Pasca serangan bom 9/11 di Washinton Amerika Serikat, tudingan dan fitnah presiden Amerika Serikat menyimpulkan bahwa Islam is Terroist. Kesimpulan tersebut tidak serta merta diterima dan diyakini oleh masyarakat Amerika, mereka menyikapinya dengan meramaikan banyak perpustakaan dan sekian banyak toko buku dengan rasa penasaran dan rasa ingin tahu, apakah betul Islam itu teroris?
Semua buku dan seluruh ensiklopedia tuntas dibaca, namun tidak satupun buku dan ensiklopedia memuat kata dan kalimat yang menyebutkan bahwa Islam agama teroris, justru yang banyak ditemukan adalah Islam rahmatan lil alamain. Islam membawa rahmat dan kasih sayang bagi seluruh alam, bukan hanya menebar kasih sayang kepada semua manusia, bahkan juga kepada semua makhluk ciptaan Tuhan. Namun mengapa muncul kesimpulan dan dugaan bahwa Islam itu agama teroris ?
Kesimpulan presiden Amerika tidak berbanding lurus dengan hasil bacaan masyarakat Amerika pada umumnya, sebab setelah masyarakat melacak banyak referensi tentang Islam, banyak di antara mereka yang bersimpati untuk mempelajari Islam, bahkan tidak sedikit di antara mereka yang menyatakan diri Islam sebagai agama pilihannya, terutama yang belum mempunyai pilihan keyakinan. Hal tersebut diungkapkan Abdullah Balbed, seorang Imam yang tinggal di Washinton.
Mengapa dua fenomena yang bertentangan muncul di kalangan masyarakat Amerika dan kebanyakan masyaarakat dari negara-negara maju?; fakta berbicara dan tudingan yang beredar bahwa Islam laknatan lil Alamin, namun dari banyak hasil bacaan dan literatur ternyata Islam rahmatan lil Alamin.
Kenyataan tersebut terjadi pada banyak negara di belahan dunia selain belahan dunia yang ditempati Islam mulai tumbuh, berkembang dan mengalami puncak kejayaan. Bahkan muncul pernyataan bahwa Islam yang idealis banyak ditemukan di belahan dunia Asia Barat, tetapi Islam yang realistis banyak dilakoni masyarakat yang belum mengenal Islam, membedakan antara Islam, muslim dan pemahaman tentang Islam atau fiqh Islam, meski secara aplikatif substantif Islam sudah banyak diaplikasikan dalam segala aspek kehidupan mereka.
Ketimpangan yang merebak dalam masyarakat baik di barat maupun di timur, di antaranya disebabkan oleh sikap ulama yang tidak peduli terhadap persatuan dan kesatuan di bawah bentuk masyarakat yang plural, berbeda bangsa, agama, suku, bahasa dan tradisi. Akhirnya ulama lalai terhadap persoalan tersebut, sebahagian besar ulama larut dalam golongan dan komunitasnya masing-masing, tidak ada lagi tempat umat bertanya, tidak ada lagi majelis bagi umat yang haus akan pencerahan. Kalaupun sekarang ada majelis, taklim, tarbiyah, halaqah yang dilaksanakan, ujungnya hanya mengkultuskan tokoh serta membesarkan dan membenarkan satu paham saja.
Akibatnya umat resah dan galau terhadap kondisi yang terjadi – terutama masyarakat yang baru mengenal dan mempelajari Islam – namun mereka tidak menemukan solusi alternatif terhadap permasalahan keagamaan, problematika kebangsaan dan kemasyarakatan.
Kelalaian Ulama
Dalam banyak riwayat ditegaskan bahwa Rasulullah tidak khawatir dengan jumlah ulama yang dari hari ke hari semakin berkurang, namun yang dikhawatirkan beliau adalah jika para ulama tidak lagi memiliki kepekaan terhadap kemaslahatan umat, ulama tidak lagi menjadi tempat bertanya semua masyarakat yang haus akan pencerahan, rindu akan petuah-petuah yang bijak, kering dari siraman rohani dari para alim ulama yang wara’, tawadhu’, bersahaja, dan selalu tampil memberi keteladanan.
Rasul Muhammad Saw merasa cemas jika ulama keluar dari habitatnya; ramai-ramai berpolitik praktis dan menjadi alat dari sandiwara kehidupan, ulama tampil menjadi pelawak sementara profesi pelawak sudah diorganisir dalam acara media seperti standup comedy. Di sinilah letak masalah yang menjadikan ulama lalai, akibat dari fenomena tersebut, muncullah pihak yang merasa lebih tahu segalanya, merasa lebih berkompeten mengeluarkan fatwa terhadap masalah tertentu yang muncul dalam masyarakat.
Ulama tidak lebih hanya menjadi pemadam kebakaran, mereka dibutuhkan saat masyarakat galau, negara kacau, bangsa risau. Ramai-ramailah masyarakat meminta fatwa dari ulama, sementara ada di antara masyarakat yang merasa ulama tidak memahami kondisi bangsa, tidak memahami sejarah perjuangan para pejuang bangsa dan pejuang agama yang terdapat dalam lembar sejarah kehidupan para nabi dan rasul, serta sahabat dan para pengikutnya.
Sebagai akibat dari kelalaian sebagian alim ulama yang mumpuni dan menguasai serta memahami konsepsi, aplikasi Islam secara modern, berkemajuan, akuIturatif, serta mengetahui pula Islam di Indonesia yang menusantara, banyak kalangan generasi muda yang ikut-ikutan galau dan risau di tengah gejolak globalisasi yang semakin hari semakin tidak terbendung.
Upaya menjauhkan ulama dari kondisi yang galau yang berakibat pada hilangnya kepekaan, kondisi yang tidak menentu berakibat pada lalainya dari amanat mencerahkan umat. Pemerintah harus berupaya memajukan lembaga majelis ulama Indonesia dan forum kerukunan umat beragama agar seluruh masyarakat Indonesia secara kolektif bersinergi dengan seluruh ulama dan tokoh agama lainnya, memberdayakan setiap ulama dan tokoh agama merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi program yang melibatkan para ulama dan tokoh agama lainnya.
Indonesia sebagai negara yang berpenduduk umat Islam terbanyak di dunia membutuhkan upaya kongkrit dengan bahasa komunitas Indonesia bahwa Islam yang bertumbuh dan berkembang di nusantara bukan Islam yang terdapat di negara lain. Ulama harus memiliki daya dan upaya serta bahasa yang membumi kepada seluruh lapisan masyarakat yang sangat homogen.
Selain atensi pemerintah terhadap peran ulama yang maksimal, pribadi ulama itu sendiri harus introspeksi bahwa predikat yang disandangnya merupakan perekat bagi masyarakat, merupakan tempat orang bertanya tentang problematika keberagamaan.
Kebodohan Umat
Tidak seorang pun di dunia ini yang menginginkan dirinya – terlebih kedua orang tuanya – lahir dalam keadaan bodoh dan tidak cerdas, tiap manusia diperlengkapi onderdil oleh Tuhan, diperkaya dengan banyak macam kecerdasan yang terkenal dengan istilah kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Namun mengapa ada istilah ‘kebodohan umat’? Siapa yang masuk dalam kategori umat? Mengapa ada umat yang bodoh? Siapa yang bertanggungjawab mengeluarkan umat dari belenggu kebodohan? Bagaimana cara mengeluarkan umat dari kurungan alam kebodohan?
Rangkaian pertanyaan tersebut menuntut jawaban yang aplikatif, bukan narasi yang retoris. Istilah kebodohan umat muncul hanya sebagai akibat dari kelalaian ulama dalam mengarahkan dan menuntun umat ke jalan yang benar; jalannya para nabi, rasul, para sahabat serta para ulama terdahulu. Kini strategy memberdayakan ulama yang perlu diaktualkan agar ulama memiliki cara menghadapi, menuntun dan mengarahkan umat menuju jalan yang diridhoi Allah swt.
Jika berangkat dari peringatan Allah swt, yang mengaskan bahwa kita sekalian adalah umat yang terbaik dibangkitkan untuk seluruh manusia agar mengajak sesama manusia lain melakukan humanisasi, liberalisasi dan transendensi.
Humanisasi Istilah lain dari menganjurkan untuk berbuat baik, memanusiakan manusia, bukan membantai sesama ciptaan terbaik Tuhan, bukan pula memaksakan diri mewujudkan predikat tertentu di mata sesama atas landasan nafsu popularitas dan nafsu keserakahan. Humanisasi merupakan proses menuju pada pembentukan insan kamil, manusia paripurna.
Hal tersebut dapat terwujud jika setiap manusia berlomba mewujudkan kedamaian dan menebarkan kasih sayang di antara sesama. Liberalisasi merupakan proses pembebasan diri dari berbagai macam belenggu, kebodohan, ketergantungan, keterbelakangan, kemiskinan. Liberalisasi bertujuan membebaskan manusia dari kemungkaran, kerusakan, anarkisme, premanisme, radikalisme dan terorisme.
Sedangakan tahapan selanjutnya adalah transendensi, suatu proses penyerahan diri kepada Sang Khaliq dengan keyakinan akan segala ke-Maha Kuasaan Allah swt. Rangkaian aktualisasi sosok umat yang diwariskan dalam kitab suci merupakan tatanan dan tuntunan yang harus dipedomani untuk mengeluarkan umat dari kebodohan dan mewujudkan umat terbaik yang diabadikan oleh Tuhan dalam firman yang lain.
Sinergitas antara ulama dan umat dalam menghadapi problematika kehidupan yang semakin hari semakin kompleks, keduanya dituntut saling memahami antara satu dengan yang lainnya, agar jangan ada istilah ulama lalai atau umat bodoh. Istilah yang akan muncul kemudian adalah ulama yang peka terhadap problematika kehidupan, dan umat yang kritis akomodatif bagi pemenuhan jawaban dari berbagai macam pertanyaan yang mengemuka dalam hidup dan kehidupan.