Demokrasi sebagai sebuah sistem politik tentu bukan ideal alias tanpa cacat. Demokrasi memiliki banyak potensi problem. Pemilihan secara langsung dengan prinsip one man one vote misalnya kerap mendapat banyak kritik. Lantaran suara seorang profesor nilainya sama dengan suara seorang yang tidak berpendidikan.
Demikian juga demokrasi kerap dikritik karena cenderung mendorong kebebasan berekspresi yang tanpa batas. Alhasil, kebebasan berekspresi kerap menimbulkan gejolak sosial politik. Seperti yang terjadi di Indonesia belakangan ini dimana aksi demonstrasi menyuarakan aspirasi diwarnai oleh aksi kekerasan.
Apa yang terjadi di Indonesia belakangan ini adalah gejala turbulensi. Yakni kondisi ketika sistem demokrasi mendapat ujian internal. Hasil pemilihan umum demokratis menghasilan anggota legislatif yang acapkali tidak merepresentasikan aspirasi rakyat. Gaya hidup hedonis dan perilaku yang kerap menyakiti hati rakyat menimbulkan gelombang kekecewaan dan amarah publik. Kekecewaan dan amarah itulah yang menyulut api anarkisme dan vandalisme.
Turbulensi demokrasi bukanlah gejala yang hanya terjadi di Indonesia. Melainkan terjadi di seluruh negara yang menerapkan sistem tersebut. Hampir semua negara demokratis pernah dilanda aksi demo besar yang diwarnai kerusuhan. Kita tentu tidak sedang menormalisasi apalagi mengglorifikasi kerusuhan. Namun, turbulensi demokrasi adalah keniscayaan dalam proses pendewasaan masyarakat dalam memanfaatkan ruang kebebasan berekspresi.
Hal yang patut disayangkan di tengah gejala turbulensi demokrasi ini adalah munculnya narasi miring dari kelompok radikal. Mereka menuding, gejala turbulensi ini sebagai wujud kegagalan demokrasi. Dan, satu-satunya solusi adalah menegakkan khilafah di bumi NKRI. Benarkah demikian? Apalagi narasi kaum radikal bahwa khilafah adalah solusi tunggal di tengah turbulensi demokrasi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah?
Pertanyaan itu akan terjawab jika kita membaca sejarah kekhalifahan Islam di era Abad Pertengahan yang kerap diklaim sebagai era kejayaan sistem khilafah. Apakah di masa itu, penerapan khilafah menjadikan kehidupan umat Islam bebas dari persoalan korupsi, konflik kepentingan, dan penyalahgunaan kekuasaan?
Nadirsyah Hosen, pakar hukum Islam sekaligus pengkritik gerakan khilafah paling vokal menjelaskan bahwa di era kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah, kasus korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan wewenang lainnya tetap saja terjadi.
Masa kekhalifahan Umayyah adalah fase dimana nepotisme dipraktikkan secara masif. Khalifah Muawiyah mengangkat keluarga dan sejawatnya ke posisi-posisi strategis, seperti gubernur, penasihat khalifah, bendahara kerajaan dan banyak jabatan lainnya. Sedangkan di era Abbasiyah, korupsi menjadi praktik yang lazim.
Misalnya, kasus korupsi uang sisa kas kerajaan oleh Al Abbas anak dari Khalifah ke dua belas, dinasti Abbasiyah yang menyebabkan kerugian besar bagi kerajaan kala itu. Masa kekhalifahan Abbasiyah juga diwarnai oleh penyelewengan kekuasaan yang menyebabkan terjadinya konflik berdarah antar khalifah akibat perebutan kekuasaan. Singkat kata, masa kekhalifahan bukanlah sebuah kondisi dimana umat Islam bebas dari persoalan sosial dan politik.
Fakta historis itu sekaligus meruntuhkan klaim kaum radikal bahwa khilafah adalah solusi tunggal atas semua persoalan yang menjadi residu demokrasi. Klaim khilafah sengaja solusi tunggal problem demokrasi adalah bentuk dari kegagalan berpikir dan memahami persoalan. Korupsi, penyalahgunaan wewenang dan sejenisnya adalah musuh demokrasi. Cara mengatasinya bukan menggantinya dengan sistem khilafah, melainkan dengan melakukan reformasi internal pada lembaga negara, mulai dari yudikatif, eksekutif, terlebih legislatif yang belakangan ini memang banyak disorot publik.
Mengutip pakar politik Gun Gun Heriyanto, gejala turbulensi politik itu dapat diatasi melalui beberapa langkah. Pertama, yang paling urgen dan krusial adalah meningkatkan integritas lembaga negara (eksekutif, yudikatif, legislatif). Integritas dalam hal ini menyangkut pemberantasan praktik korupsi, taya kelola lembaga yang profesional dan transparan serta pelibatan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan.
Kedua, penguatan literasi politik publik mencakup kemampuan untuk mengedeoankan nalar diskursif dalam menyampaikan pandangan atau aspirasi. Publik harus memahami hakikat kebebasan berekspresi. Bahwa kebebasan menyampaikan aspirasi dan kritik itu tetap harus memperhatikan kepentingan untuk menjaga perdamaian dan persatuan.
Ketiga, konsolidasi internal di kalangan gerakan masyarakat sipil seperti mahasiswa, ormas keagamaan, seniman, aktivis, influencer, dan sebagainya. Rekonsolidasi internal dibutuhkan untuk menata ulang gerakan masyarakat sipil dan membersihkan anasir kekuatan dari luar. Termasuk kekuatan yang berusaha membajak gerakan sipil menjadi gerakan dengan orientasi ideologi keagamaan.
Terakhir, mengembalikan fungsi pers atau media massa sebagai the clearing house alias lembaga penjernih di tengah kekeruhan informasi. Pers juga harus menjadi agen penyebar narasi damai, bukan justru ikut memprovokasi keadaan, apalagi justru ikut menyebar kabar sumir atau misinfomasi yang memicu eskalasi kemarahan publik.