Pendidikan yang Tergadai dan Jebakan Cinta Kelompok Ekstremis

Pendidikan yang Tergadai dan Jebakan Cinta Kelompok Ekstremis

- in Narasi
0
0
Pendidikan yang Tergadai dan Jebakan Cinta Kelompok Ekstremis

Di tengah peringatan Hari Anak Nasional, sebuah ancaman senyap terus mengintai masa depan generasi penerus bangsa. Di balik narasi ideologi, kelompok radikal teroris kini menggunakan metode eksploitasi anak yang sangat halus dan sistematis. Tujuannya, tidak hanya untuk merekrut anggota, tetapi juga untuk menjebak mereka dalam lingkaran setan kemiskinan dan keputusan hidup yang prematur.

Salah satu modus yang paling mengkhawatirkan adalah penolakan terhadap sistem pendidikan formal yang terdaftar di pemerintah. Banyak dari kelompok garis keras ini sengaja tidak menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah resmi dengan dalih melindungi dari “kontaminasi” pemikiran sekular dan tidak sejalan dengan syariat. Akibatnya, anak-anak ini tumbuh tanpa ijazah resmi atau kompetensi yang diakui dalam dunia kerja. Tentunya, tanpa bekal pendidikan yang memadai, pintu mereka untuk keluar dari circle kemiskinan nyaris tertutup.

Kondisi rentan ini kemudian dimanfaatkan lebih jauh. Dengan tipu daya maskulinitas dan janji-janji kehidupan yang “mulia” di bawah panji kelompok mereka, anak-anak dan remaja diperdaya untuk masuk ke jenjang pernikahan di usia yang sangat muda, tanpa didasari pemikiran yang matang dan rasional.

Mereka menjual ilusi tentang kehormatan dan tujuan hidup, padahal yang terjadi adalah eksploitasi untuk melanggengkan ideologi dan kontrol mereka.

Kasus Shamima Begum, Kadiza dan Amira (2015) dari Inggris menjadi contoh nyata dari fenomena ini. Di usia 15 tahun, mereka terpikat oleh propaganda online dan hijrah ke Suriah dengan iming-iming akan dinikahkan dengan pejuang Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang digambarkan sebagai sosok yang maskulin dan heroik. Namun, mimpi tersebut berubah menjadi mimpi buruk, dan penyesalan seumur hidup.

Pola ini diduplikasi para kelompok ekstremis untuk mendapatkan simpati dari para kelompok rentan yaitu anak, perempuan dan remaja. Dian Yulia Novia (2016), adalah contoh nyata dari lemahnya pendidikan dan rentannya manipulasi cinta semu. Dian terjerat bujuk rayu Bahrun Naim, seorang tokoh ISIS, melalui “pernikahan online” dengan simpatisan ISIS lainnya di Indonesia. Meskipun belum pernah bertemu, ikatan pernikahan ini berhasil memanipulasinya secara total. Dian akhirnya bersedia pulang ke Indonesia untuk menjadi “pengantin” bom bunuh diri yang menargetkan Istana Negara.

Inilah yang perlu kita waspadai bersama. Ancaman intoleransi, radikalisme, ektremisme dan terorisme tidak lagi berupa fisik, melainkan masuk dalam sendi sendi kehidupan kita, baik melalui pendidikan, lingkungan dan gawai.

Dalam rangka Hari Anak Nasional 2025, sudah saatnya kita memastikan setiap anak, sebagai garda masa depan bangsa mendapatkan haknya atas pendidikan yang layak dan lingkungan yang aman. Ini adalah pondasi pertahanan terbaik untuk memutus rantai eksploitasi dan radikalisme sejak dini.

Facebook Comments