Islam di Ruang Publik: Syariat Formal atau Kebebasan Beragama?

Islam di Ruang Publik: Syariat Formal atau Kebebasan Beragama?

- in Narasi
24
0
Islam di Ruang Publik: Syariat Formal atau Kebebasan Beragama?

Perdebatan mengenai posisi agama dalam kehidupan bernegara selalu menjadi isu yang tak pernah habis di Indonesia. Meski sejak dulu Pancasila telah disepakati sebagai konsensus nasional yang diterima semua pihak sejak dulu, wacana tentang formalisasi syariat Islam tetap hidup dan terus dikampanyekan hingga hari ini. Di setiap momen-momen tertentu, isu ini kembali dimunculkan, seolah-olah menjadi wacana yang tak pernah selesai.

Para pengusung formalisasi syariat Islam meyakini bahwa hukum Allah adalah hukum yang sempurna, sehingga negara berkewajiban untuk menjadikannya sebagai hukum formal. Mereka menganggap bahwa selama syariat belum menjadi hukum negara, umat Islam masih belum menjalankan agamanya secara kaffah (menyeluruh). Di banyak forum, slogan seperti “Islam adalah solusi” atau “syariat sebagai jalan menuju keadilan” terus digaungkan.

Bahkan, ada kelompok yang menuduh penolakan terhadap formalisasi syariat sama saja dengan menolak kedaulatan Tuhan. Tidak jarang isu ini dipolitisasi, sehingga formalisasi syariat menjadi agenda tersembunyi dalam kontestasi politik lokal maupun nasional.

Namun, persoalan mendasarnya adalah: apakah Islam benar-benar memerintahkan agar syariat dijadikan hukum negara yang mengikat semua orang, termasuk mereka yang tidak beragama Islam? Apakah penerapan syariat dalam ranah publik harus dipaksakan melalui perangkat hukum negara? Jika Islam saja menegaskan bahwa tidak boleh ada paksaan dalam beragama, lalu mengapa kita hendak memaksakan syariat sebagai hukum formal negara?

Dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 256 Allah SWT berfirman: “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” Jadi, jika dalam urusan keyakinan saja Allah melarang paksaan, maka bagaimana mungkin manusia memaksakan formalisasi syariat Islam kepada seluruh warga negara ?

Lebih jauh lagi, Rasulullah SAW sendiri dalam sejarah hidupnya juga tidak pernah menjadikan Islam sebagai sistem hukum negara yang bersifat memaksa seluruh penduduk, apalagi non-Muslim. Piagam Madinah, yang sering disebut sebagai konstitusi pertama dalam sejarah, menunjukkan bahwa Rasulullah justru membangun sebuah tatanan yang inklusif.

Piagam itu mengakui hak-hak kaum Yahudi, Nasrani, dan kelompok lain untuk menjalankan agama masing-masing tanpa intervensi, meskipun masyarakat Madinah pada saat itu berada dalam kepemimpinan Rasulullah. Fakta ini menunjukkan bahwa Islam menghargai kebebasan beragama dan menolak pemaksaan keyakinan, bahkan dalam bentuk hukum publik.

Dengan demikian, wacana formalisasi syariat Islam sebagai hukum negara sebetulnya tidak memiliki pijakan kuat baik secara teologis maupun historis. Islam menekankan kebebasan beragama, menolak paksaan dalam urusan iman, dan menghormati pluralitas. Dalil-dalil Qur’ani sudah jelas memberikan penjelasa bahwa pemaksaan syariat dalam bentuk hukum formal bukanlah kehendak Allah, melainkan ambisi politik kelompok tertentu.

Jadi, jika kita kembali kepada pertanyaan awal: “Jika tidak ada paksaan dalam beragama, mengapa kita harus memaksakan syariat Islam sebagai hukum formal negara?”, maka jawabannya sederhana: kita tidak perlu, bahkan tidak boleh, melakukannya.

Sebab, memaksakan sesuatu yang oleh Allah sendiri tidak dipaksakan adalah bentuk kesombongan manusia. Jalan yang lebih tepat adalah menginternalisasi nilai-nilai syariat dalam diri masing-masing, mempraktikkannya dengan kesadaran, serta membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang adil dan damai dalam bingkai kebangsaan dan keislaman.

Dengan begitu, esensi syariat akan hadir dalam kehidupan beragama tanpa harus memaksakannya dalam formalisasi syariat yang jelas-jelas sangat problematik.

Facebook Comments