Bendera One Piece Menjelang HUT 80 RI: Antara Latah Digital dan Nasionalisme Statistik

Bendera One Piece Menjelang HUT 80 RI: Antara Latah Digital dan Nasionalisme Statistik

- in Narasi
2
0
Bendera One Piece Menjelang HUT 80 RI: Antara Latah Digital dan Nasionalisme Statistik

Menjelang perayaan Kemerdekaan RI, viral sebuah fenomena pengibaranbendera One Piece(jolly roger)—simbol anime Jepang—di bawah atau bersandingan dengan bendera merah putih. Tentu, butuh kearifan dalam menyikapi fenomena dalam konteks hari sakral negara seperti peringatan 17 Agustus, bukan pada hari-hari lainnya.

Sebagian tokoh publik menanggapi berlebihan sebagaimakar, pelanggaran hukum, dan penodaan sakralitas bendera negara. Ada juga beberapa berita yang juga ditunggangi konten hoax yang memperlihatkan aparat merazia ke rumah-rumah warga yang memasang bendera One Piece.

Sementara yang lain menganggapnya sebagaiekspresi kebebasan artistik dan kritik simbolikterhadap lambannya pencapaian kemerdekaan hakiki. Pengibaran ini sebagai bentuk kritik dan perlawanan yang dibungkus dengan budaya pop culture yang diterima masyarakat khususnya generasi muda.

Apa yang ingin kita baca dari fenomena ini bukan pada penghakiman yang sepihak, tetapi ada celah krisis nasionalisme yang perlu didiskusikan lebih jauh.

Konsumsi Budaya Pop, Miskin Pemahaman

Sebagian anak-anak muda banyak terseret karenabudaya latah digital—ikut tren tanpa memahami subtansi. Bendera viral karena “keren” dan “nge-hits”, bukan karena pesan perlawanan. Akibatnya, simbolisme kritis yang dimaksud justru menjadi sekadar aksi viral yang usang, tanpa makna.

Influencer justru masuk dalam ranah ini dengan mengambil magnet viral untuk konten. Belum lagi kita bicara ini sebagai strategi marketing untuk promosi One Piece Live Action Session 2 yang akan segera tayang di Netflix. Persoalan menjadi kompleks ketika hadir di ruang digital dengan tanpa kecerdasan pemaknaan simbolik yang memadai.

Dalam era digital, masyarakat kita semakin terbentuk oleh apa yang disebutbudaya latah digital. Budaya ini muncul karena masyarakat tidak lagi membaca dunia dengan pemahaman mendalam, melainkan merespons secara instan terhadap hal-hal yang viral di media sosial.“Kebaruan” menggantikan “makna”, dan “keterpaparan” menggantikan “refleksi”.

Bendera One Piece, dalam konteks ini, menjadi simbol viralitas. Banyak anak muda yang mengibarkannya bukan karena paham ideologi bajak laut atau simbol perlawanan, tetapi karena ingin tampil keren, unik, dan mendapat atensi. Mereka mengunggah, memposting, dan menyebarkan gambar pengibaran bendera itu demi “likes” dan komentar, bukan karena niat makar atau kritik tajam terhadap negara.

Inilah yang disebut sebagai bentuk“konsumsi budaya tanpa pemahaman substansi”. Walaupun, tentu harus diakusi ada sebagian kecil anak muda yang mengibarkan bendera ini memang menyematkan makna simbolik di dalamnya. Dalam cerita One Piece, bendera bajak laut “Jolly Roger” adalah simbol perlawanan terhadap tirani dan ketidakadilan. Pengibaran bendera itu bisa dibaca sebagai kritik terhadap kondisi negara yang belum sepenuhnya menghadirkan kemerdekaan.

Nasionalisme Statistik yang Menjenuhkan

Sebaliknya, dari pemerintah kita masih melihat respon yang formal dan menjenuhkan. Cara berpikir menumbuhkan nasionalisme warga masih terjebak pada pembentukan nasionalisme statistik yang tidak sejalan dengan budaya pop yang ada.

Nasionalisme statistik dilakukan dengan cara membentuk identitas kebangsaan lewat angka—jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, indeks demokrasi, ranking pendidikan, atau persentase partisipasi pemilu. Pemerintah sering menggunakan data ini untuk menunjukkan “kemajuan bangsa” secara menjemukan.

Masalahnya, di era digital, angka ini sering tidak terhubung dengan pengalaman nyata rakyat. Misalnya, walaupun data kemiskinan turun di statistik resmi, sebagian anak muda tetap merasa terpinggirkan secara ekonomi dan sosial. Akibatnya, kebanggaan nasional yang dibangun dari angka menjadi dingin dan jauh dari hati, tidak menumbuhkan keterikatan emosional.

Di ruang digital, nasionalisme tidak lagi dibentuk secara tunggal oleh negara. Media sosial, influencer, komunitas fandom, bahkan budaya pop global bersaing menawarkan simbol-simbol identitas yang sering lebih relatable dan lebih keren daripada simbol nasional formal. Misalnya, negara bicara lewat “nasionalisme statistik”:Indonesia peringkat 1 pariwisata halal, PDB naik 5%. Di sisi lain, dunia digital menawarkan ikon seperti benderaOne Pieceyang terasa lebih dekat secara emosional karena dikaitkan dengan nilai persahabatan, petualangan, atau perlawanan.

Hasilnya simbol nasional yang didukung statistik kalah pamor dibanding simbol pop culture yang viral. Bukan persoalan bender aini sangat dipahami oleh generasi muda, tetapi native digital juga terjebak dalam budaya pop dan budaya viral tanpa nalar yang kuat.

Nasionalisme statistik berjalan lambat (menunggu rilis data tahunan), sedangkan budaya digital bergerak cepat. Saat benderaOne Pieceviral, anak muda tidak memikirkan indikator nasionalisme atau sejarah perjuangan kemerdekaan; mereka ikut tren untuk eksistensi di media sosial. Ini menandakan pergeseran sumber legitimasi kebanggaan—dari data dan narasi sejarah, ke popularitas dan keterlibatan digital.

Jalan Keluar Membentuk Nasionalisme Digital

Jika nasionalisme mau relevan di era digital, ia harus menggabungkan narasi statistik dengan storytelling yang emosional. Angka kemajuan harus disertai kisah manusia nyata yang menginspirasi. Disajikan dengan konten yang relate dengan anak-anak muda.

Pemerintah harus mengerahkan potensi yang dimiliki untuk masuk ke ruang digital dengan simbol, konten, dan kampanye kreatif yang resonan di mata anak muda. Gunakan media kreatif dan perkembangan digital sebagai instrument membangkitkan nasionalisme. Perlomban Esport misalnya menjadi cara baru bagi perlombaan 17 Agustus, kampanye pemasangan bendera Merah Putih hingga ke pelosok dan pedesaan menjadi sangat menyentuh apalagi menggunakan influencer.

Selanjutnya, pemerintah harus menyinkronkan identitas lokal dan global, sehingga anak muda bisa tetap bangga dengan merah putih tanpa merasa harus meninggalkan fandom global mereka. Contoh Pacu Jalur yang viral adalah sebuah strategi bagaimana kebanggaan lokal justru mampu melibas konten global.

Sekali lagi menghadapi fenomena bendera One Piece dan budaya latah digital, negara tidak boleh hadir dengan nasionalisme statistik yang menjenuhkan, apalagi hanya hadir dengan larangan dan ancaman hukum. Yang dibutuhkan adalahedukasi publiktentang makna simbol negara, pentingnya penghormatan terhadap bendera Merah Putih, dan perbedaan antara ekspresi budaya dengan penghinaan terhadap negara dengan cara yang kreatif.

Terakhir, nasionalisme perludidefinisikan ulang dalam bahasa dan imajinasi anak muda. Jika anak muda lebih dekat dengan anime, kenapa kita tak mencoba menyisipkan nilai-nilai kebangsaan melalui pendekatan pop culture yang mereka sukai?

Facebook Comments