(Ber-) Puasa dan (Ber-) Pancasila

(Ber-) Puasa dan (Ber-) Pancasila

- in Narasi
1729
0

Momentum hari lahir Pancasila yang diperingati setiap tanggal 1 Juni mengajak kita kembali memperkuat nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab, untuk mewujudkan kehidupan masyarakat Indonesia agar sesuai dengan Pancasila, di samping direfleksikan lewat aturan atau hukum yang berlaku, juga memerlukan kesadaran dari setiap warga negara untuk selalu mengamalkannya. Maka, Hari Lahir Pancasila yang diperingati setiap tahun diharapkan bisa selalu memperbaharui semangat dan menghidupkan kembali kesadaran kita dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila.

Peringatan Hari Lahir Pancasila tahun ini menjadi spesial karena berada di bulan suci Ramadan. Di samping itu, peringatan ini juga mendapatkan momentumnya di tengah munculnya kasus-kasus intoleran, saling hujat, dan segala bentuk pertikaian di masyarakat, terutama di dunia maya, yang beberapa bulan belakangan nampak menggejala. Dengan momentum Hari Lahir Pancasila, diharapkan kita kembali sadar dengan pentingnya menjaga persaudaraan bangsa, terutama melalui nilai-nilai persatuan yang menjadi salah satu pokok dari Pancasila itu sendiri.

Upaya mengamalkan nilai-nilai Pancasila mendapatkan signifikasi yang besar di bulan Ramadan ini. Kita bisa menguraikan pendapat tersebut dengan menjabarkan masing-masing sila dalam Pancasila, mencari nilai pokok yang terkandung di dalamnya, dan selanjutnya menemukan relevansinya sebagai sikap yang juga dilatih seorang Muslim dalam menjalankan ibadah puasa. Sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa, menandakan bahwa manusia Indonesia adalah manusia yang relijius, beragama, yang percaya dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai kepercayaan masing-masing.

Makna sila Ketuhanan juga meluas sampai pada sikap saling menghormati antar-umat beragama, mengupayakan kerukunan antar-umat beragama, juga menghormati kebebasan dalam menjalankan ibadah sesuai kepercayaan masing-masing. Bulan Ramadan kemudian menjadi ajang pembuktian apakah masyarakat Indonesia, baik umat Muslim maupun yang beragama lain, bisa mengamalkan sila Ketuhanan tersebut.

Bagi umat Muslim yang sedang menjalankan ibadah puasa, sila pertama Pancasila dengan sendirinya mesti diamalkan dengan kesadaran menjalankan ibadah Puasa secara sungguh-sungguh, sebagai bagian dari kewajiban seorang Muslim dan bertakwa kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan, bagi umat yang beragama lain, sila pertama menjadi pegangan untuk berlaku toleran terhadap umat Muslim yang sedang menjalankan ibadah puasa. Artinya, selama bulan Ramadan, umat selain Muslim mesti menghargai umat Muslim yang beribadah puasa dengan tidak melakukan hal-hal yang bisa mengganggu ibadah tersebut.

Namun, sikap toleransi bukan hanya searah, melainkan harus berjalan dua arah”. Ini berarti bahwa tak hanya umat selain Muslim yang harus menghargai umat Muslim yang sedang berpuasa, namun di saat bersamaan umat Muslim juga harus menghargai umat lain yang tidak sedang berpuasa. Inilah yang disebut “saling toleransi”, artinya ada keterlibatan aktif dari kedua belah pihak untuk tenggang rasa. Contoh konkretnya, umat selain Muslim menghormati umat Muslim yang berpuasa dengan tidak makan sembarangan di tempat umum. Di saat bersamaan, umat Muslim menghormati umat lain yang tidak berpuasa dengan tidak memaksa tempat-tempat makan untuk tutup di bulan Ramadan.

Selanjutnya, sila kedua: Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, menunjukkan bahwa manusia Indonesia harus menjunjung tinggi kemanusiaan, keadilan, dan keadaban. Bahwa sebagai makhluk yang beradab, manusia harus mengedepankan keadilan, baik pada diri sendiri maupun pada sesama. Jika diturunkan, nilai-nilai tersebut memunculkan sikap saling peduli, menghormati, dan menyayangi antar sesama manusia.

Kemudian sila ketiga, Persatuan Indonesia, berarti masyarakat Indonesia yang majemuk, berbeda-beda baik dalam hal suku, ras, agama, dan lain sebagainya, harus memiliki kesadaran akan rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Rasa ini bisa dibuktikan dengan kecintaan pada Tanah Air, komitmen mempertahankan NKRI, juga mengutamakan kepentingan bersama atau bangsa ketimbang kepentingan individu atau kelompok. Jika diterjemahkan ke dalam bentuk sikap, akan muncul sikap-sikap yang juga berhubungan dengan sila kedua (Kemanusiaan) seperti toleran, peduli, dan tenggang rasa terhadap saudara sebangsa sebagai perwujudan akan komitmen kebangsaan.

Dalam konteks puasa, nilai-nilai yang terkandung dalam sila kedua dan ketiga tersebut menjadi refleksi dari dimensi sosial ibadah puasa. Maksudnya, di samping menjadi wujud keimanan kepada Allah (dimensi spiritual), kita tahu, puasa juga melatih manusia untuk peduli dengan sesama dan menciptakan hubungan yang harmonis dengan lingkungan sekitar (dimensi sosial).

Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, mengajak kita untuk selalu mengedepankan dialog, musyawarah, dan kebijaksanaan dalam setiap pengambilan keputusan. Bermusyawarah dan bermufakat dengan didasari kebijaksanaan menjadi pertanda bahwa manusia Indonesia adalah manusia demokratis yang menghargai perbedaan pendapat dan pandangan, bukan manusia yang memaksakan kehendaknya sendiri. Spirit menghargai perbedaan, baik pendapat maupun pandaangan orang lain ini bersenyawa dengan spirit ibadah puasa yang membentuk kita menjadi manusia yang bisa menahan kehendak, nafsu, dan kesenangan yang bersifat pribadi, untuk lebih mengutamakan kebaikan bersama .

Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia atau sila kelima, menekankan adanya persamaan hak dan kewajiban bagi seluruh masyarakat Indonesia. Keadilan sosial mengharapkan tercapainya pemenuhan hak yang merata bagi semuanya, tanpa terkecuali. Hal ini bisa dibatinkan dan diwujudkan lewat sikap saling peduli, solidaritas antar sesama warga untuk saling bahu-membahu dan tolong-menolong agar semua merasakan keadilan, bukan sikap egois yang serakah dan ingin berkuasa sendiri. Peluruhan penyakit serakah dan egois ini juga menjadi bagian tak terpisahkan dari spirit ibadah puasa yang di dalamnya mengajari kita untuk berempati terhadap saudara kita yang hidup kekurangan, dengan ikut merasakan merasakan lapar dan dahaga.

Meskipun kita hidup serba berkecukupan, bahkan mungkin bergelimang kekayaan, puasa membuat kita ikut merasakan menjadi orang yang serba kekurangan, sehingga timbul empati dan kepedulian kita untuk menolong mereka. Bahkan, kita tahu dalam Islam perintah berpuasa diiringi dengan perintah berzakat, yang muaranya akan meratakan harta dari yang kaya ke yang miskin. Jelas ini menjadi simbol dari prinsip keadilan sosial yang menjadi salah satu nilai dalam Pancasila.

Pada dasarnya, masing-masing sila dalam Pancasila jika dijabarkan akan saling berhubungan. Sila ketuhanan menjadi landasan bagi empat sila lainnya. Sedangkan sila kemanusiaan dan persatuan menjadi semangat dan syarat terciptanya masyarakat yang demokratis yang menghargai hak sesama, untuk menuju pada cita-cita kehidupan yang berkeadilan soal. Bulan Ramadan dengan segala nilai dan keberkahannya, diharapkan bisa menjadi wadah bagi umat Muslim di Indonesia untuk menguatkan nilai-nilai Pancasila tersebut. Sebulan penuh selama Ramadan, diharapkan bisa menjadi ajang penggemblengan yang membuat kita semakin dewasa, baik dalam beragama maupun dalam bernegara di masa-masa setelahnya.

Uraian tentang signifikasi spirit Ramadan dengan nilai-nilai Pancasila di atas di saat bersamaan menjadi gambaran bahwa antara Pancasila dan ajaran Islam sama sekali tak bertentangan, melainkan sejalan. Kita bisa menjalankan peran sebagai seorang Muslim yang taat ajaran agama sekaligus warga Indonesia yang taat bernegara. Sebab, nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, musyawarah, dan keadilan—yang menjadi intisari Pancasila, tak lain juga merupakan bagian dari ajaran Islam. Jika demikian, bisa dikatakan bahwa pelbagai amalan yang dilakukan umat muslim di Indonesia selam bulan Ramadan sebenarnya di saat bersamaan juga menjadi ladang yang subur untuk memperkuat nilai-nilai Pancasila. Wallahu a’lam…

Facebook Comments