Demokrasi adalah ruang hidup bangsa. Ia bukan sekadar sistem politik, melainkan jalan bersama untuk menyalurkan aspirasi, memperjuangkan keadilan, dan menjaga hak-hak dasar negara. Di dalam demokrasi, demonstrasi damai menjadi tanda sehatnya kebebasan publik.
Namun, dalam realitas sosial yang tengah kita hadapi, demokrasi kita kembali diuji. Aksi demonstrasi yang semula berlangsung damai justru berubah menjadi anarkis, penuh kekerasan, bahkan disertai penjarahan serta adu domba berbasis identitas. Situasi semacam ini mengingatkan kita akan bahaya dua musuh klasik demokrasi: demagog dan ashabul fitnah.
Demagog adalah mereka yang menggunakan retorika manipulatif untuk membakar emosi massa daan menanamkan kebencian demi kepentingan politik pribadi atau kelompok mereka. Mereka bukan pejuang aspirasi rakyat, melainkan penunggang gelap amarah rakyat.
Dalam sejarah Yunani, demagog muncul ketika rakyat sedang gelisah, lalu dengan kata-kata yang menggugah, mereka menjerumuskan publik ke dalam jurang konflik. Pola itu kini tampak di berbagai demonstrasi: isu-isu nyata tentang ketidakadilan disusupi oleh narasi provokatif, sehingga tujuan murni aksi rakyat tertutup oleh kerusuhan dan kekacauan.
Sementara itu, dalam khazanah sejarah Islam, kita mengenal istilah ashabul fitnah—para pelaku fitnah yang menjadi biang kerusuhan di tengah umat. Fitnah dalam pengertian klasik bukan sekadar kabar bohong, melainkan perpecahan besar yang mengguncang sendi-sendi masyarakat. Ashabul fitnah adalah mereka yang meniupkan bisikan adu domba, menyebarkan rumor, atau mengangkat isu identitas untuk memecah belah Indonesia
Karena itu, dengan ini kita harus selalu ingat bahwa kekerasan dalam demonstrasi bukanlah tanda kekuatan rakyat, melainkan kelemahan ruang publik yang gagal dijaga. Demokrasi tanpa etika dan kesabaran hanya akan melahirkan kekacauan. Justru yang harus kita lakukan adalah mengembalikan ruh demokrasi kepada nilai keadilan, kesetaraan, dan penghormatan pada martabat manusia. Rasa marah terhadap ketidakadilan harus diterjemahkan dalam perjuangan konstruktif, bukan dengan merusak, menjarah, atau menebar kebencian.
Penting bagi kita untuk menyadari bahwa musuh terbesar demokrasi bukan hanya ketidakadilan struktural, melainkan juga manipulasi emosional. Demagog dan ashabul fitnah bergerak di ruang-ruang kosong antara aspirasi rakyat dan sistem yang belum sempurna. Mereka memanfaatkan celah tersebut untuk menyalakan api yang membakar persaudaraan. Jika kita lengah, api kecil itu bisa menjadi kobaran besar yang meluluhlantakkan demokrasi.
Maka kita harus memperkuat daya kritis kita dalam menghadapi arus informasi. Jangan mudah terprovokasi oleh ujaran kebencian, hoaks, atau narasi identitas yang menyesatkan. Pada saat yang sama, kita juga harus memperkuat solidaritas kebangsaan. Indonesia adalah rumah bersama, dan setiap kali kita membiarkan demagog dan ashabul fitnah menguasai ruang publik, sebenarnya kita sedang merobohkan dinding rumah demokrasi kita sendiri.
Di tengah turbulensi politik dan sosial, mari kita warisi sikap bijak para pemimpin besar yang meletakkan kepentingan bangsa di atas ego kelompok. Demokrasi hanya bisa bertahan jika kita bersepakat untuk menjaganya dari tangan-tangan yang ingin menghancurkannya. Sejarah Islam mengingatkan kita akan akibat dahsyat dari fitnah, sementara sejarah politik dunia memberi pelajaran tentang betapa berbahayanya demagog dalam dunia demokrasi.
Indonesia tidak boleh jatuh pada lubang yang sama tersebut. Di tengah marah yang membara, yang perlu kita suarakan dan nyalakan adalah energi perubahan, bukan kebencian.