Pribumisasi Islam dapat dikatakan sebagai buah pemikiran dari KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang lahir atas dasar kesadaran mendalam mengenai sejarah Islam di Nusantara. Seseorang tetap bisa menjadi muslim seratus persen tanpa meninggalkan tradisi dan budaya lokal seperti nyadran, sedekah bumi, selametan, ziarah kubur, dan tradisi-tradisi lokal lain yang menjadi basis kultural kehidupan masyarakat di Nusantara.
Gus Dur mengatakan, yang ‘dipribumikan’ adalah manifestasi kehidupan Islam belaka. Bukan ajaran yang menyangkut inti keimanan dan peribadatan formalnya. Tidak diperlukan ‘Quran Batak’ dan ‘Hadis Jawa’. Islam tetap Islam, dimana saja berada. Namun tidak berarti semua harus disamakan ‘bentuk luarnya’ (Gus Dur, 1987).
Manisfestasi atau perwujudan kehidupan Islam melalui tradisi dan budaya lokal itulah konsep kenusantaraan Gus Dur dalam mewujudkan Islam khas Nusantara. Tentu pemikiran Gus Dur ini tidak jauh dari pemahaman Islam para Wali Songo yang menggunakan tradisi dan budaya lokal sebagai instrumen penyebaran agama Islam pada abad 14-16 Masehi.
Wali Songo, begitu pula Gus Dur, sangat menyadari bahwa agama tidak bisa tumbuh jika tidak ada media tanam. Seperti halnya tumbuhan yang tak dapat tumbuh tanpa media tanam berupa tanah. Oleh karena itu, pribumisasi Islam menurut Gus Dur dapat mengembangkan tradisi, budaya, maupun seni lokal untuk menginternalisasi nilai-nilai Islam ke dalam masyarakat nusantara. Sehingga tradisi dan budaya Nusantara pun dapat difungsikan sebagai media aktualisasi Islam.
Secara metodologis, pribumisasi Islam adalah cara Gus Dur untuk membaca keislaman, kebudayaan dan keindonesiaan. Sehingga dari paradigma itulah lahir apa yang disebut Gus Dur sebagai sebuah ‘perwujudan kultural Islam’ (Gus Dur, 1974). Perwujudan tersebut tak lain adalah Islam Nusantara, yakni Islam yang mewujud melalui tradisi dan budaya lokal, namun bersifat universal karena basisnya adalah kebudayaan. Sehingga keliru jika menganggap bahwa Islam Nusantara merupakan upaya melokalisasi Islam.
Tapi ini juga bukan pikiran baru yang datang dari Gus Dur, karena sejak dulu para kiai pesantren sudah punya kecenderungan untuk menghadirkan jenis keislaman yang khas Indonesia, tanpa banyak dicampur unsur lokalitas Arab. Jadi, pribumisasi Islam hanya stempelnya saja. Gus Dur berjasa men-teorikan-nya. Gus Dur telah memberi nama terhadap jenis perjuangan yang dilakukan oleh para ulama Indonesia sejak Wali Songo sampai sekarang.
Sebagai metode untuk memahami Islam yang termanifestaskan melalui tradisi dan budaya lokal, pribumisasi Islam bukan tanpa tantangan. Kalangan Arab dengan paham Wahabinya hingga sekarang masih menilai bahwa Islam yang dicampuradukan dengan tradisi dan budaya membuat Islam tidak lagi murni secara teologis. Padahal seperti yang sudah Gus Dur jelaskan di awal, pribumisasi Islam tidak menyentuh wilayah keimanan seseorang atau ibadahnya secara formal.
Seperti yang berusaha penulis sampaikan, bahwa manifestasi Islam melalui tradisi dan budaya lokal bukan tanpa resistensi. Hal ini karena sifat Islam dan budaya yang cenderung tumpang tindih (overlapping) seperti yang dikemukakan oleh Gus Dur berikut ini:
agama (Islam) dan budaya mempunyai independensi masing-masing, tetapi keduanya mempunyai wilayah tumpang tindih. Bisa dibandingkan dengan independensi antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Orang tidak bisa berfilsafat tanap ilmu pengetahuan, tetapi tidak bisa dikatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah filsafat. Di antara keduanya terjadi tumpang tindih dan sekaligus perbedaan-perbedaan (Gus Dur, 2001).
Atas dasar itulah, kita bisa membahas antara pribumisasi Islam yang di-teorikan Gus Dur dan tantangan kebudayaan sekaligus. Namun dasar ini juga muncul karena kebudayaan diperlukan agama (Islam) sebagai media tanam tauhid. Selain itu, Islam juga dapat mewarnai kebudayaan yang berkembang secara terus-menerus. Dengan cara seperti inilah, Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin menemukan ruh-nya.
Perlu dicatat, bahwa pribumisasi Islam yang membentuk Islam Nusantara bukanlah sinkretisme. Karena pribumisasi Islam adalah perwujudan Islam melalui budaya lokal, bukan ke dalam budaya lokal. Kata ‘melalui’ mempunyai arti, bahwa Islam dan budaya masih terlihat dengan karakternya masing-masing. Berbeda dengan sinkretisme yang mempunyai arti perwujudan Islam ‘ke dalam’ budaya lokal. Sehingga masing-masing melebur dan karakternya hilang tanpa bekas.
Demikianlah Islam Nusantara yang dibawa Wali Songo dan dilanjutkan oleh para kiai pesantren seperti salah satunya Gus Dur. Islam yang membumi, ramah, damai, dan toleran sebagai upaya mewujudkan dakwah Islam secara substantif, bukan dakwah Islam yang cenderung simbolistik dan cenderung memunculkan paham kontra-produktif.