Menurut kamus besar bahasa Indonesia, iri adalah sikap tidak senang terhadap kemujuran yang dimiliki orang lain. ‘Paman dan keponakan’ dari iri adalah sirik, dengki, dan cemburu. Seseorang dengan sifat iri biasanya tidak akan tenang, fikiran dan perasaannya seolah selalu terganggu. Orang ini cenderung akan selalu merasa tidak terima karena orang lain mendapat kemujuran sementara dirinya sendiri tidak.
Tetapi sayang, budaya pendidikan kita terkesan buru-buru saat menyatakan bahwa iri termasuk salah satu sifat buruk yang sebaiknya dihindari. Seolah iri tidak memiliki sisi baiknya sama sekali, padahal jika dicermarti, sifat iri memiliki banyak dimensi. Padahal perasaan iri bisa diarahkan pada hal-hal yang positif. Bukankah seseorang yang mudah gelisah dan tidak terima dengan kemujuran yang dimiliki orang lain adalah orang yang sangat sadar bahwa andai saja ia mau berusaha, ia pasti dapat memiliki kemujuran yang sama (atau bahkan lebih) dengan orang lain?
Islam memberi tiga hukum yang berbeda terhadap sifat iri: ada iri yang dilarang, diperbolehkan, dan bahkan ada pula yang dianjurkan. Sifat iri yang dilarang adalah iri yang disertai dengan dengki, yaitu berupa rasa dengki atas kemujuran yang dimiliki orang lain dan berharap agar kemujuran orang tersebut segera hilang. Alquran menyebut hal demikian dengan kata hasada yang berarti dengki, hasut (QS. An-Nisa: 54).
Sementara iri yang diperbolehkan adalah iri yang positif (ghibtah). Kelebihan dan kemujuran yang dimiliki orang lain justru menjadi motifasi untuk berusaha lebih giat lagi agar memiliki kelebihan dan kemujuran yang sama tanpa mengharap kemujuran orang tersebut hilang. Jika yang menjadi obyek iri adalah sesuatu yang sifatnya duniawi, seperti kekayaan dan banyak teman Islam membolehkannya (mubah). Dan jika yang menjadi obyek iri adalah sesuatu yang berkaitan dengan kebaikan dan ketaatan beragama, maka hukumnya adalah Mustahab (dianjurkan).
Dalam salah satu riwayat dijelaskan bahwa Rasulullah pernah bersabda, “Tidak boleh iri kecuali terhadap dua (jenis manusia): seseorang yang Allah berikan harta kepadanya, lalu dia menghabiskannya di dalam kebenaran; dan seseorang yang Allah berikan hikmah (ilmu agama) kepadanya, lalu dia mengamalkannya dan mengajarkannya.” (HR Al Bukhari dan Muslim).
Hal di atas paling tidak memberi kita pelajaran bahwa boleh tidaknya iri sangat bergantung pada motivasi dan caranya. Yakni tentang alasan kenapa kita harus iri dan hal apa yang dilakukan setelah itu. Iri yang baik adalah iri yang dapat membangkitkan semangat untuk semakin banyak melakukan kebaikan dan meningkatkan ketaatan, yakni iri yang dapat membuat kita yakin bahwa jika orang lain mampu berbuat hal baik, kita juga pasti bisa melakukan hal yang sama. Namun jika iri hanya dilatarbelakangi oleh sirik dan cemburu, plus tidak memiliki rencana follow up yang jelas, maka hal itu tidak ada sisi baiknya sama sekali!