GENEOLOGI RELASI AGAMA DAN KEKERASAN

GENEOLOGI RELASI AGAMA DAN KEKERASAN

- in Narasi
2629
0

Agama merupakan fenomena sosial yang tidak pernah selesai untuk dibicarakan dan ditafsirkan; agama selalu hidup dalam sejarah umat manusia dan mengikuti perkembangan zaman. Karena itu, agama mengalami interpretasi dan interpretasi ulang yang kadang digunakan kelompok-kelompok tertentu untuk membela kepentingannya demi meraih kekuasaaan.

Tema di atas juga penting untuk dibahas mengingat gerakan penegasan kembali identitas keagamaan telah mengalami perubahan luar biasa di antara tahun 1975 hingga kini. Kita bisa melihat fenomena mutakhir mengenai terorisme yang dikaitkan dengan agama. Gerakan ini muncul di dunia yang telah kehilangan kepastian akibat kemajuan sains dan teknologi sejak tahun 1950-an.

Selain itu, kenyataan pluralisme agama dan budaya membuat umat beragama harus menegaskan kembali identitas keagamaan di tengah-tengah umat beragama lain yang juga eksis. Pluralisme keagamaan sudah menjadi kenyataan sejarah yang tidak bisa dihindari, menafikan pluralisme sama artinya dengan menafikan keberadaan manusia itu sendiri. Namun, pluralisme dan perbedaan (eksoterik) agama sering menjadi sumber konflik dan ketegangan di antara umat beragama. Bahkan umat beragama sebagian besar masih memandang agama lain dalam konteks “superior” dan “inferior”.

Oleh karena itu, menarik memperhatikan tesis Huntington (The Clash of Civilizations and the Remaking of the World Order, 1996) yang menjelaskan “peradaban” sebagai pengelompokan terbesar masyarakat yang melampaui tingkat pembedaan manusia dari spesies lainnya. Sebuah peradaban ditentukan oleh anasir-anasir objektif bersama-bahasa, sejarah, agama, adat, dan lembaga-lembaga-juga oleh swa-identifikasi masyarakat. Huntington menyatakan, kini ada tujuh atau delapan peradaban besar di dunia: Barat, Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Kristen Ortodoks, Amerika Latin, dan “mungkin” Afrika

Teori Huntington berusaha menentang skenario “akhir sejarah” pasca-perang dunia mengenai sebuah tatanan internasional berdasarkan penerimaan universal atas model ekonomi kapitalis, tanpa perubahan pada cakrawala sejarah manusia selanjutnya. Arti penting tesis Huntington ini terletak pada faktor-faktor kultural yang bisa dipertimbangkan sebagai perkembangan yang amat positif. Hingga kini, hubungan dan konflik antarnegara dan antaragama sudah terbiasa dijelaskan menurut analisis ekonomi. Lembaga-lembaga politik tumbuh di luar struktur kekuatan ekonomi, dan budaya adalah ekonomi, dalam arti, di Barat, sistem pasar menentukan kerangka nilai-nilai umum yang dalam teori seharusnya secara independen dimunculkan oleh budaya sendiri.

Namun, Huntington seolah melihat peradaban sebagai blok monolitik. Padahal, dalam kenyataan tidak demikian. Sebagian peradaban, misalnya peradaban Islam, terutama ditentukan oleh wahyu keagamaan; yang lain, seperti Konfusius, ditentukan oleh hubungan antara agama yang mengilhami mereka dan kekuasaan politik yang kurang jelas. Dalam peradaban Barat, versi Katolik atau Protestan dari agama Kristen membentuk bagian dari lanskap budaya mereka, meski masyarakat negara-negara Barat amat terbagi berdasar kepercayaan keagamaannya. Dalam setiap peradaban, ada beberapa tren pemikiran yang mengikuti garis-garis pengakuan, dan yang lain mengikuti garis-garis penempatan-subjek perdebatan yang kini hidup di negara-negara seperti Turki dan Italia.

Banyaknya kekerasan dipicu sentimen agama, seakan membenarkan, agama memang mendukung perilaku kekerasan, self fulfilling prophecy atas kekerasan berbau agama. Akibat yang diderita para pemeluk agama adalah mereka hidup dalam ruang yang serba sempit tertekan, karena agama yang diharapkan bisa menjadi tempat berlindung dan pengayom, malah berlaku kasar, terkesan jadi bengis.

Standar ganda yang diterapkan para pemeluk itu menganggap, agamanya yang paling sempurna dan paling benar, sementara agama lain tidak sempurna, karena itu salah dan sesat. Dengan menempatkan standar ganda semacam ini -yang kemudian terkonstruksi pada masing-masing penganut agama- terjadi saling mengklaim, kebenaran hanya ada dalam agamanya; agama orang lain tidak mengajarkan kebenaran karena tidak ada kebenaran maka tidak ada pula keselamatan. Berpijak pada truth claim ini, maka pemahaman keagamaan mengarah pada segregasi-segregasi antar umat beragama.

Semua itu akan terjadi saat pemahaman atas agama atau keberagamaan masyarakat merupakan keberagamaan yang parochial, sehingga yang terbangun adalah sentimen-sentimen negatif atas agama lain. Namun, mungkin akan tereliminir sentimen-sentimen keagamaan dan kekerasan atas nama agama, saat cara keberagamaan masyarakat beranjak pada cara keberagamaan yang lebih toleran. Artinya apresiatif terhadap perbedaan-perbedaan yang ada dalam agama-agama itu.

Sikap toleran dan apresiatif inilah yang merupakan kata kunci pada inklusivisme beragama. Perbedaan dalam agama dipahami sebagai sesuatu yang bukan taken for granted sebagai sunnahtullah, tetapi menjadi kesadaran pluralisme pada masing-masing penganut agama.

Pluralitas agama karena itu mengandaikan sebuah kenyataan yang tidak saja wajar adanya, tetapi sebuah keniscayaan yang harus dihargai, dihormati, bahkan dijadikan semacam pijakan bersama guna menumbuhkan kedewasaan dalam beragama. Pluralitas agama tidak digerakkan untuk menuju kehidupan yang penuh disharmoni, pertikaian, ataupun perkelaian fisik antar agama.

Pluralitas agama, karena itu, sudah seharusnya menjadi modal dasar dan elan vital membangun sebuah peradaban masyarakat religius yang mendahulukan, kompromi-kompromi dan dialog. Karena disinilah kekuatan utama agama-agama yang mengemban misi profetiknya. Bukan agama ynag di kemas dengan kalimat-kalimat yang magis dan sakral, untuk saling menghancurkan dan menakut-nakuti sesama pemeluk agama, dengan alasan hanya karena berbeda. Kita semua percaya, setiap agama mengajarkan prinsp-prinsip universal tentang keadilan, kejujuran, pembelaan terhadap yang tertindas, dan kaum minoritas. Agama mengajarkan agar manusia saling mengasihi, saling menyayangi, dan mencintai.

Oleh karena itu, perbedaan-perbedaan yang ada dalam cara atau tata cara, metode, atau jalan menuju Tuhan, bukan penghalang bagi terwujudnmya dialog dan kerjasama antar agama; karena sesunggunya perbedaan itu hanya penampilan, yang hakekatnya sama-sama menghadap Tuhan, mengabdikan diri pada sang Khaliq dengan pelbagai ungkapan dan ekspresinya. Pada dasarnya, agama mana pun, baik Islam,. Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu dan Budha mengajarkan kepada umatnya untuk selalu berbuat baik terhadap sesamannya. Agama Islam sendiri pun membawa ajaran yang suci kepada manusia, tanpa dosa dan cinta damai. Semoga.

Facebook Comments