memahami bahwa keberagaman dalam keyakinan dan budaya di Timur Tengah harus dilihat sebagai kekayaan yang perlu dihargai, bukan sebagai pemicu konflik. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang inklusif, yang melibatkan dialog antar agama, antar negara, serta antar kelompok-kelompok yang memiliki pandangan politik berbeda. Pendekatan diplomatik yang mengutamakan pemahaman dan saling menghormati akan sangat penting. Negara-negara besar, serta organisasi internasional seperti PBB dan Uni Eropa, harus berperan lebih aktif dalam menciptakan ruang dialog yang konstruktif di antara pihak-pihak yang terlibat.
Diplomasi ini juga harus mampu menghindari penyederhanaan konflik menjadi pertarungan agama semata, dan sebaliknya lebih menekankan pada dialog mengenai kepentingan bersama yang dapat mengurangi ketegangan dan menciptakan stabilitas. Contohnya adalah dalam pembicaraan mengenai perjanjian nuklir Iran, di mana pihak-pihak yang terlibat harus fokus pada pengaturan yang bisa memastikan Iran tidak mengembangkan senjata nuklir, sambil mempertimbangkan hak-hak negara tersebut dalam mengembangkan energi nuklir untuk tujuan damai.
Akhirnya, penting untuk diingat bahwa polarisasi sosial yang terjadi di banyak negara Timur Tengah sering kali diperburuk oleh kelompok-kelompok ekstrem yang menggunakan narasi agama untuk memobilisasi massa. Oleh karena itu, sangat penting untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berbicara dengan tanggung jawab sosial. Penyebaran ujaran kebencian yang berbasis pada agama dan identitas hanya akan memperburuk ketegangan yang sudah ada. Oleh karena itu, kebijakan yang mengutamakan edukasi, toleransi, dan penghargaan terhadap perbedaan perlu diperkuat.
Konflik Israel-Iran yang semakin intensif adalah cerminan dari ketegangan yang lebih luas di Timur Tengah, di mana narasi identitas yang dibangun oleh berbagai pihak sering kali menutupi dimensi politik dan ekonomi dari konflik tersebut. Untuk membuka ruang bagi diplomasi dan perdamaian, kita harus berani meninggalkan narasi “identitas” yang sempit, dan lebih menekankan pada kepentingan bersama yang lebih besar. Diplomasi yang berbasis pada pemahaman, inklusivitas, dan penghargaan terhadap keberagaman adalah kunci untuk menciptakan masa depan yang lebih damai di Timur Tengah, mengingat bahwa perdamaian yang sejati hanya dapat terwujud jika setiap pihak siap untuk melepaskan narasi identitas yang membelenggu.