Sang Penjaga Mercusuar di Tengah Lautan Algoritma: Peran Guru dalam Menjaga Moral Anak Bangsa

Sang Penjaga Mercusuar di Tengah Lautan Algoritma: Peran Guru dalam Menjaga Moral Anak Bangsa

- in Narasi
1
0
Sang Penjaga Mercusuar di Tengah Lautan Algoritma: Peran Guru dalam Menjaga Moral Anak Bangsa

Indonesia tidak dibangun oleh tumpukan data biner. Bangsa ini tidak didirikan di atas algoritma yang dingin, melainkan di atas keringat, darah, air mata, dan cita-cita luhur manusia-manusia yang memiliki jiwa. Di ambang visi Indonesia Emas 2045, kita menyadari bahwa kemajuan bangsa ini sangat bergantung pada kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang tidak hanya cerdas otaknya, tetapi juga baik adabnya.

Namun, hari ini kita berdiri di persimpangan zaman. Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence) datang bagaikan gelombang pasang. Ia menawarkan kecepatan, efisiensi, dan gudang pengetahuan tanpa batas. Alhasil, banyak siswa yang bergantung dengan AI, kesehariannya disetir oleh algoritma. Mereka dibuat terlena, hingga lupa akan kehidupan nyata sosialnya. Akibatnya, kekerasan, bullying atau ideologi transnational masuk menggerogoti pola pikir mereka.

Ekstremisme sering kali masuk melalui celah kekosongan jiwa, bukan kekosongan otak. Pelaku teror bisa jadi orang yang cerdas secara akademik, namun kering hatinya. Guru yang memiliki wawasan kebangsaan kuat berfungsi sebagai benteng. Ia mendeteksi kegelisahan siswanya, menyentuh hatinya sebelum ideologi perusak meracuninya. Sentuhan kemanusiaan inilah yang membedakan pendidikan peradaban dengan sekadar pengajaran instruksional.

Pertanyaan besar pun menyeruak di ruang-ruang kelas kita: Bisakah mesin pintar ini menggantikan peran guru dalam mengawal pendidikan nasional berbasis karakter Indonesia? Mampukah kode-kode pemrograman menanamkan nilai bela negara dan moderasi beragama?

Jawabannya tentu, tidak!

Abdul Mu’ti Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) dalam berbagai kesempatan pun menekankan pentingnya peran guru dalam membangun karakter anak bangsa yang tidak dapat digantikan oleh teknologi.

“Kita memiliki teknologi yang sangat berkembang, tetapi peran seorang guru tidak dapat diganti oleh teknologi,” tegas Mu’ti, yang dilansir dari Kompas.com (02/07).

Mungkin, AI bisa menghafal naskah Proklamasi atau butir-butir Pancasila jauh lebih cepat dari manusia mana pun. Namun, AI tidak bisa merasakan getaran haru saat Sang Saka Merah Putih dikibarkan. AI tidak memiliki ‘memori emosional” tentang perjuangan para pahlawan.

Di sinilah letak urgensi peran guru. Pendidikan karakter, penanaman nilai bela negara, dan moderasi beragama adalah proses penanaman nilai kebangsaan, bukan sekadar transfer data.

Ketika seorang guru mengajarkan toleransi, ia tidak sedang membacakan definisi. Ia sedang mencontohkan bagaimana tersenyum tulus kepada murid yang berbeda keyakinan, bagaimana mendengarkan pendapat yang berseberangan dengan sabar, dan bagaimana merangkul perbedaan sebagai kekayaan, bukan ancaman. Empati ini adalah frekuensi yang tidak bisa ditangkap oleh chip silikon mana pun.

Lantas, apa yang harus dilakukan guru agar tidak tergilas zaman? Apakah guru harus mengeliminasi AI? Tentu tidak.

Guru laiknya mercusuar, berdiri gagah ditengah terpaan angin, dan tingginya gelombang air. Tentunya, seorang penjaga mercusuar yang bijak tidak akan menolak teknologi navigasi modern. Justru, ia menggunakannya untuk memperkuat fungsinya. Guru harus beradaptasi, harus mendalami ilmu dan memperkuat wawasan kebangsaannya. Di era digital ini, guru tidak boleh gagap memahami geopolitik atau tantangan global yang bisa memecah belah bangsa. Guru harus menjadi intelektual organik yang mampu menerjemahkan nilai luhur Pancasila ke dalam bahasa kekinian yang dipahami Gen Z dan Gen Alpha.

Guru harus menjadi kurator kebenaran di tengah banjir hoaks yang memicu kebencian. Jika AI adalah lautan informasi, maka guru adalah nahkoda yang mengajarkan siswa cara berenang dan menavigasi ombak agar tidak tenggelam.

AI besin bisa mencetak insinyur yang hebat, tetapi hanya gurulah yang bisa mencetak insinyur yang mencintai tanah airnya. AI bisa menghasilkan analisis teologi yang rumit, tetapi hanya gurulah yang bisa menanamkan Islam, Kristen, Hindu, Buddha, atau keyakinan apa pun yang moderat, ramah, dan mendamaikan semesta.

Karenanya, di tengah gempuran AI, eksistensi guru perlu diperkuat. Hari Guru ini menjadi momentum penting untuk kembali merefleksikan urgensi guru bagi peradaban bangsa.

Wahai para guru, jadilah mercusuar yang cahayanya tak pernah redup. Berdirilah tegak sebagai benteng Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena selama guru masih mengajar dengan hati dan menanamkan cinta pada Ibu Pertiwi, Indonesia akan tetap tegak berdiri, melampaui kecanggihan teknologi apa pun.

Facebook Comments