Presiden Prabowo berpidato di hadapan Sidang Umum PBB, 23 September lalu. Pidato Presiden Prabowo ini sekaligus mengakhiri absennya Presiden Indonesia dalam sidang umum PBB selama dua periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Seperti kita ketahui, selama 10 tahun menjabat presiden, Jokowi sama sekali tidak pernah menyampaikan pidato di depan Sidang Umum PBB.
Kehadiran Prabowo dalam Sidang Umum PBB menjadi momen penting kembalinya Indonesia dalam kancah diplomasi level pemimpin tertinggi dunia. Apalagi, Presiden Prabowo berpidato dengan mengusung isu penting, terutama terkiat isu konflik Palestina dan Israel. Prabowo menyerukan perdamaian di kawasan Timur Tengah dengan mengamalkan solusi dua negara (two state solution).
Prabowo dalam pidatonya mengajak agar negara-negara anggota PBB mengakui dsn menjamin negara Palestina. Prabowo juga menegaskan bahwa Indonesia akan mengakui negara Israel jika negara tersebut mengakui Palestina dan menjamin keamanannya.
Mungkin, apa yang disampaikan Prabowo ini tidak akan menyenangkan semua pihak. Lantaran, masih ada pihak yang menghendaki solusi negara tunggal atas konflik Israel dan Palestina. Namun, solusi itu adalah yang paling memungkinkan untuk saat ini.
Pidato Prabowo yang menekankan tentang pentingnya perdamaian ini mendapat respons positif dan diapresiasi oleh sejumlah pemimpin dunia. Prabowo meneng tidak secara eksplisit menyebut Pancasila di hadapan para pemimpin dunia tersebut.
Namun, secara implisit ia sudah menghabiskan Pancasila di panggung forum dunia. Pidato Prabowo dalam Sidang Umum PBB itu merupakan wujud dari diplomasi Pancasila. Sebelumnya, Presiden pertama, Bung Karno pernah menawarkan Pancasila sebagai ideologi alternatif dunia di tengah persaingan antara Blok Barat dan Blok Timur. Kala itu, Presiden Soekarno juga menjadikan panggung pidato tahunan PBB sebagai ajang mempromosikan Pancasila.
Lantas, mampukah Pancasila menjadi ideologi alternatif dunia? Pertanyaan itu dapat dijawab dari beberapa perspektif. Dari sisi filosofis, Pancasila merupakan ideologi terbuka yang bisa diinterpretasikan sesuai dengan dinamika dan tantangan zaman.
Pancasila bukan ideologi tertutup yang dibakukan menjadi dogma kaku dan absolut. Sebaliknya, Pancasila memiliki nilai dan prinsip yang relevan dalam segala zaman dan tempat. Maka dari itu, Pancasila relevan menjadi alternatif di tengah kebuntuan diplomasi internasional belakangan ini.
Kedua, dari sisi politis dan sosiologis, Pancasila merupakan ideologi tengah antara kapitalisme dan sosialisme. Pancasila tidak anti kapitalisme namun juga tidak pro pada sosialisme. Pancasila menjadi jalan tengah atau jalan ketiga antara kapitalisme dan sosialisme yang sejak awal sudah memiliki cacat intrinsik.
Kapitalisme dengan sistem pro pasar terbukti menimbulkan kesenjangan sosial dan ekonomi yang lebar. Si kaya makin kaya, si miskin makin miskin. Hal itu juga disinggung oleh Prabowo dalam pidatonya di depan Siang Umum PBB tempo hari.
Sedangkan sosialisme terbukti melahirkan gelombang kekerasan dan tragedi kemanusiaan di banyak negara melalui politik subversifnya. Di tengah kebuntuan ideologi kapitalisme dan sosialisme inilah, Pancasila kiranya bisa menawarkan alternatif baru.
Ketiga, secara teologis Pancasila tidak bertumpu pada sentimen agama tertentu, namun bisa menjembatani perbedaan agama sekaligus menjadi payung besar yang mengayomi beranekaragam agama, suku, etnis, bangsa, warna kulit, dan perbedaan identitas lainnya.
Perspektif teologis yang netral ini memungkinkan bagi Pancasila untuk menjembatani berbagai kepentingan global yang belakangan kian kompleks dengan bercampurnya antara isu politik, ekonomi, agama, budaya, dan sebagainya.
Terakhir, dari perspektif historis Pancasila telah melalui beragam ujian dan terbukti mampu melewati segala tantangan zaman. Ujian Pancasila paling hebat terjadi di masa dekade 1960an ketika gerakan politik kaum kiri berupaya mengganti Ideologi dan konstitusi negara.
Manuver politik yang melibatkan Partai Komunis Indonesia kala itu mampu mengguncang stabilitas bangsa dan negara. Namun, Pancasila tetap eksis dan sakti dalam menghalau subversi kaum kiri tersebut.
Belakangan, Pancasila juga diuji dengan gelombang penyebaran ideologi transnasional, terutama yang mengusung agenda daulah islamiyyah dan khilafah Islamiyyah. Meski dirongrong dengan isu keagamaan, Pancasila mampu bertahan dan tetap kokoh sebagai pilar kebangsaan. Artinya, secara historis Pancasila telah teruji melewati beragam gelombang tantangan. Variabel ini menjadi salah satu kekuatan penting Pancasila bisa menjadi ideologi alternatif dunia.