Islam mengedepankan keadilan bagi semua pihak. Banyak ayat al-Qur’an menunjukkan ajaran luhur ini. Tanpa mengusung keadilan, nilai-nilai agama berasa kering tiada makna, karena keadilan inilah ajaran agama yang langsung menyentuh hajat hidup orang banyak. Tanpanya, kemakmuran dan kesejahteraan hanya akan menjadi angan.
Diantara ayat al-Qu’ran yang menganjurkan penegakan keadilan adalah Qs. al-Maidah [5]: 8. Allah Swt berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.”
Setidaknya ada tiga pelajaran penting yang mesti ditangkap dari ayat di atas. Pertama, Allah Swt menyuruh orang-orang beriman untuk menjadi penegak keadilan. Predikat ini tidak main-main. Orang beriman adalah orang yang sepenuhnya mempercayai Allah Swt dan berkomitmen menjalankan perintah-perintah-Nya sekaligus meninggalkan larangan-larangan-Nya. Orang beriman juga berorientasi pada kemaslahatan, bukan kemafsadatan. Karena itu, Allah Swt menegaskan: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil.”
Benar kiranya, orang beriman selaiknya menjadi penegak keadilan karena Allah Swt, bukan karena interes-interes pribadi atau golongan. Dengan keberimanan pada-Nya, maka penegak keadilan pasti tidak akan tebang pilih sasaran. Pun tidak akan takut pada halang-rintang apapun, karena orientasinya hanyalah keadilan dan keadilan. Betapapun berat dan pahit menegakkannya, keadilan haruslah tetap berdiri kokoh di atas segalanya.
Muhammad Saw termasuk pribadi bertangan besi dalam menegakkan keadilan. Ketika Fatimah al-Makhzumiyah terbukti melakukan pencurian bokor emas dan nilainya telah mencapai batas minimal hukum potong tangan, maka ia haruslah mendapat ganjarannya. Namun, rupanya keluarga besar bangsawan al-Makhzumiyah tidak ingin melihat anggota keluarganya mengalami hukuman yang mencacatkan fisik itu. Berbagai lobi pada Muhammad Saw digencarkan untuk membebaskan Fatimah dari hukuman itu.
Muhammad Saw terus dirayu melalui harta, wanita, tahta dan bahkan puncaknya melalui lobi anak angkat kesayangannya, Zaid bin Haritsah. Menghadapi lobi-lobi yang begitu massif, Muhammad Saw naik pitam. Dengan bergetar beliau bersuara lantang, bahwa rusaknya Bani Israil tak lain karena jika yang melanggar aturan orang-orang besar, mereka membebaskannya dari hukuman. Dan jika yang melanggar orang-orang kecil, mereka menghukum seberat-beratnya. Puncaknya, Muhammad Saw menyatakan dengan tegas: “Andaikan Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku (sendiri) yang akan memotong tangannya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Terkait hukum potong tangan ini, maka sifatnya fleksibel, karena Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab pernah tidak menjalankannya. Alasannya, pencurian itu terjadi karena fakta keterhimpitan ekonomi. Pemerintahlah yang berdosa dan semestinya bertanggungjawab, karena tugas utamanya untuk menyejahterakan rakyat tidak dipenuhi. Ada juga yang bilang, potong tangan itu hukum limit teratas (al-hadd al-a’la). Tujuan penegakan hukum adalah untuk menjerakan. Tak selalu harus potong tangan, seperti hukuman yang berlaku di negeri ini yang diiyakan para kiai dan ulama.
Kedua, Islam menerapkan keadilan universal. Islam tidak memandang latar belakang kesukuan, jabatan, keluarga, agama dan sebagainya. Semua diperlakukan sama persis. Hatta pada orang yang paling dibenci sekalipun, keadilan tetap wajib diberikan pada mereka. Ini nyata sekali dari firman-Nya: “Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.” Betapa banyak fakta kebencian pada “sang liyan”, yang menyebabkan hilangnya ketidakadilan secara zalim.
Begitu pula sebaliknya, kecintaan pada kelompok/orang tertentu, tidak boleh menjadikannya tidak adil. Itu sebabnya, menafsiri ayat di atas, Wahbah al-Zuhaili menegaskan; inna kufr al-kafir la yamna‘u min al-‘adl fi mu‘amalatih (kekafiran seorang kafir tidak boleh membuatnya tercegah mendapat keadilan dalam urusan sosial). Bahkan menurutnya, terkait interaksi sosial ini, maka perlakuan adil menjadi kewajiban, baik mereka itu musuh maupun handai taulan (al-Tafsir al-Munir: III/479).
Mensyarahi kata i‘dilu, karenanya Wahbah menuliskan, fi al-‘aduwwi wa al-wali (berbuat adillah kalian pada musuh dan kekasih!/III/465). Pernyataan mufti kaliber internasional ini menunjukkan, kepada orang kafir sekalipun, keadilan tetap mutlak wajib diberikan. Dalam banyak kisah, pemimpin-pemimpin muslim memberikan keadilan sejati kepada orang-orang non-muslim. Misalnya yang dilakukan ‘Umar bin al-Khaththab pada seorang Kristen Koptik, ‘Ali bin Abi Thalib pada Yahudi pencuri baju perangnya, dan sebagainya.
Ketiga, keadilan lebih mendekatkan pada ketakwaan. Dan karenanya, hanya orang-orang yang bertakwa sajalah yang mampu menegakkan keadilan dengan kadar terbaik. Sebaliknya, orang-orang yang tidak menerapkan keadilan dengan baik, bisa diduga kadar ketakwaannya patut dipertanyakan. Tak heran karenanya, jika Allah Swt dengan tegas menyatakan: “Berlaku adillah, karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa.”
Itulah nilai-nilai penting penerapan keadilan dalam Islam, yang tidak mengenal kompromi sedikitpun. Siapapun dan dari latar belakang apapun berhak mendapatkannya sesuai porsinya masing-masing.