Ketika Eks Napi Teroris Membumikan Semangat Sumpah Pemuda

Ketika Eks Napi Teroris Membumikan Semangat Sumpah Pemuda

- in Narasi
2
0

Bagi para eks napi teroris di Republik ini, Sumpah Pemuda bukanlah ikrar pertama mereka. Jauh sebelum kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, mereka telah mengucapkan sumpah lain. Sumpah pertama itu adalah baiat. Ikrar setia buta kepada amir-amir mereka, kepada tanzhim, kepada utopia transnasional yang secara sadar menolak eksistensi Indonesia.

Di satu sisi, esensi Sumpah Pemuda 1928 adalah kristalisasi kesadaran untuk membunuh ego primordial. Para pemuda Jong Java, Jong Sumatranen Bond, dan Jong Ambon secara sadar meleburkan sekat kesukuan mereka untuk menjadi Satu Bangsa, Indonesia. Mereka meruntuhkan ego kedaerahan untuk melawan politik divide et impera penjajah.

Di sisi lain, radikal terorisme adalah antitesis sempurna dari proses ini. Ia adalah gerakan fisi pemecahan. Ia menuntut pengikutnya untuk menghancurkan tiga pilar Sumpah Pemuda; loyalitas pada Satu Tanah Air dan Satu Bangsa diganti dengan loyalitas buta pada imaji “khilafah” khas mereka.

Ketika kita bicara tentang peran pemuda eks-narapidana terorisme (napiter) dalam konteks Sumpah Pemuda, kita sejatinya sedang menyaksikan sebuah drama ideologis. Kembalinya mereka bukanlah nostalgia seremonial. Ia adalah sebuah pembatalan atas sumpah pertama dan proklamasi atas sumpah kedua—sebuah Sumpah Pemuda.

Praktik sumpah kedua ini termanifestasi dalam kerja-kerja konkret. Secara simbolik, mereka pernah mencium bendera Merah Putih di dalam bui. Setelah keluar, mereka diuji lewat praktik yang lebih konkret. Beberapa dari mereka berhasil menjadi antitesis dari diri mereka di masa lalu.

Misalnya Ali Fauzi Manzi. Adik kandung terpidana mati Bom Bali I ini adalah pakar perakit bom. Kini, di Lamongan, ia mendirikan Yayasan Lingkar Perdamaian (YLP). Yayasan ini meneruskan semangat Sumpah Pemuda itu dengan secara aktif meleburkan kembali ego ideologi puluhan eks-kombatan ke dalam wawasan kebangsaan.

Di Solo, Jack Harun (Joko Tri Harmono), mantan pengawal Abu Bakar Ba’asyir, kini membuka ‘Warung Soto Bang Jack’. Ia berkolaborasi dengan Jaringan GUSDURian—simbol pluralisme yang dulu ia musuhi.

Langkah serupa diambil Umar Patek. Terlibat dalam Bom Bali I, sosok “ikan besar” ini kini menghirup udara bebas. Alih-alih menghilang, ia membuka kedai kopi bernama Kopi Ramu.

Kedai kopi adalah ruang publik. Ketika seorang Umar Patek meracik dan menyajikan kopi untuk pelanggan umum, terjadi sebuah pembalikan peran yang fundamental: sang mantan teroris kini melayani masyarakat.

Soto dan kopi itu telah menjadi medium di mana “Satu Bangsa” yang majemuk bertemu kembali di meja makan.

Jika Ali, Jack, dan Umar membangun di ranah sipil, Sofyan Tsauri bertempur di medan laga narasi. Mantan desertir Brimob yang melatih Al-Qaeda di Aceh ini membalikkan senjatanya. Dengan otoritas sebagai “orang dalam”, ia kini menjadi vaksin kontra-propaganda, membongkar kebohongan romantisasi jihad di kampus-kampus.

Penting untuk dicatat, Ali Fauzi, Umar Patek, dan Jack Harun bukanlah Gen Z. Secara kronologis, usia mereka tak lagi muda. Namun, Sumpah Pemuda 1928 sendiri tidak pernah lagi soal umur. “Pemuda” adalah sebuah kategori sosiologis, bukan demografis.

Saat mereka bergabung dengan kelompok radikal di masa lalu, mereka juga pemuda. Mereka didorong oleh idealisme yang yang salah alamat. Kini, di usia 40 atau 50-an, mereka kembali sebagai “pemuda” dalam arti berbeda, yaitu menggunakan energi yang sama untuk menebus kesalahan masa lalunya.

Ketika mereka mulai berbenah, kita sebagai generasi muda yang sebenarnya juga mempunyai tanggung jawab untuk merangkul mereka.

Gen Z, misalnya, adalah generasi yang tumbuh dalam polarisasi digital dan terbiasa dengan cancel culture. Skeptisisme adalah refleks alami mereka. Namun, Sumpah Pemuda adalah tentang merangkul yang berbeda.

Menerima mereka di kesempatan kedua bukanlah tindakan naif. Ini adalah keharusan, persis seperti para “Jong” di tahun 1928 yang menyadari bahwa persatuan adalah satu-satunya strategi untuk merdeka.

Pilihan kita hanya dua: merangkul mereka kembali atau membiarkan mereka terasing dan berpotensi kembali ke jalan yang salah. Penolakan kita justru menjadi validasi bagi jaringan teroris untuk terus menanamkan benih kebencian kepada jaringan lamanya yang sudah bertobat.

Walakhir, mereka menunjukkan bahwa “pemuda” adalah soal semangat. Sumpah Pemuda bukanlah naskah kuno yang hanya dihafal, tapi semangat yang bisa dihidupkan kapan saja oleh siapa saja yang memilih untuk kembali.

Justru tantangan ada di kita, khususnya Generasi Z. Menerima mereka kembali adalah pilihan yang logis dan penting. Menerima mereka adalah cara kita membuktikan bahwa Indonesia adalah rumah yang terbuka, yang mau menerima “anak hilang” yang memilih untuk pulang.

Facebook Comments