Membangun ‘Negara Islami’; Haruskah dengan Cara Formalisasi Syari’ah?

Membangun ‘Negara Islami’; Haruskah dengan Cara Formalisasi Syari’ah?

- in Narasi
28
0
Membangun ‘Negara Islami’; Haruskah dengan Cara Formalisasi Syari’ah?

Perdebatan mengenai gagasan “Negara Islami” selalu muncul dalam ruang wacana politik Islam, khususnya di negara-negara dengan mayoritas penduduk muslim. Pertanyaan yang sering muncul adalah: apakah membangun negara Islami hanya mungkin dilakukan dengan cara memformalkan syari’ah ke dalam sistem hukum dan pemerintahan?

Sebagian kelompok menjawab tegas “ya”, dengan argumentasi bahwa syari’ah adalah sumber hukum ilahi yang harus menjadi fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, tidak sedikit pula yang menolak, dengan pandangan bahwa esensi Islam jauh melampaui sekadar formalisasi hukum, dan bahwa memaksa syari’ah menjadi sistem negara justru berpotensi menimbulkan masalah baru, baik dalam bidang politik maupun keagamaan.

Formalisasi syari’ah dalam konteks negara modern biasanya dipahami sebagai upaya mengubah nilai-nilai hukum Islam menjadi undang-undang positif yang berlaku secara mengikat bagi seluruh warga negara, tanpa kecuali. Di Indonesia, wacana ini kerap hadir dalam bentuk tuntutan penerapan perda syari’ah dam pemberlakuan hukum pidana Islam (hudud), atau bahkan gagasan negara Islam yang secara total sistem pemerintahan khilafah.

Bagi para pengusungnya, negara hanya bisa disebut Islami jika perangkat hukum Islam diterapkan secara formal dan menyeluruh di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Logikanya, tanpa legalitas syari’ah, identitas keislaman negara dianggap tidak sempurna.

Namun, pendekatan semacam itu nyatanya menyimpan sejumlah persoalan mendasar. Pertama, formalisasi syari’ah sering kali bertabrakan dengan prinsip pluralisme dan kebinekaan yang ada di sebuah negara. Indonesia, misalnya, adalah negara dengan beragam agama, etnis, dan budaya. Menjadikan syari’ah sebagai hukum formal bagi seluruh warga negara otomatis mengabaikan hak-hak komunitas non-muslim yang dijamin konstitusi.

Dalam jangka panjang, hal ini dapat melahirkan ketidakadilan struktural dan memicu konflik horizontal di antara sesama masyarakat Indonesia. Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin justru akan dipersepsikan sebagai kekuatan eksklusif dan diskriminatif.

Kedua, sejarah membuktikan bahwa Islam dapat hidup dan berkembang tanpa harus dilekatkan pada bentuk negara yang seragam. Pada masa Nabi Muhammad di Madinah, misalnya, prinsip yang ditegakkan adalah Piagam Madinah, sebuah kontrak sosial yang mengakui hak semua kelompok, termasuk kaum Yahudi dan non-muslim lainnya.

Pada saat itu, tidak ada pemaksaan tunggal dalam bentuk formalisasi hukum Islam bagi semua pihak. Yang diutamakan adalah terciptanya keadilan, keamanan, dan tata hidup bersama yang harmonis. Dengan kata lain, keislaman sebuah negara tidak terletak pada simbol hukum formal, tetapi pada praksis nilai-nilai etis yang menjunjung keadilan dan kemaslahatan.

Ketiga, formalisasi syari’ah kerap melahirkan reduksi Islam yang sempit. Islam kemudian dipersempit hanya pada aspek hukum, sementara dimensi moral, spiritual, dan sosial yang jauh lebih luas terabaikan. Padahal, negara Islami yang sejati seharusnya adalah negara yang menghadirkan keadilan sosial, menghapus kesenjangan, melindungi kelompok lemah, menegakkan etika kepemimpinan, dan memastikan kesejahteraan masyarakat dan rakyat.

Memang, sebagian kalangan berargumen bahwa tanpa formalisasi syari’ah, Islam akan tercerabut dari ruang publik dan hanya menjadi urusan privat. Namun, pandangan ini perlu diluruskan. Justru dengan tidak dipaksakan secara formal, Islam dapat hadir lebih otentik melalui keteladanan sosial, budaya, dan moral yang lebih luas. Islam tidak lagi dipersepsikan sebagai instrumen paksaan negara, melainkan sebagai inspirasi hidup bersama. Seorang muslim yang jujur, adil, dan amanah dalam jabatan publik, jauh lebih merepresentasikan nilai Islam ketimbang segudang undang-undang syari’ah yang tidak dijalankan dengan konsisten.

Dalam konteks Indonesia, Pancasila sesungguhnya telah menjadi ruang sintesis antara aspirasi keagamaan dan kebangsaan. Sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, menegaskan bahwa negara berdiri atas fondasi religius tanpa memaksakan agama tertentu. Prinsip ini memungkinkan umat Islam mengaktualisasikan ajaran agamanya dalam kehidupan bernegara secara bebas dan merdeka, tanpa harus menegasikan keberadaan kelompok lain.

Dengan demikian, membangun “Negara Islami” sebenarnya tidak harus dilakukan dengan cara memformalisasi syari’ah. Justru yang lebih penting dan mendesak adalah bagaimana spirit syari’ah, yang menekankan keadilan dan kemaslahatan, dapat meresap dalam institusi dan kebijakan negara. Negara Islami bukanlah proyek simbolik, melainkan sebuah cita-cita etis: negara yang adil, egaliter, jujur, dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Inilah tantangan sejati yang harus dihadapi, jauh melampaui sekadar perdebatan formalitas hukum.

Facebook Comments