Iklan-iklan produk dibuat sedemikian rupa agar pemirsa tak mampu berpikir jernih. Bahasa verbal dan visual dikemas agar informasi itu tak masuk neo kortex, tapi di-bypass langsung masuk ke otak reptilia kita. Akibatnya konsumen terhipnotis, langsung membeli meskipun tak membutuhkannya.
Sebuah artikel di Majalah Guardian mengungkap bagaimana iklan-iklan menggunakan rumus yang sama: menebar ketakutan. Formula ini di-endorse oleh Clotaire Rapaille, seorang antropologis berkebangsaan Perancis yang lebih dari 30 tahun menjadi penasihat berbagai perusahaan produk multinasional. Untuk meningkatkan penjualan mobil Hummer, perusahaan mobil SUV ini menghembuskan perasaan tak aman pada masyarakat Amerika pasca tragedi 911. Iklan-iklan mobil Hummer seolah mengatakan bahwa dunia kini begitu berbahaya, oleh karenanya anda perlu menggunakan Hummer untuk membuat hidup lebih aman. Pola komunikasi ini terbukti efektif. Penjualan Hummer meningkat 20% pada tahun-tahun pasca tragedi 911.
Iklan obat atau suplemen, selalu menakut-nakuti kita dengan penyakit berbahaya. Bahkan orang sehat pun, saat melihat iklan tersebut tiba-tiba akan merasa sakit. Sehingga kita terpaksa membeli produk-produk mereka. Begitu juga Iklan konsmetik dan perawatan tubuh, mereka menakut-nakuti kita dengan penampilan buruk atau dengan rasa khawatir tentang penerimaan publik. Iklan yang membandingkan kulit Santi lebih putih dari kulit Shinta misalnya, langsung masuk ke otak reptilia dan mengabarkan kabar menakutkan bagi orang yang berkulit hitam. Entah berapa miliar rupiah dihasilkan produsen pemutihan kulit dari hasil menebar kekhawatiran ini.
Sayangnya, pola yang sama juga ditemukan dalam pola pendidikan dan pengasuhan. Para guru, penceramah, dan orangtua sering menggunakan pendekatan menakut-nakuti dalam menyampaikan pesan. Karena teknik ini telah terbukti efektif untuk memaksa atau melarang anak melakukan sesuatu.
Orangtua kita dulu sering menakut-nakuti anaknya dengan hantu, agar anaknya tak keluyuran malam-malam. Untuk menjaga hutan lindung, para sesepuh adat membuat mitos kualat menyeramkan yang membuat warganya tak berani menjarah hutan. Agar umat taat beragama, para da’i sering mengancam dengan pedihnya siksa neraka.
Pendekatan di atas kelihatannya baik-baik saja, karena memang terbukti efektif. Tapi jika kita teliti lebih jauh, pendekatan ini mengandung masalah besar. Kita memperlakukan manusia seperti binatang. Mengarahkan mereka untuk melakukan sesuatu dengan menstimulasi otak reptilia dengan berbagai bentuk ancaman, ketakutan, dan kekhawatiran. Kita tak berusaha menyentuk neo kortex mereka untuk berpikir dan melakukan sesuatu dengan kesadaran mereka sendiri.