Merayakan Kemerdekaan, Menghidupkan Memori, Merajut Dialog

Merayakan Kemerdekaan, Menghidupkan Memori, Merajut Dialog

- in Narasi
2
0
Merayakan Kemerdekaan, Menghidupkan Memori, Merajut Dialog

Setiap Agustus, lanskap Indonesia berubah. Merah putih berkibar di setiap sudut, dari gang sempit perkotaan hingga jalan setapak di pedalaman. Seremoni formal, lomba panjat pinang, dan balap karung menjadi pemandangan jamak, sebuah ritus tahunan yang kita kenal sebagai “Tujuhbelasan”.

Itu sejatinya bukan ritus seremonial belaka. Di dalamnya, tersimpan sebuah ruang dialog yang jauh lebih dalam dan bermakna. Perayaan kemerdekaan di tingkat lokal, yang diekspresikan melalui medium budaya, sesungguhnya adalah panggung di mana identitas kebangsaan tidak hanya dirayakan, tetapi juga dirundingkan dan diperkuat.

Misalnya, di Aceh ada pacu kuda tradisional (Pacu Kude) yang mempertontonkan keperkasaan dan sportivitas. Di Palembang, ada tradisi Telok Abang (telur merah) menjadi simbol kelahiran dan harapan baru. Ada juga di Lombok, ritual pertarungan rotan (Peresean) menjadi ajang adu nyali dan ketangkasan.

Keragaman ini menunjukkan bahwa “kemerdekaan” bukanlah sebuah konsep abstrak yang turun dari langit. Ia adalah sebuah gagasan yang diterjemahkan, diinterpretasikan, dan diberi makna melalui idiom-idiom budaya yang paling akrab bagi masyarakat setempat.

Di Metro Lampung, puncak perayaan HUT RI diwujudkan dalam sebuah pagelaran wayang kulit semalam suntuk. Pilihan ini sarat dengan makna simbolik. Wayang kulit adalah sebuah artefak budaya kompleks yang lahir dari rahim peradaban Hindu-Buddha, menyerap epos Ramayana dan Mahabharata, namun kemudian diresapi dan disebarluaskan oleh Wali Songo dengan napas dan filsafat Islam.

Ketika sebuah komunitas, yang tentu terdiri dari warga dengan latar belakang keyakinan beragam, berkumpul di lapangan yang sama untuk merayakan hari jadi republik melalui medium wayang, mereka sedang melakukan lebih dari sekadar menonton pertunjukan. Mereka terlibat dalam sebuah dialog kultural yang hening namun mendalam.

Meminjam tesis Izak Y.M. Lattu ini adalah sebuah interaksi simbolik di aras sehari-hari yang mengaktifkan memori kolektif dan membangun sebuah “kita” yang melampaui sekat-sekat formal agama dan suku. Ia menyebutnya dengan interreligious engagement. Keterikatan sosial ini menjadi instrumen dialog itu sendiri, alih-alih melalui diskusi yang kaku di atas meja.

Dalam studinya mengenai relasi Muslim-Kristen di Maluku, Lattu (2014) mengemukakan keterbatasan dialog antaragama yang bersifat formal, elitis, dan sering kali terputus dari denyut nadi kehidupan masyarakat biasa. Sebagai gantinya, ia menawarkan perspektif interaksionisme simbolik, yang melihat bagaimana makna bersama diciptakan dan hubungan sosial dibangun melalui interaksi sehari-hari yang kaya akan simbol.

Perayaan kemerdekaan melalui pagelaran wayang atau tradisi lokal adalah contoh sempurna dari interaksi simbolik ini. Simbol-simbol dalam pertunjukan wayang, tokoh Pandawa sebagai representasi kebaikan, Kurawa sebagai kejahatan, serta Punakawan sebagai suara kebijaksanaan rakyat, adalah milik bersama.

Seorang Muslim bisa memaknai lakon Dewa Ruci sebagai perjalanan spiritual mencari Tuhan yang esa, sementara seorang abangan atau Hindu bisa melihatnya sebagai pencarian jati diri yang universal. Tidak ada tafsir tunggal yang dipaksakan. Yang ada adalah ruang negosiasi makna dalam sebuah pengalaman bersama (shared experience).

Mereka mungkin datang dengan identitas keagamaan yang berbeda, tetapi mereka pulang dengan memori kolektif yang sama tentang malam itu—malam di mana mereka merayakan “kemerdekaan” bersama-sama.

Ini adalah bentuk dialog yang jauh lebih otentik dan berdampak daripada diskusi kaku di atas meja. Lattu menyebutnya sebagai “terobosan sosiologis” dalam relasi antar-iman, di mana ikatan sosial tidak dibangun melalui perdebatan teologis, melainkan melalui partisipasi dalam praktik-praktik budaya bersama.

Praktik-praktik inilah yang mengaktifkan memori kolektif, sebuah konsep kunci lainnya. Perayaan HUT RI itu sendiri adalah sebuah tindakan besar untuk memanggil kembali memori kolektif tentang perjuangan bersama melawan penjajah. Ketika pemanggilan memori ini dibalut dalam tradisi seperti Peresean atau Pacu Kude, ia mengikat memori kebangsaan dengan memori kultural lokal, menciptakan jalinan identitas yang berlapis dan kuat.

Jalinan inilah yang menjadi inti dari kekuatan kita. Tawa lepas yang meledak saat lomba balap karung, atau semangat gotong royong yang membara dalam panjat pinang, sejatinya adalah dialek lain dari bahasa persatuan yang sama. Keduanya adalah ruang di mana status dan sekat sosial melebur dalam kegembiraan bersama.

Dialog antarbudaya ini telah menjadi nyawa dalam kehidupan kita sehari-hari, sebuah mekanisme alami yang membuat persatuan Indonesia tidak rapuh, melainkan tangguh dan berdaya.

Pada akhirnya, merayakan kemerdekaan adalah merayakan persatuan bangsa Indonesia. Kekuatan Indonesia tidak terletak pada keseragaman yang membisu, tetapi pada orkestra kebersamaan yang riuh.

Facebook Comments