Bencana Alam dan Refleksi Kesetiakawanan Sosial

Bencana Alam dan Refleksi Kesetiakawanan Sosial

- in Narasi
2147
0

Beberapa hari yang lalu, pelbagai daerah di Tanah Air dilanda bencana alam. Seperti erupsi Gunung Agung di Bali, banjir, puting beliung, tanah longsor di Pacitan dan Sidoarjo, Gunung Kidul, Bantul, Kulon Progo, Sleman, hingga Wonogiri. Curah hujan yang ekstrem dengan disertai angin kencang mengakibatkan bencana di pelbagai tempat. Rumah-rumah terendam banjir, diterjang puting beliung dan dilanda longsor, sehingga membuat saudara-saudara kita harus mengungsi.

Di Pacitan (Jatim), Bantul dan Gunung Kidul (Yogyakarta), serta Wonogiri (Jateng), curah hujan ekstrem dan membawa banjir dan tanah longsor. Sejauh ini, total 17 orang tewas akibat tanah longsor dan 5 orang tewas akibat banjir di Kabupaten Pacitan. Banjir merendam dan merusak sekitar 3000 rumah di lima kecamatan, sedangkan longsor menerjang lebih dari 100 rumah di tiga kecamatan. Diperkirakan, warga yang mengungsi mencapai lebih dari 7000 orang (Kompas, 2/12/2017).

Akhir tahun kita dihadapkan dengan pelbagai bencana alam. Bencana membawa kesusahan dan kesedihan sebab memakan korban jiwa dan merusak rumah, sarana prasarana, serta pelbagai tempat lainnya. Namun, terjadinya bencana seperti banjir dan tanah longsor pada dasarnya mengingatkan kita agar lebih peduli terhadap alam. Penebangan hutan secara liar serta saluran air yang kurang memadai, di antaranya merupakan sebab-sebab terjadinya banjir sehingga akhirnya membawa bencana.

Semangat gotong royong

Di samping menjadi momen evaluasi bersama agar lebih peduli dengan keseimbangan alam, terjadinya bencana di saat bersamaan juga mengajak kita kembali memperkuat ikatan kesetiakawanan dan memperkokoh persaudaraan. Bencana yang menimpa sebagian saudara kita menggerakkan nurani dan batin kita untuk peduli terhadap kesusahan dan cobaan yang sedang dihadapi. Wujud kepedulian bisa melalui bantuan, baik berupa bantuan material, moril, tenaga, dan lain sebagainya.

Kepedulian memberi bantuan terhadap saudara sebangsa yang sedang tertimpa bencana menjadi wujud kesetiakawanan sosial dan persaudaraan sesama anak bangsa. Sebab, sebagai sebuah bangsa, kita memang sudah semestinya memiliki rasa saling peduli dan saling mengasihi antar satu sama lain, antar satu kelompok dengan kelompok lain, demi terciptanya harmoni dan persatuan sebangsa. Lebih dari itu, mentalitas yang memegang erat nilai-nilai kepedulian dan kebersamaan ini memang sudah menjadi jatidiri bangsa ini sejak berdiri, bahkan merupakan nilai yang sudah mengakar kuat di masyarakat Nusantara sejak lama.

Kita tahu bahwa para pendiri bangsa (founding fathers) ini menginginkan bangsa ini berdiri dan berjalan atas asas musyawarah-mufakat, kebersamaan, dan gotong royong. Nilai-nilai ini telah digali sejak lama dan menjadi bagian dari sejarah berdirinya bangsa ini. Bung Karno dalam sidang BPUPKI dalam penetapan dasar negara, bahkan mengungkapkan jika “gotong royong” merupakan satu kata yang tulen dan khas Indonesia, yang bahkan sempat beliau anggap sebagai perasan terakhir dari lima sila Pancasia. “Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan ‘gotong royong’” jelas Bung Karno. Beliau juga menjelaskan bahwa gotong royong merupakan suatu usaha bersama demi kepentingan bersama. “Gotong royong adalah pembanting tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama, amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua, holopis kuntul baris buat kepentingan semua! Itulah gotong royong!” tegas Bung Karno (Agustinus W. Dewantara, 2017:36).

Jika kita resapi perkataan Bung Karno tersebut, kita akan merasakan kuatnya nilai kegotongroyongan yang terus ditekankan agar menjadi jiwa bagi bangsa ini. Nilai kegotong royongan menjadi pengikat dan pemersatu kemajemukan yang ada di dalam tubuh bangsa Indonesia. Jika kita memiliki semangat gotong royong, berarti kita selalu berpikir bagaimana menguatkan sikap untuk saling peduli, saling menghargai, dan saling membantu antar satu sama lain, antar kelompok satu dengan kelompok lain, demi terwujudnya kehidupan bersama yang semakin baik, harmonis, dan damai.

Saling membantu

Gotong royong menjadi satu nilai dasar yang dinamis, bisa diaktualisasikan melalui pelbagai hal. Di sebuah negara gotong royong, jika ada satu tujuan atau pekerjaan bersama, gotong royong menjadi spirit yang menyatukan pelbagai kemajemukan dan pelbagai kepentingan sehingga menghasilkan kekuatan besar untuk menyelesaikan hajat bersama tersebut. Jika ada satu pihak yang sedang dilanda persoalan dan kesusahan, jiwa gotong royong menggerakkan pihak-pihak lain untuk peduli dan memberi bantuan. Artinya, semangat gotong royong begitu dinamis dan bisa terpancar melalui nilai-nilai saling peduli, saling mengasihi, saling menghargai, toleransi, dan pelbagai nilai yang penting untuk menciptakan kehidupan bersama yang harmonis.

Di sinilah, dalam konteks terjadinya pelbagai bencana alam akhir-akhir ini, spirit gotong-royong harus diwujudkan lewat rasa peduli dan kerja saling membantu untuk meringankan beban sesama yang sedang membutuhkan. Rasa kepedulian untuk membantu sesama yang membutuhkan, kita tahu, pada dasarnya adalah rasa kemanusiaan yang tertanam di sanubari setiap individu. Di sini orang tak lagi memandang perbedaan, baik status sosial, jabatan, pangkat, maupun perbedaan bersifat primordial seperti suku, ras, dan sebagainya. Orang tergerak membantu karena dilandasi ketulusan dan kepedulian sebagai sesama manusia.

Nilai-nilai dan kesadaran inilah yang sebenarnya sangat kita butuhkan akhir-akhir ini. Setelah berbulan-bulan selama kurang lebih setahun terakhir bangsa ini dilanda pertikaian, merebaknya provokasi dan ujaran kebencian (hate speech), menguatnya sentimen dan kebencian yang merenggangkan ikatan persaudaraan sebangsa, kini saatnya kita kembali bergandengan tangan, mengasah kepekaan, menguatkan kesetiakawanan sosial dan kepedulian pada sesama, agar ikatan persaudaraan kita kembali menguat.

Facebook Comments