Kuatkan Toleransi dengan Spirit Kebinekaan

Kuatkan Toleransi dengan Spirit Kebinekaan

- in Kebangsaan
3305
0

Pemerintah membatalkan sejumlah peraturan daerah (perda) yang merusak persatuan dan mengancam toleransi dan kebinekaan. Sebagai bangsa yang terdiri dari beragam suku, ras, dan agama, Indonesia harus memperkuat diri dalam menjaga kebinekaan. Terkait pembatalan Perda ini, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa Indonesia makin kukuh dengan menjaga toleransi. Pembatalan perda-perda itu untuk menjadikan Indonesia negara besar, toleran dan berdaya saing.

Wajah toleransi dan kerukunan semakin mengalami defisit yang luar biasa. Banyak kasus yang terjadi di berbagai daerah. Yang disayangkan, seringkali defisit toleransi dan kerukunan itu diatasnamakan atas ajaran agama. Jelas ini sangat kebablasan, karena ajaran agama (apapun) selalu bersandarkan kepada kemaslahatan, toleransi, dan kebaikan bersama.

Menurut Irwan Masduki (2011), spirit toleransi harus disemaikan kepada seluruh umat manusia, karena inilah akar teologis yang akan memberikan daya fikir dan daya gerak umat beragama untuk saling menjalin kerukunan dan kerjasama. Bagi Irwan, toleransi adalah rasa hormat, penerimaan, dan apresiasi terhadap keragaman budaya dan ekspresi kita. Toleransi adalah harmoni dalam perbedaan, yang membuat perdamaian menjadi mungkin.

Ada salah satu ayat dalam al-Quran yang menjelaskan toleransi, yakni di Surat Yunus. Allah berfirman: “Katakan olehmu (ya Muhammad), ‘Wahai Ahli Kitab! Marilah menuju ke titik pertemuan (kalimatun sawāataucommon values) antara kami dan kamu, yaitu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak pula memperserikatkan-Nya kepada apa pun, dan bahwa sebagian dari kita tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai “tuhan-tuhan” selain Allah!”

Ayat ini mengajak umat beragama (terutama Yahudi, Kristiani, dan Islam) menekankan persamaan dan menghindari perbedaan demi merengkuh rasa saling menghargai dan menghormati. Ayat ini juga mengajak untuk sama-sama menjunjung tinggi tawhid, yaitu sikap tidak menyekutukan Allah dengan selain-Nya. Jadi, ayat ini dengan amat jelas menyuguhkan suatu konsep toleransi antar-umat beragama yang didasari oleh kepentingan yang sama, yaitu ‘menjauhi konflik’.

Sementara dalamhadits juga dijelaskan bahwa sada suatu hari, ada seseorang dari Arab pedalaman yang buang air kecil di dalam masjid di hadapan Rasulullah Saw. Spontan para sahabat naik pitam. Namun, Nabi malah melarang para sahabatnya menggunakan kekerasan untuk menghalanginya kencing. Para sahabat protes, “Tetapi ini adalah masjid yang tak layak dikotori dan dikencingi.” Rasulullah bersabda, “Dekatilah dia secara baik-baik dan jangan dengan kekerasan agar dia tidak lari dari Islam.” Bagaimanapun juga nabi tidak menyukai perbuatan amoral itu, tetapi dengan sangat toleran mengontrol emosi tidak menggunakan kekerasan atas nama kesakralan simbol agama; dalam konteks ini adalah kesucian masjid.

Sahabat juga memperlihatkan sikap toleran yang sama. Kala itu Umar ibn Khaththab masuk Baytul Maqdis dan sampai ke Gereja Qumamah (Qiyamah), berhenti di plazanya. Waktu sembahyang datang, ia katakan pada Patriak: “Aku hendak sembahyang.” Jawab Patriak: “Sembahyanglah di tempat Anda.” Umar menolak, lalu sembahyang di anak tangga yang ada pada gerbang Gereja, sendirian. Umar yang hidup pada masa Rasullullah, memberikan inspirasi dan teladan hidup toleran, tidak terjebak dengan simplifikasi dalil agama. Dan banyak contoh kasus di mana Umar dipahami secara kontroversial pada masanya.

Dari ayat, hadits dan perilaku sahabat ini, Irwan menegaskan bahwa toleransi memiliki karakteristik sebagai berikut, yaitu antara lain: kerelaan hati karena kemuliaan dan kedermawanan, kelapangan dada karena kebersihan dan ketaqwaan, kelemah lembutan karena kemudahan, muka yang ceria karena kegembiraan, rendah diri dihadapan kaum muslimin bukan karena kehinaan, mudah dalam berhubungan sosial (mu’amalah) tanpa penipuan dan kelalaian, menggampangkan dalam berda’wah ke jalan Allah tanpa basa basi, terikat dan tunduk kepada agama Allah tanpa ada rasa keberatan.

Sayang, spirit kebinekaan dan kerukunan umat beragama sekarang ini makin kendur. Dulu pernah dikobarkan oleh Mukti Ali pada tahun 1970-an, kemudian dilanjutkan Gus Dur dan Cak Nur dalam era 1980-an sampai 1990-an. Memasuki milenium abad ke-21, kerukunan umat beragama kurang mendapatkan perhatian serius dari para pemikir kontemporer. Banyak yang sibuk dengan urusan masing-masing.

Perlu gerakan baru yang menjadi oase toleransi dan kerukunan umat beragama di abad ke-21. Pembalatan perda-perda memang penting, tetapi yang krusial adalah melahirkan gerakan dan kader baru yang siap menjadi agen kerukunan dan perdamaian di masa depan.

Facebook Comments