Siskamling Medsos: Mengelola Kritik, Mereduksi Konflik

Siskamling Medsos: Mengelola Kritik, Mereduksi Konflik

- in Narasi
1363
2
Siskamling Medsos: Mengelola Kritik, Mereduksi KonflikSiskamling Medsos: Mengelola Kritik, Mereduksi Konflik

Media sosial menjadi salah satu produk paling fenomenal di era teknologi informasi ini. Hampir semua orang yang melek teknologi tidak kenal kalangan, golongan umur, dan tempat tinggal menggandrungi dan tiap hari bercengkerama dengan media sosial.

Buktinya, dari sekitar tiga milliar orang sedunia, sekitar 40 persen menggunakan media sosial. Sedangkan di Indonesia menurut Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) 2016 menyebutkan bahwa pengguna media sosial sekitar 118,1 juta orang dari 132,7 juta orang pengguna internet dan total penduduk 256,2 juta orang. Media sosial yang paling familiar di Indonesia antara lain Facebook, Twitter dan Instagram.

Media sosial bagaikan pisau bermata dua. Artinya dapat berdampak positif maupun negative. Dilema ini tergantung kepada penggunanya. Masyarakat dapat mengoptimalkan medsos guna melakukan kritik sosial yang konstruktif. Di sisi lain penggunaan media sosial secara umum masih bersifat non-produktif. Masyarakat mesti lebih bijak dan produktif dalam penggunaan media sosial. Hal ini guna meminimalisasi pergeseran media sosial (medsos) yang justru berbuah konflik sosial. Salah satunya dengan gencar dilakukan siskamling dalam media sosial.

Kekuatan Medsos

Geliat politik tidak hanya panas di dunia faktual, tetapi semakin ramai dan luas merambah dunia virtual. Pengalaman Pemilu 2014 membuktikan lonjakan lalu lintas virtual dibandingkan pemilu sebelumnya. Hal ini tidak terlepas dari meledaknya warga virtual (netizen) di dunia termasuk Indonesia.

Medsos merupakan wahana informasi dan komunikasi paling mutakhir dan populer saat ini. Indonesia memiliki pengguna internet yang luar biasa banyak. Jakarta bahkan disebut sebagai ibukota media sosial berbasis teks. Tingkat penetrasi penggunaan internet di ditaksir mencapai 29 persen. Jumlah mobile subscription yang aktif mencapai 282 jutaan, dimana 74 persen untuk media sosial (Liem, 2015).

Kementerian Kominfo RI mengklaim pada tahun 2014 pengguna internet mencapai 137 juta orang. Padahal tahun 2012 pengguna internet Indonesia baru 55 juta orang. Kemenkominfo berharap di akhir tahun 2015 jumlah pengguna Internet di Indonesia telah mencapai angka 150 juta orang, atau sekitar 61 persen dari total penduduk.

Era komunikasi dan informasi telah menciutkan dunia menjadi global village. Ukuran geografis menjadi tidak bermakna dengan kehadiran medsos. Lalu lintas komunikasi menjadi tidak terbatas secara ruang dan waktu.

Ke depan kekuatan medos berpotensi menjadi kenyataan jika digarap secara serius. Kuncinya bagaimana teknologi dan globalisasi yang mengarah ke virtualisasi ini dapat kita tunggangi, bukan sebaliknya. (Dahana, 2012).

Medsos juga memiliki potensi disalahgunakan untuk hal-hal negatif. Internet seperti kertas, bisa dipergunakan untuk apapun (George, 2014). Hal ini menuntut partisipasi netizen guna mengawasi dan ikut memperbaiki kualitas komunikasi di medsos.

Dinamika medsos kadang mendapatkan hambatan pasca berlakunya UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Tindak pidana pencemaran nama baik yang diatur dalam UU ITE kerap digunakan jika isi berita ataupun kritikan tersebut tidak diterima oleh salah satu pihak (Enda, 2014). Sejak 2008 sampai 2014 tercatat ada 71 kasus pemidanaan pengguna Internet akibat terjerat Pasal 27 atau 28 UU ITE (ITC Watch, 2014).

Strategi Optimalisasi

Dinamika sosial politik di jagad medsos umumnya terdiri dari tiga bentuk, yaitu pencitraan, serangan politik, dan melawan serangan. Politik sebagai representasi persepsi publik cukup terbantu dengan medsos. Pencitraan menjadi keniscayaan asalkan bersifat positif sebagai bagian pendidikan politik dan penyeimbangan informasi publik.

Semua bentuk media virtual, seperti media sosial, media elektronik, dan media cetak penting pula dioptimalkan. Semakin banyak media dimanfaatkan, maka akan semakin banyak informasi, saran, masukan, dan kritik dari publik yang diserap. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah respon cepat. Komunikasi virtual mesti dilangsungkan dua arah secara dinamis. Tindak lanjut atas saran dan kritik mesti cepat dipublikasikan demi kepuasan publik.

Sebaliknya publik juga mesti mendayagunakan media virtual guna mengawal dan mengawasi pemerintahan. Informasi yang akurat akan membantu pertimbangan pemerintah dalam mendasari suatu kebijakan. Semua ini dapat membantu mempercepat upaya pemerataan dan keadilan pembangunan. Sedangkan saran dan kritik dapat menjadi bahan evaluasi sekaligus uji publik terkait rencana, wacana, atau kebijakan.

Komunikasi virtual hendaklah dimaknai dan dijalankan secara produktif. Diskusi, kritik tajam, hingga debat panjang menjadi fenomena positif asalkan dilakukan secara konstruktif. Pemerintah penting untuk tidak alergi kritik. Setiap kritik mestinya tidak dimaknai sebagai kebencian atau penolakan, tetapi sebagai bahan evaluasi penyempurnaan.

Publik juga penting mengedepankan etika dan norma dalam menyampaikan saran dan kritik. Kontroversi kebijakan dapat dilawan dengan kritik yang argumentatif. Ekspresi kemarahan adalah wajar, namun tidak selayaknya disampaikan secara membabi buta atau dengan bahasa kasar.

Facebook Comments