Salah satu fakta yang terungkap dari penyelidikan aksi kekerasan di SMAN 72 adalah bahwa pelaku kerap berkunjung ke Darkweb untuk mengakses konten kekerasan dan ekstremisme. Istilah Darkweb mengacu pada lama situs internet yang tidak dapat diakses oleh mesin pencari umum seperti Google dan hanya bisa diakses melalui mesin perambah tertentu.
Darkweb bisa disebut sengaja lapisan palung terdalam dari semesta internet yang maha luas. Darkweb adalah ruang tersembunyi yang jarang dikunjungi awam tapi ramai oleh beragam konten. Salah satunya konten sadisme dan kekerasan. Di semesta darkweb, kekerasan dan ekstrmisme disajikan di etalase terbuka tanpa batasan apalagi sensor.
Menjadi berbahaya jika lapisan terdalam dan tergelap ini menjadi ruang bermain anak atau remaja yang masih labil secara emosi. Mereka belum memiliki kematangan berpikir untuk mengolah informasi gelap yang tersaji di sana. Ironisnya lagi, pendidikan nasional kita belum memberikan porsi yang cukup dalam edukasi dan literasi digital.
Edukasi digital di sekolah masih sebatas pada isu-isu basic seperti bagaimana menggunakan internet, tanpa menyentuh aspek paling penting yakni apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di internet. Sebagai salah satu negara dengan jumlah pengguna internet terbesar di dunia, Indonesia tidak lepas dari ancaman darkweb.
Temuan dari Fusion Intelligence Center mendapati adanya sekitar 400 akun asal Indonesia yang mengakses darkweb. Dari sekian ratus akun tersebut mayoritas mengakses konten kekerasan dan eksploitasi anak. Temuan ini menyadarkan kita bahwa fenomena akses terhadap darkweb ternyata bukan isapan jempol belaka. Bahkan, kini mulai banyak anak-anak mengakses darkweb.
Dari segi regulasi, negara kita memang sudah memiliki beragam aturan tentang penggunaan teknologi internet atau digital di kalangan anak. Misalnya, PP Tunas (Peraturan Pemerintah tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Perlindungan Anak).
Peraturan Pemerintah ini bertujuan untuk menciptakan ruang digital yang lebih aman dan ramah bagi anak dengan mengatur sejumlah aspek. Misalnya, batasan usia anak dapat mangekses media sosial, kewajiban edukasi dari platform digital, larangan profiling anak demi tujuan komersial, dan sebagainya.
Namun, regulasi saja tentu tidak cukup tanpa dibarengi oleh edukasi. Kita perlu mengedukasi anak dan remaja akan sisi gelap internet dan teknologi digital. Termasuk bahaya darkweb bagi perkembangan mental anak dan remaja. Jika regulasi berkutat seputar aturan yang konsekuensinya adalah hukuman, maka edukasi lebih berorientasi pada pembentukan kesadaran bersama akan pentingnya internet sehat.
Internet sehat adalah praktik berinternet dengan mengedepankan kepatuhan pada hukum, ketaatan pada etika dan komitmen untuk menjaga ruang digital tetap kondusif. Internet sehat mencakup tiga aspek penting, yakni keamanan, hak, dan pemberdayaan. Aspek keamanan meliputi kebijakan perlindungan data pribadi dan privasi individu. Anak diajarkan bahwa di internet, keamanan data pribadi dan privasi individu itu sangat penting.
Aspek gak mencakup kebebasan dalam menyampaikan pandangan atau opini di dunia maya dengan bertanggung jawab. Anak harus diajarkan bahwa internet adalah ruang publik yang bebas dan demokratis. Setiap individu bebas menyampaikan pandangannya dengan catatan tidak mengganggu kebebasan individu lain.
Terkahir, pemberdayaan mencakup persoalan etika penyebaran informasi. Artinya, anak harus diajarkan tentang dimensi etis dalam mencari atau menyebar informasi di internet. Ada banyak informasi atau pengetahuan di internet yang seharusnya tidak diakses anak atau remaja. Bukan hanya konten pornografi, namun juga kekerasan dan sadisme yang bisa merusak mental enak.
Internet sehat harus menjadi kurikulum nasional yang diajarkan kepada seluruh siswa sekolah. Internet sehat harus menjadi paradigma atau cara berpikir setiap anak Indonesia dalam mengakses teknologi digital.
Dengan paradigma internet sehat itu, anak akan memiliki semacam alarm psikologis yang secara otomatis akan membimbing dirinya dalam mengakses konten di dunia digital. Alarm psikologis itu yang akan mencegah dia masuk ke kegelapan internet dan mengakses konten kekerasan atau sadisme.
Internet sehat tentu menjadi tanggung jawab bersama. Tidak hanya guru di sekolah namun juga orang tua di rumah. Para orang tua di rumah memilki tanggung jawab untuk memastikan anaknya tidak masuk ke situs-situs terlarang. Menyediakan akses internet dan gawai pintar di rumah memang mudah. Namun, memastikan ketersediaan akses internet itu tidak berdampak negatif bagi anak itu bukan hal sederhana.
Dibutuhkan setidaknya dua hal, yakni pengetahuan dan komitmen. Artinya, para orang tua dan tentunya guru wajib memiliki pengetahuan yang mumpuni dan mendalam tentang seluk beluk internet. Pengetahuan tentang darkweb dan dampak negatifnya perlu diketahui oleh orang tua.
Terakhir, orang tua dan guru harus memiliki komitmen yang tinggi untuk memastikan anak-anak hidup di ruang digital yang aman dan ramah terhadap anak. Komitmen untuk setiap waktu menjalin komunikasi dengan anak buruk mengetahui apa saja aktivitas mereka di dunia maya. Di sekolah, guru Bimbingan dan Konseling (BK) idealnya mampu bertransformasi menjadi semacam konselor bagi kehidupan digital anak.
Guru BK tidak boleh hanya sekadar menertibkan rambut panjang, seragam yang tidak rapi, atau anak yang berkelahi. Guru BK idealnya mampu menjadi konsultan bagi kehidupan digital anak. Dengan begitu, penyimpangan perilaku anak karena paparan konten negatif di dunia maya bisa dicegah sejak awal.
