Lembaga pendidikan keagamaan atau pondok pesantren hadir dalam masyarakat Indonesia menyiapkan kader calon pemimpin agama, bangsa dan pemimpin negara yang moderat, inklusif dan akulturatif. Sejak Indonesia merdeka, tidak sedikit para syuhada, pahlawan dan kusuma bangsa yang gugur di medan laga demi mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia dari serangan para penjajah. Tidak sedikit dari mereka yang lahir dari pondok pesantren, alumnus yang menyelesaikan pendidikannya dari pondok pesantren serta membina pondok pesantren. Mereka adalah sebagian sosok pejuang yang mengantarkan Indonesia jaya, merdeka, dan bermartabat.
Lembaga pendidikan keagamaan yang bercirikan Indonesia berakar pada nilai-nilai budaya bangsa Indonesia yang secara turun temurun diwariskan oleh para leluhur, cerdik cendekia, ulama, tokoh agama, kyai dan tuan guru, bukan lembaga pendidikan yang menjadi agen dan penyalur budaya dan tradisi negara lain agar dapat melestarikan tradisi mereka dengan mengatasnamakan syariat Islam. Indonesia memiliki karakteristik keberagamaan tersendiri yang serasi dan senafas dengan asas dan dasar disyariatkannya ajaran Islam oleh Allah Swt untuk seluruh umat manusia.
Upaya mempertahankan lembaga pendidikan agama sebagai pilar yang mengokohkan warna pendidikan di Indonesia yang akulturatif, model pendidikan yang memadukan antara nilai-nilai pokok yang terdapat dalam ajaran Islam dengan budaya masyarakat yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara.
Meski banyak pihak, termasuk pemerintah yang senantiasa berupaya mengoptimalkan peran lembaga pendidikan agama di antaranya secara kelembagaan pada kementerian agama ditangani khusus pada direkturat pondok pesantren yang memantau, membina, mengembangkan dan menyalurkan bantuan kepada pondok pesantren. Banyak alumni pondok pesantren yang melanjutkan pendidikan pada dunia perguruan tinggi dengan bantuan bea siswa dari kementerian agama.
Alumni pondok pesantren yang memiliki intelektual tinggi dan potensi akademik yang bagus, kementerian agama menyiapkan bantuan studi hingga mereka meraih sarjana strata satu (S1), hal tersebut telah berlangsung lama dan terus diupayakan dan ditingkatkan perhatian tersebut agar harapan masyarakat Indonesia mewujudkan pesantren bercahaya akan menjadikan Indonesia berjaya.
Namun demikian, patut juga kita prihatin terhadap adanya oknum yang membelokkan tujuan utama lembaga pendidikan agama, khusus di wilayah Sulawesi Selatan yang mendapatkan bantuan dari BRI dalam program ‘Pesantren Bersinar’ berupa penyaluran lampu hemat energi.
Pada beberapa bulan yang lalu, penulis didatangi seorang ibu berusia belia mengadukan putrinya yang dimasukkan ke salah satu lembaga pendidikan agama di wilayah tersebut, lembaga pendidikan tersebut menggunanakan nama pesantren penghafal qur’an. Dari segi nama sangat menggembirakan sebab jika orang tua yang menghendaki anaknya menjadi penghafal qur’an, maka wadah tersebut dapat menjadi jawaban terbaik.
Namun demikian, ibu tersebut sangat merasa rugi dan kecewa karena putri tercintanya sudah mencap ibunya murtad karena tidak melakukan jihad di Suriah dan Irak. Anaknya itu juga mengirimkan foto mengangkat senjata sambil menyampaikan kepada ibunya bahwa setiap malam jumat mereka dipertontonkan film yang mengaku seorang jihadis yang membantai sesama manusia, dan itulah tujuan mereka dipersiapkan untuk melakukan bom bunuh diri di Suriah.
Kisah nyata tersebut menjadi perhatian bagi pemerintah dan aparat keamanan untuk terus mewaspadai pergerakan oknum yang berlindung di balik nama baik pondok pesantren. Hal seperti itulah yang mencoreng kesucian perjuangan para alim ulama yang merintis lebih awal hadirnya pondok pesantren dalam masyarakat Indonesia. Seluruh lapisan masyarakat dan semua komponen bangsa di manapun berada patut berhati-hati terhadap oknum yang menjual nama lembaga pendidikan agama, namun demikian tidak sesuai dengan label nama yang digunakan.
Peristiwa seperti itulah yang menghancurkan nama baik pondok pesantren, jauh dari harapan seluruh bangsa Indonesia yaitu ‘pesantren bercahaya-Indonesia jaya’. Upaya kongkrit yang dirintis oleh pemerintah dengan menjadikan pesantren lebih bersinar dengan menyalurkan bantuan lampu hemat energi kepada 10 pondok pesantren se-Sulawesi Selatan, jika semua pesantren di Indonesia telah bersinar terang benderang, maka lembaga pendidikan keagamaan tersebut selalu memantulkan cahaya kepada para santrinya dan juga kepada lingkungan sekitar, terutama diharapkan semua pesantren bercahaya yang pada puncaknya akan menjadikan Indonesia semakin berjaya, terpandang di mata dunia.
Indonesia yang berjaya dan bermartabat menjadi impian dan harapan setiap orang dalam setiap bangsa dan negara, bukan Indonesia yang dikenal sebagian bangsa lain sesuai fakta empiris bahwa Indonesia sarang teroris, Indonesia tumbuh subur kelompok radikal anarkis. Tudingan seperti itulah yang harus dicounter-diluruskan bahwa Indonesia adalah negara maju dalam demokrasi keberagamaan, mengakui 6 agama secara konstitusional, Indonesia negara orang-orang yang memiliki agama, dan bukan negara Islam, tetapi negara Indonesia yang Islami.
Cahaya di atas Cahaya
Pesantren yang selalu terang benderang akan memantulkan sinar cahaya dalam memelihara kejayaan Indonesia, bukan pesantren yang disalahgunakan oknum untuk menjadi lembaga persiapan dan pengkaderan lahirnya radikal militan anarkis.
Pada hakekatnya, tidak satu pun pondok pesantren di Indonesia yang dibangun hanya untuk melahirkan santri yang tidak memiliki wawasan yang luas, holistik dan integral. Pondok pesantren telah melahirkan banyak cendekiawan yang kritis akomodatif, ilmuan yang memperdalam Islam sebagai objek kajian dan Islam sebagai doktrin. Lebih jauh lagi tidak mungkin sebuah pesantren dibangun dengan susah payah, tenaga pengajar yang terbatas, dana yang serba kurang yang hanya akan melahirkan alumnus yang radikal anarkis.
Upaya kongkrit dan nyata dari pemerintah melalui BNPT bekerja sama dengan BRI dalam memajukan pondok pesantren di Indonesia adalah program peningkatan kapasitas lembaga pendidikan keagamaan melalui kegiatan ‘Pesantren Bersinar’ yang diawali dari Jawa Tengah khususnya pada wilayah Solo Raya. Kegiatan yang sama dilanjutkan di Sulawesi-Selatan dan semoga bisa berlanjut ke wilayah lain di Indonesia seperti Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Barat. Bahkan jika program tersebut berhasil dan membawa keuntungan bagi lembaga pendidikan agama berupa keluaran pesantren yang terus gigih mempertahankan negara kesatuan Republik Idonesia, tidak menutup kemungkinan pemerintah dapat menjadikan pilot project untuk dikembangkan ke seluruh pesantren yang jumlahnya kurang lebih 38.000 pondok pesantren di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut meliputi banyak kategori dan klasifikasi pondok pesantren, mulai dari pesantren tradosional, pesantren moderen hingga pesantren Salaf, bahkan sudah beroperasi pula pondok pesantren khusus mempersiapkan alumninya sebagai penghafal al-Qur’an.
Bantuan fisik pemerintah bagi 10 pondok pesantren yang terdapat di Sulawesi Selatan, berupa pembagian lampu hemat energi dan penerang jalan dalam pondok pesantren sangat bermanfaat bagi pondok yang masih belum memiliki alat penerangan yang cukup dalam menerangi dan memperlancar segala aktifitas santri-santri yang dilaksanakan pada malam hari. Bantuan tersebut tentu belum mencukupi kebutuhan pondok pesantren, karena tiap pesantren memiliki kekurangan yang berbeda, tidak semua pesantren memiliki kekurangan fasilitas yang sama, ada pesantren yang kekurangan ruang kelas, ada yang kekurangan pondok dan asrama, bahkan ada juga pesantren yang kekurang pembina dan guru yang diangkat oleh pemerintah sebagai aparat sipil negara sebagai tenaga pengajar tetap dalam pesantren.
Melalui komunikasi produktif seperti yang dilakukan Kepala BNPT inilah yang dapat menghilangkan kesalahfahaman antara komunitas pesantren dengan lembaga negara. Cita-cita dan harapan antara lembaga pendidikan keagamaam denga semua lembaga pemerintah memiliki cita dan harapan yang sama yaitu mempersiapkan kader terbaik bangsa yang memahami agama dan negara, tidak membenturkan antara konsep agama dengan konsep negara, namun keduanya berpadu dalam satu sikap yang melahirkan sosok pemimpin dan warga negara yang moderat, inklusif serta tetap dalam koridor kritis tetapi tetap akomodatif.