Kekecawaan rakyat adalah sebuah bara, jika dibiarkan saja, bisa saja bisa membakar keutuhan sebuah bangsa. Sejatinya rakyat adalah yang berkuasa, sebab mereka adalah pihak yang dilayani. Mereka berhak mendapatkan apa yang telah mereka bayarkan dan apa yang dijanjikan bagi mereka. mereka bisa menuntut layaknya pasien yang telah memabayar di rumah sakit. Kekecewaan mereka bisa menjadi api besar jika tidka dikelola dengan baik dan dapat menjadi jalan masuk radikalisasi yang mengancam bangsa.
Kekecewaan publik bukanlah sebuah sekadar ekspresi emosional sesaat. Ia adalah tanda yang menunjukkan adanya ketidakberfungsian dalam sistem pemerintahan dan sosial. Sejarah mencatat bahwa akumulasi ketidakpuasan mereka dipicu oleh isu-isu ketidakadilan sosial, kesenjangan ekonomi atau kebijakan yang tidak bijak. Ini seringkali menimbulkan gerakan-gerakan yang berpotensi memecah belah.
Kita bisa melihat pada contoh historis yang terjadi pada Jerman pada 1930-an. Kala mereka dilanda depresi ekonomi dan rasa malu setelah kekalahan mereka dalam Perang Dunia I, mereka seperti lahan subur bagi Partai Nazi untuk menyebarkan ideologi ekstrem. Kekecewaan dan depresi mereka dimanfaatkan sehingga menuntun negera ke dalam tragedi kemanusiaan.
Kita tidak bisa menyangkal bahwa kelompok-kelompok radikal semacam itu begitu mahir dalam memanfaatkan kekecewaan. Mereka bisa memanipulasi narasi untuk membenarkan tindakan ekstrem atas nama keadilan, kesejahteraan atau bahkan agama. Mereka menawarkan solusi yang tampak sederhana dan cepat namun sering kali dibangun di atas dasar kebencian dan perpecahan. Mereka pintar membuat dikotomi. Sehingga siapapun yang berbeda dengan mereka harus dilawan atau dieliminasi dari dunia.
Penyebaran paham esktrem ini menjadi tambah mudah di era digital, bahkan bisa dikatakan sulit untuk dikendalikan. Algoritma media sosial hari ini memicu efek kedangkalan berfikir sebab kita ditawarkan dengan narasi-narasi yang sangat mirip yang terus menjerumuskan kita dalam satu hal, seakan memberikan dukungan untuk mental kita. Postingan yang mendukung dan memberikan validasi pada kita tentang apa yang kita rasakan sehingga kita tertutup dari kemungkinan-kemungkinan atau sudut pandang lain. Dan hal ini yang kaum ekstremis inginkan karena mempermudah mereka menyebarkan paham mereka.
Sebenarnya ini seperti fenomena ngerumpi atau kelomok ghibah (menggunjing) jaman dahulu, sebuah circle yang saling mendukung membicarakan keburukan orang lain sehingga mereka merasa bahwa pembicaraan mereka tidak salah sebab anggota mereka tidak ada yang memberikan sudut pandang berbeda.
Untuk mengelola kekecawaan masyarakat dan mencegahnya berkembang menjadi radikalisasis diperlukan pendekatan yang serius, melibatkan berbagai pihak. Negara dan pemerintahan harus lebih responsif, menegakkan hukum dengan adil. Sebab keadilan adalah pilar utama kepercayaan rakyat. Kekecewaan publik seringkali dipicu oleh ketidakadilan hukum dan diskrimanasi dalam hukum.
Negara dan Pemerintah perlu melakukan transparansi dan Akuntabilitas. Transparansi bisa menciptakaan kepercayaan. Tentu Negara dan Pemerintah tidak asal dalam memberikan kebijakan. Jika memang kebijakan ini berpotensi untuk menaikkan kekecewaan maka perlu penjelasan yang sangat jelas dan selalu menjawab pertanyaan dari publik mengenai kebijakan yang dibuat.
Organisasi masyarakat juga bisa membantu kita untuk terhindar dari paham-paham radikal saat kita dilanda kekecewaan. Ruang publik harus dirawat agar kekecewaan bisa tersalurkan dengan baik bahkan kecewa bisa saja menjadi daya untuk membuat masyarakat bisa produktif dan kreatif. Hal ini tidak bisa terjadi jika organisasi masyarakat tidak memberikan dukungan di lini bawah. Rakyat butuh figur yang dekat dengan mereka dan membutuhkan pihak untuk menyalurkan aspirasi mereka yang bisa menjembatani mereka dengan Pemerintah.
Peneyabaran paham radikal bisa diredam oleh institusi keagamaan walaupun terkadang bahkan sering kelompok radikal mengatasnamakan agama. Institusi keagamaan di Indonesia perlu memberikan penjelasan rinci mengenai agama. Di dalam setiap agama tentu mempunyai tujuan kedamaian dan menjadi peneduh bagi pemeluknya. Institusi keagamaan perlu memberikan narasi-narasi yang meneduhkan.
Para akademisi dan influencer juga perlu turut andil mengambil bagian dalam menyelamatkan kekecewaan publik. Kita tahu akhir-akhir ini, tokoh agama mulai pudar kharismanya di mata masyarakat. Generasi-generasi baru yang tumbuh sekarang mengidolakan orang-orang yang terkenal karena karyanya dan karena pemikirannya. Sebab mereka bisa berbicara dengan bahasa generasi kita dan mudah diterima oleh generasi bangsa saat ini.
Memitigasi kekecewaan publik dari radikalisasi adalah tugas kolektif. Ini bukan hanya menangkal paham ekstrem, melainkan juga tentang membangun fondasi bangsa yang lebih adil dan responsif. Dengan mengelola kekecewaan secara dewasa dan konstruktif, Indonesia dapat terus tumbuh menjadi negara yang kokoh persatuannya dan bisa berdaulat.