Indonesia adalah laboratorium sosial-politik yang unik. Relasi agama dan negara di negeri ini begitu erat, saling terhubung, dan hidup berdampingan dalam ruang publik yang plural. Perbincangan tentang agama dan politik terus bergulir, menjadi bahan diskusi para politisi, agamawan, hingga cendekiawan. Menariknya, meski kerap penuh perdebatan, kedua entitas ini tetap berdiri berdampingan tanpa saling menindih atau mendominasi.
Isu formalisasi syariat Islam, misalnya, pernah mencuat dengan cukup keras, terutama ketika partai-partai Islam mengusung agenda penerapan Piagam Jakarta atau perda-perda syariah. Sebaliknya, gagasan sekularisasi yang diperkenalkan sebagian cendekiawan Muslim pada era 1970–an juga menimbulkan kehebohan besar. Namun, meski diskursus itu hangat, ia tidak sampai mengguncang tatanan keyakinan publik tentang relasi agama dan negara.
Saya menduga, masyarakat Indonesia telah memiliki basis keyakinan kolektif yang kokoh terkait falsafah hidup bernegara. Basis keyakinan itu, jika diperhatikan lebih jauh, menyerupai agama. Ada seperangkat simbol, doktrin, ritus, dan kepercayaan yang mengikat masyarakat sebagai bangsa, meskipun ia bukanlah agama formal seperti Islam, Kristen, Hindu, Buddha, atau Konghucu. Inilah yang dalam literatur disebut sebagai agama sipil (civil religion).
Robert N. Bellah memperkenalkan konsep agama sipil saat mengamati masyarakat Amerika Serikat. Ia menemukan bahwa warga Amerika memperlakukan dokumen pendiri bangsa sepertiDeclaration of Independenceatau tokoh-tokoh nasional semisal George Washington dan Abraham Lincoln layaknya simbol dan figur profetis yang sakral. Agama sipil menurut Bellah bukanlah agama tandingan, melainkan sebuah keyakinan publik yang berfungsi menjaga kohesi sosial, menghadirkan nilai transenden di atas kepentingan politik praktis sehari-hari, serta menjadi perekat bangsa yang plural.
Dalam konteks Indonesia, agama sipil menemukan bentuknya secara khas. Pancasila berfungsi sebagai doktrin ideologis yang sakral. UUD 1945 menjadi kitab perundang-undangan yang dijaga kesuciannya. Teks Proklamasi 17 Agustus 1945 diperlakukan sebagai naskah sakral yang mengandung ruh kemerdekaan. Bendera Merah Putih menjadi simbol kesucian bangsa yang dihormati dengan khidmat. Bahkan, peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus diperlakukan sebagai ritus kebangsaan yang penuh dengan nuansa religiusitas.
Seluruh elemen itu adalah bentuk nyata dari agama sipil Nusantara. Ia menanamkan rasa sakral terhadap kebangsaan, menyatukan masyarakat majemuk dalam nilai-nilai universal seperti persatuan, keadilan, pengorbanan, dan patriotisme. Dengan kata lain, agama sipil Nusantara berfungsi sebagai kanopi sakral (sacred canopy)- meminjam istilah Peter L. Berger-yang menaungi seluruh warga negara, apapun agama formal yang mereka anut.
Namun penting ditegaskan bahwa agama sipil di Indonesia tidak pernah bermaksud menggantikan agama formal. Ia tidak menggeser keyakinan teologis masing-masing agama. Hal ini dapat dilihat dalam praktik nyata. Dokumen sakral kenegaraan selalu dibuka dengan pengakuan terhadap anugerah Tuhan Yang Maha Esa; doktrin Pancasila menempatkan Ketuhanan sebagai sila pertama; upacara kemerdekaan diselipi doa lintas agama; bahkan pelantikan pejabat negara selalu dilakukan dengan sumpah atas nama kitab suci masing-masing.
Harmoni ini membuat agama sipil Nusantara bukanlah pesaing agama-agama formal, melainkan mitra yang saling menopang. Agama-agama formal memberi energi moral, etika, dan spiritual agar simbol serta identitas kebangsaan tetap kokoh. Sementara agama sipil menjaga ruang publik agar tetap inklusif, menghadirkan payung kebangsaan bagi semua warga, dan mencegah dominasi satu agama atas agama lain.
Kita bisa melihat sinergi ini dalam kiprah ormas besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Kedua organisasi tersebut konsisten mengawal Pancasila sebagai dasar negara sekaligus menegaskan bahwa agama tidak perlu diformalisasi dalam bentuk negara agama. NU dengan konsep Islam Nusantara dan Muhammadiyah dengan gagasan Islam Berkemajuan sama-sama menunjukkan bahwa agama sipil dan agama formal dapat hidup berdampingan untuk memperkuat kohesi nasional.
Tantangan tentu tetap ada. Misalnya, munculnya kelompok yang mendorong formalisasi syariat secara kaku atau kelompok sekuler yang menolak peran agama sama sekali. Keduanya bisa menggerus keseimbangan yang sudah lama dijaga. Karena itu, tugas generasi hari ini adalah terus memelihara agama sipil Nusantara sebagai payung kebangsaan.
Di tengah derasnya arus globalisasi, polarisasi politik, dan ancaman intoleransi, agama sipil menjadi pilar penting untuk memastikan demokrasi Indonesia tetap kokoh dan tidak tercerabut dari akar kebudayaan serta keagamaan masyarakat. Selama agama sipil dan agama formal terus bersinergi, maka Indonesia akan tetap menjadi rumah bersama yang damai, adil, dan inklusif bagi seluruh warganya.