Etos Kepahlawanan dalam Siskamling Media Sosial

Etos Kepahlawanan dalam Siskamling Media Sosial

- in Narasi
986
1
Etos Kepahlawanan dalam Siskamling Media SosialEtos Kepahlawanan dalam Siskamling Media Sosial

Di tengah banjir hoax dan ujaran kebencian yang membuat gaduh media sosial, butuh gerakan anak bangsa yang mempunyai etos perjuangan. Sistem keamanan lingkungan (siskamling) memang sangat strategis untuk diaplikasikan dalam membangun anak bangsa sadar media dan berani menyetop hoax. Siskamling ini harus berjalan dengan berkelanjutan, sehingga butuh energi dan tenaga dalam. Apa itu? Etos kepahlawanan anak bangsa!

Etos kepahlawanan harus disuntikkan kepada generasi muda bangsa. Jangan sampai generasi muda bangsa sibuk dengan dirinya sendiri, mengabaikan persoalan kebangsaan. Siskamling media sosial akan menjadi gerakan yang kuat bila didorong oleh visi kepahlawanan. Bagaimana visi kepahlawanan itu digerakkan?

Pertama, jadikan spirit para pejuang bangsa sebagai ruh gerakan siskamling medsos. Para pejuang pendiri bangsa sudah mengukuhkan jati dirinya sebagai Indonesia: satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa. Tanah air yang sudah berdiri tegak harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan. Kepahlawanan hari ini tak bisa dilepaskan dari teknologi informasi yang makin canggih. Kaum muda milenial harus menjadi ujung tombak, karena tantangan kebangsaan begitu kompleks. Kaum muda milenial tak boleh gentar dengan penjajah bernama radikalisme yang memecah-belah persatuan.

Kedua, jadikan media sosial sebagai alat strategi perjuangan. Kalau dulu para pejuang menggunakan senjata bambu runcing, maka anak muda pejuang saat ini menggunakan media sosial sebagai senjata utama. Jarimu adalah alat perjuangan untuk menggerakkan media sosial sebagai perekat berbangsa dan bernegara. Media sosial adalah tempat anak muda pejuang dalam memberikan edukasi dan informasi kepada publik. Tentu saja edukasi dan informasi untuk menguatkan NKRI. Dengan begitu, radikalisme akan semakin tereliminasi.

Dari sini, kaum muda milenial harus tetap bertekad melanjutkan perjuangan para pendiri bangsa. Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, Jenderal Soedirman, bukanlah sosok menua pada jamannya. Mereka adalah kaum muda energik yang teguh berani menegakkan kebangsaan Indonesia.

Medsos dan Perjuangan Masa Depan

Media sosial adalah perjuangan masa depan. Siskamling media sosial harus menghadirkan gerakan baru anak bangsa dalam menyongsong era baru: era yang bersih dari hoax. Generasi muda milenial bukan generasi yang sibuk di bangku kuliah, melainkan mereka yang setiap saat ditemani smartphone. Generasi milenial begitu mudah mendapatkan akses informasi, kebutuhan apapun selalu dipenuhi dari smartphone, dan setiap detiknya selalu mendapatkan kejutan dalam hidupnya. Dalam hal pekerjaan, mereka begitu mudah mengakses berbagai lapangan kerja, bahkan sangat banyak yang membuka lapangan kerja. Mereka hidup dimanjakan teknologi yang melimpah, yang belum pernah didapatkan generasi sebelumnya.

Sayangnya, generasi milenial ini masih minim wawasan kebangsaannya. Karena sibuk dengan gadget, mereka tidak sadar bahwa hidupnya berada di tanah air bernama Indonesia. Mereka juga tidak sadar bahwa keseharian mereka masih menggunakan bahasa Indonesia, walaupun di dalam smartphone bahasa Indonesia sudah tidak banyak digunakan. Minimnya wawasan kebangsaan ini menjadikan generasi milenial mudah terjebak dalam gerakan radikal yang menolak Pancasila dan NKRI. Inilah tantangan serius yang mesti dicermati bersama.

Makanya, siskamling media adalah menjadi arah baru gerak kaum muda yang energik dan progresif yang bisa dicurahkan dalam upaya pembangunan dan pencerdasan bangsa. Watak kaum muda yang kritis dan terus gundah dengan persoalan sosial sangat tepat bila dialokasikan dalam menggugah nasionalisme dan patriatisme berbangsa dan bernegara.

Berguru Kembali: Menjawab Tantangan

Dari sinilah kaum muda harus diajak bangkit. Kaum muda harus diajak berguru kembali kepada tiga sosok pemimpin besar di masa kolonialisasi. Mereka adalah Soekarno dan Moh Natsir. Kedua sosok ini mempunyai spirit yang menggelora dalam menggerakan perubahan sosial. Dan itu semua sudah mereka lakukan sejak usianya yang masih belia, sekitar 20-an. Soekarno sendiri, misalnya, berkata bahwa kalau ada pemuda sudah berumur 21 atau 22. Sama sekali tidak berjuang, tak bercita-cita, tak bergiat untuk tanah air dan bangsa. Pemuda yang demikian baiknya digunduli saja kepalanya.

Soekarno dan Moh Natsir telah menetapkan dalam gerak langkah perjuangannya bahwa kemenangan sudah digenggam sejak semula. Sejak usia belia, ketika Indonesia masih digenggam oleh jerat kolonialisme, ketiganya telah memainkan peran strategis dalam melawan penindasan kaum kolonial. Bung Karno hadir dengan ajaran populis, kekeluargaan, karena itulah kenyataan hidup bangsanya. Dia kenakan peci hitam yang banyak digunakan orang Indonesia. Di atas meja makannya ada lukisan pengemis, agar dia ingat pada rakyat saat menyantap sayur lodeh, tahu, dan tempe kesukaannya.

Demikian juga M Natsir yang menggelorakan spirit sosialisme Islam. Sebagai pemimpin besar di Masyumi, Natsir mengilhami persatuan Islam dalam mengawal perubahan di Indonesia. Pemikiran-pemikiran Natsir membuka jalan berfikir yang kritis, menggugat kemapanan, menghendaki lahirnya gerakan sosial pembebasan dari belenggu kolonialisasi dan imprealisasi. Kedua pemimpin besar tersebut mewariskan perjuangan tak kelah lelah kepada generasi muda. Usia belia justru menjadi masa keemasan untuk meruntuhkan warisan kolonialisasi yang merenggut hak-hak warga negara.

Saat ini, anak muda harus serius dalam perjuang melalui media sosial. Dengan media sosial, anak muda hari ini akan membangun kembali nasionalisme dan nilai-nilai kebangsaan. Dari siskamling media sosial, anak muda bangsa akan menjadi pemimpin yang selalu tegas mengatakan: NKRI harga mati!

Facebook Comments