Sembilan puluh tujuh tahun silam, para pemuda dari berbagai penjuru Nusantara berkumpul, mengukir sejarah dengan Sumpah Pemuda. Sebuah deklarasi yang tak sekadar janji, melainkan sebuah “api” yang menyalakan kesadaran kebangsaan dan mempersatukan. Kini, di era digital yang serba cepat dan penuh tantangan, relevansi “api” Sumpah Pemuda semakin mendesak direvitalisasi, khususnya dalam membangun ketahanan digital bangsa.
“Api” Sumpah Pemuda, menurut Yudi Latif (2019), adalah lahirnya kesadaran kebangsaan yang dilandasi oleh konektivitas mental-kejiwaan. Bayangkan pada saat itu, dengan infrastruktur perhubungan yang terbatas, para pemuda dari Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Batak, hingga Jong Celebes dan Jong Ambon, mampu bersatu dan membangun jembatan yang melampaui sekat-sekat geografis dan sosiografis karena didorong rasa senasib seperjuangan melawan penjajah.
Kesadaran akan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa adalah esensi dari “api” tersebut—sebuah spirit persatuan dan kesatuan yang teguh. Mengobarkan kembali “api” Sumpah Pemuda berarti menguatkan dasar-dasar kebangsaan yang telah dibangun para pendahulu kita: persaudaraan, persatuan, gotong royong, dan penghormatan pada perbedaan. Nilai-nilai ini adalah benteng pertahanan paling kokoh menghadapi ancaman keutuhan bangsa, seperti provokasi pemecah belah, narasi kebencian, hingga kekerasan.
Namun, konteks ancaman hari ini tidak hanya datang dari ranah fisik semata. Ruang digital telah menjadi medan perang baru yang tak kasat mata, di mana narasi-narasi destruktif dapat menyebar dengan cepat. Kemunculan deepfake berbasis Kecerdasan Buatan (AI) untuk memanipulasi kebenaran dan memecah belah kini menjadi ancaman serius. Hari ini, informasi palsu dapat dibuat sedemikian rupa sehingga tampak autentik, menjadikannya senjata baru untuk menyebarkan hoaks, memicu konflik antarkelompok, bahkan memicu polarisasi yang ekstrem hingga kekerasan dan radikalisme.
Di sinilah revitalisasi dan aktualisasi “api” Sumpah Pemuda menjadi sangat krusial dalam membangun ketahanan digital. Tidak berhenti pada keamanan siber atau infrastruktur teknologi, lebih dari itu, ketahanan digital ini adalah juga tentang bagaimana membangun dan menyebarkan nilai-nilai persatuan, persaudaraan, dan nasionalisme di tengah maraknya berbagai narasi dari konten-konten yang mengarah pada kekerasan, radikalisme, dan kebencian di dunia maya.
Dalam situasi seperti ini, “konektivitas mental-kejiwaan” yang menjadi inti Sumpah Pemuda harus diinterpretasikan ulang sebagai konektivitas etis dan kritis di ruang digital. Jika pada 1928 keterbatasan teknis diatasi dengan kerapatan “konektivitas mental-kejiwaan”, kini di tengah melimpahnya konektivitas teknis, kita dituntut memperkuat kembali “konektivitas mental-kejiwaan” itu melalui kesadaran digital.
Dari Jong ke Jaringan
“Api” Sumpah Pemuda yang lahir 97 tahun lalu pada tahun 1928, yang merupakan kesadaran kebangsaan dan konektivitas mental-kejiwaan, harus direvitalisasi sebagai benteng pertahanan bangsa di era digital. Pada masa itu, para pemuda dari berbagai organisasi regional seperti Jong Java, Jong Ambon, dan lainnya, mengatasi keterbatasan fisik (infrastruktur) dengan semangat persatuan, persaudaraan, dan penghormatan pada perbedaan.
Nilai-nilai ini—bukan hanya sekadar slogan—adalah daya tangkal utama terhadap ancaman keutuhan bangsa, baik itu dalam bentuk provokasi pemecah belah, politisasi identitas, maupun narasi radikalisme-terorisme yang merusak nilai-nilai kebangsaan. Dengan mengokohkan kembali nilai-nilai luhur ini, bangsa Indonesia menjadi kebal dari segala bentuk ancaman ideologis.
Kemudian, penting untuk mentransformasikan semangat Sumpah Pemuda ke dalam konteks ketahanan digital. Medan ancaman kini telah bergeser dari fisik ke ruang siber, di mana konten yang memecah belah, hoaks, deepfake, dan narasi kebencian dapat disebarkan dengan kecepatan tinggi. Oleh karena itu, konektivitas mental-kejiwaan harus diinterpretasikan ulang sebagai konektivitas etis dan kritis di dunia maya.
Dari segi jumlah, para pemuda Indonesia hari ini menjadi kelompok demografis terbesar dengan jumlah hampir 30 persen dari total populasi. Generasi yang akrab dengan teknologi ini adalah garda terdepan dalam perjuangan ini. Mereka adalah penerus semangat Sumpah Pemuda dengan menyambungkan “konektivitas lintas suku dan daerah” secara virtual.
Revitalisasi tersebut dapat dilakukan melalui gerakan para pemuda untuk menjadi agen persatuan di ruang digital, proaktif menyebarkan nilai-nilai toleransi, kesetaraan, persaudaraan, dan gotong royong, dengan dibekali literasi digital yang kuat. Tujuannya jelas, memastikan bahwa teknologi digital, seperti AI, tidak disalahgunakan untuk memanipulasi kebenaran dan memicu perpecahan, melainkan dipertahankan sebagai alat atau sarana memperkuat kesadaran kebangsaan dan menjaga keutuhan bangsa.
Kita semua, para pemuda Indonesia hari ini, bertanggung jawab memastikan bahwa api Sumpah Pemuda yang dikobarkan para pendahulu tetap menyala abadi di era digital hari ini. Dengan mengobarkan kembali “api” Sumpah Pemuda — kesadaran kebangsaan, persatuan, dan penghormatan atas perbedaan — dan mengaktualisasikannya dalam ranah digital, kita akan memiliki daya tangkal yang kuat terhadap segala bentuk ancaman siber. Kita akan menjadi bangsa yang tak mudah terpecah belah oleh narasi kebencian, manipulasi informasi, maupun provokasi digital. Semangat persatuan yang membara di ruang digital adalah fondasi utama bagi ketahanan digital Indonesia.
