Sejak zaman Islam datang ke nusantara, perguruan-perguruan Islam yang berbasis di masjid telah memainkan peranan penting bagi tumbuhnya Islam kultural yang membawa semangat bil hikmah wal mauizhah hasanah. Perguruan-perguruan ini kemudian bermetamorfosis menjadi pesantren-pesantren yang tersebar di seanetro nusantara. Pesantren dan para ulamanya (Kyai, Tuan Guru, Anregurutta, Buya, dan lain-lain sebutan) terbukti menjadi kawah candradimuka bagi lahirnya para pemimpin dan kader-kader yang memberikan manfaat di masyarakat, baik pada zaman kemerdekaan atau zaman pembangunan.
Namun, sekarang kita menyaksikan suatu gelombang yang dihadapkan pada satu pilihan tidak mudah. Mendidik anak di pesantren, ada ketakutan di kalangan sebagian masyarakat Indonesia, karena pesantren dianggap bagian dari sumber teror dan lahirnya para generasi teror yang mengatasnamakan Islam, yang pada hakekatnya tidak benar; pada sisi lain, tidak mendidik anak di pesantren juga bukan pilihan yang sederhana, karena banyak orang tua yang memiliki kekhawatiran anak-anak mereka yang minim nilai agama, disergap oleh kejahatan narkoba, seks bebas, dan perbuatan kriminal lain.
Dalam konteks itu, pesantren haruslah diakui tidak steril dari berbagai orientasi, terutama dalam perkembangan-perkembangan belakangan. Disebut belakangan, karena sebelum munculnya arus kecil pesantren yang didirikan mantan pejuang NII, baik di Jawa Barat atau di Jawa Tengah (sejak kekalahan total mereka dari pasukan RI tahun 1962); dan dilanjutkan dengan pesantren-pesantren yang menjadi agen dari nilai-nilai transnasional dari Timur Tengah (pada era 1980-an); dan masjid-masjid kampus yang marak pada era Orde Baru; pesantren yang berdiri jauh sebelum itu dan masih lestari sampai saat ini, adalah pesantren yang mewarisi tradisi dari para pendahulu Islam di Nusantara, yang memiliki nilai-nilai inklusif dan toleran dalam menjalankan gerakannya, mendidik para santri, mengembangkan sikap hidup di masyarakat yang mencintai tanah air mereka.
Pesantren-pesantren jenis terakhir ini, jumlahnya terbesar, baik yang diorganisir oleh organisasi NU, Nahdlatul Wathan, Al-Khairat, Persatuan Tarbiyah Islamiyah, Al-Jam`iyatul Washliyah, dan perguruan-perguruan yang diorganisir para habaib. Sampai saat ini, sulit untuk dipungkiri, pesantren-pesantren ini, memiliki andil dalam mengembangkan sikap hidup yang konstruktif, menjaga Pancasila, dan menularkan nasionalisme yang kuat, dengan didorong oleh nilai-nilai agama, kitab kuning, dan petuah para guru. Melibatkan pesantren-pesantren ini, mutlak perlu untuk menghadapi arus ifrath (sikap berlebih-lebihan) dalam bentuk klaim-klaim ajaran Islam untuk tujuan-tujuan teror dan kekerasan di Timur Tengah yang sudah menjalar ke Indonesia.
Bentuk dari sikap ifrath untuk konteks di Indonesia ini, di antaranya: mengabsahkan teror untuk mencapai tujuan, dengan dalih ajaran Islam, yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan ajaran sesungguhnya dari Islam; mengajak orang untuk memerangi bentuk negara nasional yang berdasarkan Pancasila yang disepakati para mayoritas ulama di Indonesia sebagai sah, dan menggantinya dengan sistem lain; mengarusutamakan klaim-klaim takfiri kepada muslim lain, dan berupaya untuk melenyapkannya dari bumi Indonesia. Tiga hal ini adalah bentuk-bentuk ifrath yang mewabah dan mulai menjalar di kalangan bangsa Indonesia.
ISIS, Jabhatun Nushrah, dan kelompok-kelompok ifrath lain, sudah memiliki pengikut dan simpatisan di Indonesia. Ini sebuah tantangan, bukan hanya bagi negara nasional Indonesia, tetapi juga bagi pesantren-pesantren secara keseluruhan yang pernah melahirkan Republik Indonesia. Kalau tidak dipikirkan secara simultan dan semesta, kita akan terlambat dalam menghadapinya.
Mempelajari Pola yang Berkembang
Kekerasan berbasiskan agama, untuk kasus Islam, akan memiliki skala besar dan berbahaya bagi eksistensi sebuah negara masyarakat, manakala dibarengi dengan sebuah proxy war, sebagaimana ini tampak di Afghanistan, Irak, Suriah, Yaman, dan lain-lain tempat. Proxy war, dengan menggunakan kelompok-kelompok ifrath itu untuk menciptakan keresahan, kekacauan, dan destabilisasi atas negara nasional bertujuan untuk kepentingan negara-negara adidaya. Pada saat yang sama, kelompok-kelompok ifrath diberi ruang melampiaskan prototipenya untuk memperjuangkan agenda-agendanya, sejurus dengan ideologi yang dimilikinya.
Di beberapa negara tersebut, pada umumnya yang digunakan sebagai petempur mendestabilisasi negara-negara nasional adalah kaum salafi; dan ideologi salafi digunakan untuk mengartikulasikan tujuan-tujuan tersembunyi di dalamnya. Pengakuan terbaru dari mantan Mentri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton dalam memoarnya berjudul Hard Choices, memberikan konfirmasi pemanfaatan-pemanfaatan kelompok ifrath di beberapa negara.
Awalnya, para kelompok ifrath ini menggunakan taktik asismetris (bukan dengan gerakan senjata dan bukan fisik), dengan dukungan jaringan internasional (transnasionalnya), untuk mengubah pola pengetahuan dan nilai-nilai di sebuah tempat dengan berbagai cara seperti memanfaatkan internet, mencetak buku-buku, dan membangun basis-basis pengajaran, ifrath. Dalam bahasa yang lain, pola asismetris ini untuk menciptakan kontradiksi-kontradiksi, dengan bahan dasar dan argumen Al-Qur’an dan hadits.
Masyarakat awam dengan mudah termakan oleh provokasi ini, karena dalam aras permukaan argumen Al-Qur’an dan hadits sangat mudah difahami, dan terlihat benar. Padahal untuk memahami al-Qur’an dan hadits memerlukan ilmu tertentu yang tidak sederhana. Penciptaan kontradiksi ini mengoyak tatanan pengetahuan Islam yang sudah ada serta mengoyak ormas-ormas yang sudah ada yang ikut melahirkan negara nasional.
Perkembangannya akan menjadi dua hal: pertama, bila tidak dalam konteks proxy war secara langsung, kelompok-kelompok ifrath ini akan menyuburkan pandangan yang mendelegitimasi negara nasional dan tatanan pengetahuan agama yang menopang negara nasional itu; dan akan membius sebagian orang muda yang bersemangat untuk terlibat dengan janji-janji perubahan berdasarkan perintah Al-Qur’an dan hadits Nabi; kedua, bila terjadi proxy war, kelompok-kelompok ifrath ini akan mudah digunakan untuk tujuan-tujuan ekonomi politik, yang faktanya telah dipentaskan dalam luberan kekerasan dan teror di Timur Tengah.
Untuk konteks di Indonesia, sangat mungkin proxy war terjadi: pertama, melihat sejarah Indonesia pernah diperebutkan antara blok sekutu dan blok poros, blok komunis dan kapitalis, dan sekarang bisa disebut dengan adanya tatanan multipolar yang semakin rumit dengan kepentingan yang tidak sederhana; kedua, kekayaan sumber daya alam di Indonesia melimpah, dengan banyak selat yang dilalui jalur perdagangan internasional, yang menggoda negara-negara ekspansionis; ketiga, sengketa perbatasan di laut China Selatan yang memungkinkan Indonesia dijadikan kanal-kanal bagi blok yang bersengketa; keempat, adanya beberapa perusahaan internasional yang memiliki record hubungan buruk dengan masyarakat sekitar. Kesemuanya ini bisa menjadi habitat perang asismetris, yang tujuannya mengoyak dan mendeligimasi negara nasional dari sudut pengetahuan agama dan pandangan agama.
Pesantren Basis Kultural Untuk Memupuk Islam yang Nasionalistik
Jasmerah, kata Bung Karno, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Orang-orang pesantren bahu membahu ikut mendirikan Negara ini; pernah berjasa melahirkan Resolusi Jihad mempertahankan negara dalam peristiwa 10 November; dan ikut menciptakan bangunan pengetahuan membentengi negara nasional dari sudut agama, di antaranya terlibat dalam Konferensi Alim Ulama di Cipanas yang memberikan status hukum pemerintah Indonesia sebagai sah, disebut sebagai waliyul amri adh-dharury bi syaukah; dan ikut memberikan argumen agama tentang Pancasila saat gonjang ganjing pada tahun 1980-an, melalui Deklarasi Situbondo tentang Hubungan Pancasila dan Islam.
Pada saat ini, tantangan yang ditimbulkan oleh gerakan-gerakan ifrath, sudah tidak bisa dianggap remeh. Apalagi kabar yang beredar, aliran dana yang diberikan kepada kelompok-kelompok ifrath ini, sangat besar dan massif. Belum lagi mereka memanfaatkan dunia maya untuk kampanye dan menciptakan kontradiksi pengetahuan dan menyebar di kalangan masyarakat Islam Indonesia. Bahkan buku bacaan di sekolah saja sudah banyak yang disusupi wawasan yang demikian itu.
Di tengah itu, posisi strategis pesantren untuk membangun kader dan membentuk pengetahuan yang mampu menyantuni dan merekonsiliasi Islam dan bangsa, Islam dan Pancasila, dan pembangunan nasional, Islam dan konstitusi Indonesia, menjadi penting diperhatikan dan diberdayakan. Argumen-argumen agama dalam mendelegitimasi negara nasional dan kebudayaan Indonesia, bisa dilawan secara semesta dengan memperkuat basis pengetahuan pesantren dan gerakan pesantren untuk ikut terlibat dalam memberikan informasi dan pengetahuan yang benar. Pesantren yang memiliki konsen soal ini, menjadi ujung tombak yang penting.
Perlawanan semesta ini, diperlukan karena: Pertama, gerakan ifrath itu memiliki tendensi ideologis, dan dia tidak bisa hanya diperangi dan diberantas dengan cara fisik. Perlawanan semesta diperlukan dengan mereduksi terus menerus bangunan pengetahuan mereka sampai tidak memiliki kesempatan untuk menghegemoni publik. Yang bisa melakukan tugas ini, di antaranya adalah pesantren-pesantren yang berafiliasi dengan gerakan-gerakan yang ikut mendirikan Republik Indonesia. Khazanah pesantren menyediakan ruang pengetahuan yang bisa menundukkan kontradiksi pengetahuan yang dibangun kalangan ifrath dari sudut agama. Ini berbeda dengan basis pengetahun di sekolah yang didekati dengan pola ilmu sosial semata.
Kedua, gerakan ifrath didukung oleh jaringan dan pendanaan yang cukup besar dan massif. Pesantren tidak cukup hanya dibiarkan sendirian untuk membangun narasi pengetahuan Islam yang nasionalistik itu, tetapi juga perlu diciptakan kesepahaman, kerjasama, dan saling bantu, dengan optik saling menghormati dan menghargai. Negara perlu mengambil prakarsa terjun secara langsung, dalam memprakrsai perlawanan semesta ini, dan bekerjasama dengan pesnatren untuk terlibat dalam membangun kader ulama, santri, buku-buku, dan memprakarsai acara-acara halaqah.
Demikian, semoga bermanfaat.