Selamat Jalan NKRI, Selamat Datang Khilafah Islamiyah

Selamat Jalan NKRI, Selamat Datang Khilafah Islamiyah

- in Narasi
4114
0

Ahlan Wa Sahlan

“Selamat Datang Khilafah Islamiyah”

Takbir! Allah Akbar

Kira-kira begitu sambutan dan yel-yel bergemuruh kaum cerdik genarasi muda mahasiswa atas kehadiran Hizbut Tahrir Indonesia (Inggris: Party of Liberation; Indonesia: Partai Pembebasan/Arab: حزب التحرير) di beberapa kampus di Indonesia. Yel-yel khilafah akan tegak kembali seperti tayangan yang beredar di media sosial dan YouTube tentang “Ikrar Sumpah Khilafah” yang diikuti 500 lembaga dakwah kampus dan 3.500 mahasiswa yang digelar di kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) Dramaga Bogor beberapa waktu lalu.

Sungguh ironis!, pada saat usaha untuk menanamkan kembali nilai-nilai Pancasila dan UUD NRI 1945 ke seluruh anak bangsa di pelosok tanah air, justru pada saat yang bersamaan muncul tragedi yang cukup menohok. Fenomena garis keras di kalangan mahasiswa memang seperti jamur di musim hujan, tumbuh subur kian tak terkontrol sejak pertengahan tahun 2000-an hingga saat ini.

Hasil survei yang dilakukan LIPI pada tahun 2011 menunjukkan adanya peningkatan pemahaman konservatif dan radikalisme di kampus-kampus umum. Sebelumnya pada tahun 2008, Kompas menerbitkan hasil survei yang dilakukan oleh aktivis gerakan nasionalis, bahwa sebanyak 80 persen mahasiswa memilih syari‘ah sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara, sedangkan 15,5 persen responden memilih aliran sosialisme dengan berbagai varian sebagai acuan hidup dan hanya 4,5 persen responden yang masih memandang Pancasila tetap layak sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara. (Kompas, 4 Maret 2008). Gejala yang sama juga ditunjukkan oleh penelitian Maarif Institute bahwa benih radikalisme di kalangan remaja Indonesia dalam tahap mengkhawatirkan.

Dalam riset LIPI juga disebutkan bahwa radikalisme justru bersemai dan tumbuh mekar di lima universitas di Indonesia, UGM, UI, IPB, Unair, dan Undip. Anas Saidi—peneliti LIPI mengungkapkan bahwa radikalisme di kalangan pelajar dan mahasiswa itu terjadi pasca reformasi, dengan menyebar melalui Jamaah Tarbiyah (Ikhwanul Muslimin), termasuk HTI dan Salafi yang merupakan bagian dari gerakan Islam transnasional. (www.bbc.com, 2016).

Menurut pengamatan W.C. Smith, seperti dikutip oleh Abdullah Al-Na’im bahwa tema semua gerakan Islam di hampir belahan dunia berkisar pada dua hal: Pertama, protes melawan kemerosotan internal, dan kedua, serangan terhadap eksternal. (An-Na’im, 2004, h. 9). Sementara agenda gerakan radikalisme dalam dunia Islam ini adalah merupakan salah satu bentuk pencarian identitas (identity reconstruction), yang disebut Manuel Castell sebagai “the ego of authenticity”. (Manuel Castells, 1997, h. 12-20).

Menjadi Ancaman NKRI

Dalam konteks Indonesia saat ini, gerakan radikalisme muncul dengan pemikiran dan konsep bahwa negara ini dijalankan dengan sistem thagut yang harus diganti dengan jalan syari’at atau Khilafah Islamiyah dengan membawa simbol mayoritas dan mereka “lupa” bahwa Indonesia ada, juga karena adanya agama lain.

Fakta ini dapat kita tangkap bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berideologi Pancasila sedang berada dalam bayang-bayang “ideologi maut”. Ekspresi pemikiran dan gerakan kelompok ini muncul ke ranah publik secara massif dan itu bukan khas Indonesia, sebaliknya merupakan gejala luas yang kita temukan di hampir semua negeri Muslim, khususnya di kawasan Timur Tengah.

Gerakan politik Hizbut Tahrir (HT), misalnya, ditengarai sebagai pionir gerakan radikalisme Islam di Indonesia. Tidak berbeda jauh dengan HTI, Ikhwanul Muslimin (IM) dan Mejelis Mujahidin Indonesia (MMI) juga dengan cepat merambah hingga ke pelosok negeri ini. Organisasi ini sebagai bagian dari international political movement (gerakan politik dunia) yang tak punya akar budaya, visi kebangsaan, dan visi keumatan dengan Indonesia. Dengan kata lain, gerakan Ormas ini dapat dikatakan sebagai representasi dari ideologi Islam global yang terus mengancam keutuhan NKRI.

Ancaman terhadap Pancasila dan NKRI tersebut bukan isapan jempol belaka. Parpol HTI ini secara tegas menyerukan agar sistem khilafah tegak di bumi pertiwi ini, dan bahkan organisasi transnasional tersebut telah menyiapkan empat pilar negara khilafah yang siap mengganti empat pilar kebangsaan; Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.

Empat Pilar Negara Khilafah itu adalah: 1). Kedaulatan di tangan syariah, bukan di tangan rakyat, 2). Kekuasaan di tangan umat, 3). Mengangkat satu orang khalifah adalah wajib atas seluruh kaum muslimin, dan 4). Hanya khalifah saja yang berhak melegislasikan hukum-hukum syara’, dan khalifah saja yang berhak melegislasi UUD dan segenap UU. (M. Shiddiq al-Jawi, 2012).

Jika konsep yang ditawarkan “Parpol fosil” di atas sudah merambah ke beberapa kampus bonafit dan menjangkiti mahasiswa sebagai intelektual muda dan penerus masa depan Indonesia, maka 20-30 tahun ke depan kaum cendekia ini dengan mudah sekali menggusur Negara Pancasila menjadi negara “Khilafah Islamiyah”. Karena “spesies” pilihan inilah yang bakal mengisi pos-pos bergengsi di negeri ini; mulai dari ketum parpo, menteri, pegawai negeri, petinggi BUMN, pimpinan perusahan, kepala daerah hingga kyai-kyai kampung.

Dengan demikian, benar apa yang dikatakan Buya Syafii Maarif, bahwa negara telah membiarkan dirinya mulai digerogoti oleh virus ganas yang bisa membawa keruntuhan Negara Indonesia. (Republika, 2/5/). Sementara kalangan pro NKRI dan Pancasila sendiri tetap diam di tempat atau menampakkan diri malu-malu atau pura-pura “lupa” terhadap ideologi Pancasila, dan kalaupun ada diskusi tentang ideologi negara tapi ia hilang-hilang timbul untuk kemudian seolah lenyap tanpa bekas. Jika tidak ada upaya tindak lanjut sistematis untuk menangkal gerakan radikalisme sembari menanamkan kembali nilai-nilai Pancasila ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka kita tinggal menunggu waktu saja!. Selamat Jalan NKRI. Dan Selamat Datang Negara “Khilafah Islamiyah”. Naudzubillah Min Dzalik. Wassalam.

Facebook Comments