Sekarang ini, kita sedang dihadapkan pada realitas kemajuan teknologi, informasi dan komunikasi (TIK) yang sedemikian pesatnya. Kemajuan yang sulit dihindari ini ibarat dua mata pisau sekaligus. Di satu sisi, kemajuan TIK bisa mengakselerasi segala aktivitas dengan cepat dan efisien. Misalnya, hanya dengan sentuhan jari, kita bisa akses informasi terbaru, menambah partner, promosi dagangan kepada khalayak ramai sekalipun yang ada di dunia belahan timur. Namun di saat yang lain, dapat membuat tataran masyarakat dalam sekejap berubah; saling membenci antar kelompok, mencuatnya SARA dan hal negatif lainnya. Terkait hal ini, jika dituntut memberikan contohnya, niscaya tidak akan menemukan kesulitan sedikitpun. Sebab, realita ada tepat di depan mata dan hampir setiap hari diberitakan oleh media-media.
Dewasa ini, berbagai negara, termasuk Indonesia sedang dibuat riuh dan sibuk. Ya. Sibuk mengedukasi dan memberikan rambu-rambu kepada masyarakat agar santun dan beradab dalam menggunakan media sosial. Lahirnya UU ITE yang baru saja direvisi akhir November 2016 lalu adalah bentuk keprihatinan pemerintah mengingat postingan berita bohong dan lain sejesnisnya di berbagai medsos.
Tegas kata, gejala medsos disalahgunakan sudah mulai terlihat dalam langit-langit linimassa seperti blogspot, facebook, twitter, whatsApp, line, instagram, youtube, dll. Laku masyarakat yang jauh dari nilai-nilai moral itu bukan tanpa resiko. Media sosial yang digunakan masyarakat untuk mengakses informasi secara instan itu mengancam perdamaian dan keutuhuhan bangsa. Bayangkan saja, seorang maupun kelompok tertentu membuat konten yang berbau sara, provokatif dan fitnah. Tentu akan mempengaruhi opini masyarakat dan puncaknya juga masyarakat akan mudah pecah. Cara-cara seperti ini terbukti ‘manjur’. Lebih bahaya lagi jika ditarik dalam ranah suksesi nafsu busuk politikus tertentu. Di tangan kelompok ini, medsos ditengarai digunakan sebagai alat politik untuk mengadu-domba dan menjatuhkan lawan politiknya.
Dari fenomena tersebut, mencuat hoax (berita bohong), menebar kebencian, fitnah dan sejenisnya. Praktis. Dalam suasana seperti ini, dunia maya sudah mulai menggeser dunia nyata. Artinya, medan pertarungan adalah dunia maya. Pro dan kontra pun selalu ada, tidak dapat dihindarkan. Celakannya, pro dan kontra di dunia maya saat ini ibarat pertandingan tanpa wasit.
Nyinyir dan bulyying di medsos adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari, sekalipun itu menyakitkan dan berimplikasi terhadap perpecahan karena antar kelompok lebih mengedepankan egonya masing-masing.
Tak heran jika Mark Zukcerbeg (pendiri fb) dan teman-temannya geleng-geleng kepala. Tidak habis piker jika aplikasi yang ia ciptakan justru menjadi mala petaka akibat manusia yang tidak bertanggung jawab. Perlu diingat bahwa motivasi, visi dan misi utama lahirnya media sosial (medsos) sebagai akibat adanya kemajuan teknologi informasi ini adalah memudahkan manusia berinteraksi, memperdekat tali persaudaraan (ukhuwah insaniyyah). Namun seringkali antara harapan dan kenyataan tidak selalu berbanding lurus.
Medsos masih menyisakan persoalan, yang jika tidak segera diatasi, akan menjadi bom waktu yang siap meledakkan pertarungan. Terlebih kondisi masyarakat Indonesia saat ini banyak yang gemar menge-share berita tanpa adanya klarifikasi lebih dalam akan kevalidan sumber dan konten berita itu terlebih dahulu. Budaya mudah share itu semakin mengkhawatirkan ditengah melemahnya literasi masyarakat Indonesia. Selain budaya tersebut, mudah nyinyir dan membully juga menjadi masalah selanjutnya, terumata dalam konteks menggunakan media sosial.
Singkat kata, perilaku masyarakat kita dalam bermedia sudah jauh dari nilai-nilai bangsa dan agama. Barangkali fenomena semacam inilah menjadi penyebab ulama sekaliber Quraish Shihab “gembar-gembor” untuk mengingatkan kepada seluruh komponen bangsa dan negara Indonesia untuk menerapkan akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari. Dalam sebuah bukunya yang ditulis pertengahan tahun lalu, Quraish Shihab dengan menusuk jantung mengatakan bahwa: “Akhlak mulia yang diwariskan leluhur kita dan yang diajarkan agama tidak lagi terlihat dalam kehidupan keseharian kita. Ia telah hilang. Sehingga saat ini diperlukan lampu sorot untuk mencari secara sungguh-sungguh di mana ia ditemukan”.
Islam dan Etika Bermedia Sosial
Islam adalah agama paripurna. Semua aspek kehidupan dunia, bahkan juga akhirat diatur sedemikian apiknya dalam Islam (Masykuri, 2016). Menghadapi kemjauan dunia TIK yang semakin hari minus etika, kita memerlukan peran agama sebagai paduan nilai-nilai moral.
Media sosial adalah sesuatu yang netral. Jika yang menggunakan adalah orang yang bijak, bertanggung jawab, santun, dan beradap, maka akan menimbulkan kebaikan, yang kebaikan itu tidak hanya orang itu yang menikmati, melainkan juga masyarakat banyak. Nah, diakui atau tidak, yang pasti, mengelola manusia tidak semudah beternak, memelihara Ayam misalnya. Sebab, manusia tidak cukup hanya diberikan kandang dan makan saja, melainkan harus dibuat system sedemikian rupa. Apalagi kecenderungan manusia membuat kerusakan (QS. Al-Baqarah, 11-12, 30; dan Al-Rum, 41).
Maka, diperlukan panduan khusus. Terkait isu ini, Islam sudah mempunyai prinsip dan etika bermedia. Itulah sebab, Majlis Ulama Indonesia (MUI) telah merumuskan pedoman bemuamalah melalui media sosial. Dalam fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017 tentang bermualah via medsos ini memuat beberapa hal penting.
Pertama, mengharamkan melakukan ghibah, fitnah, namimah, dan menyebarkan permusuhan. MUI mengeluarkan fatwa ini tidak muncul begitu saja. Ada kajian mendalam dan melibatkan seluruh komponen. Dalam poin pertama ini, MUI setidaknya perpacu pada dalih Alquran dan hadis. Misalnya, Quran surat Al-Hujarat ayat 12 dengan jelas melarang ghibah. Bahkan pada surat yang sama, ayat 7,11 dan 12 secara tegas tidak membenarkan mengolok-olok dan juga tidak boleh berbohong.
Kedua, bullying, ujaran kebencian, permusuhan antar suku, agama dan golongan adalah haram. Firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 8 menegaskan untuk berbuat adil kepada semua orang sekalipun terhadap orang yang dibenci. Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad bersabda: “Kalian tidak beriman sampai kalian berkasih-kasih.” (HR. At-Thabrani dan Al-Baihaqy). Jadi, Islam lebih mengedepankan kelembutan dari pada kebencian dan permusuhan. Ketiga, mengharamkan menyebar berita hoax (berita bohong). Islam sangat menjung tinggi kejujuran.
Sebagai pengetahuan dan rujukan saja, dalam Alquran, cara berkomunikasi sangat beradab sekali, bahkan melalpui zaman. Misalnya, ada Qualan Kariman (QS. Al-Isra’, 23), Qaulan Ma’rufan (QS. An-Nisa, 5), dan sebagainya. Jadi, jika Anda Muslim tetapi masih gemar menggoreng berita bohong dan menuduh dan mengujar kebencian bahwa Si A intoleran, dan anti ini dan itu tanpa fakta yang memadai, patutlah dicurigai akan “keotentikan” Islam Anda. Sebab, sekali lagi, Islam adalah agama yang ramah, santun dan menjunjung tinggi perdamaian.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa Islam mengajarkan agar umat manusia, khususnya Muslim menggunakan media sosial secara santun dan beradab. Satu lagi, sebagaimana dikutip dari Prof Dadang Kahmad (dalam SM, edisi no. 02 Th ke-102 Januari 2017) Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Cukuplah seorang itu disebut pendusta, jika ia menyebarkan apa saja yang didengar tanpa melalui proses konfirmasi dan cross check informasi.