Pada suatu hari, Nabi Muhammad SAW berdiskusi dengan para sahabat mengenai sifat rahmah. Beliau memerintahkan para sahabat agar selalu menjaga sifat ini pada diri mereka serta menjelaskan pentingnya kedudukan sifat ini dalam Islam. Sebagian sahabat berkata, “Sesungguhnya kami menyayangi para istri kami, anak-anak kami, juga keluarga kami.”
Mendengar jawaban itu, Rasulullah tampaknya belum puas. Penjelasan mereka hanyalah mengimplikasikan sifat rahmah dalam ruang lingkup yang sangat kecil, padahal beliau menginginkan sifat rahmah itu lebih universal, lebih luas maknanya. Karena itu, beliaupun melanjutkan,”Bukan itu yangh aku mau,. Sesungguhnya yang aku inginkan adalah rahmah bagi seluruh alam.”
Rahmah atau pengasih adalah sifat yang dimiliki oleh Allah SWT dan juga hamba-hamba-Nya. Apabila kita melihatnya sebagai salah satu sifat Allah, maka ia memiliki arti sebagai Maha Pemberi dan Maha Kebaikan; dan bila kita lihat sebagai salah satu sifat manusia, maka ia berarti sifat lemah lembut dan penuh kasih sayang kepada sesama.
Muslim yang baik adalah yang slalu menjaga sifat ini dan dapat menebarkan kebaikannya kepada seluruh alam. Dengan demikian akan terciptalah apa yang disebut “Islam sebagai rahmah bagi seluruh alam”.
Banyak hal yang patut direnungkan dan dicermati dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita, terutama kita kaitkan dengan hari lahir Pancasila, 1 Juni, yang banyak diilhami oleh pemikiran para tokoh-tokoh muslim.
Kehidupan kebangsaan kita sekarang ini masih banyak diwarnai berbagai sikap yang seolah bertolak belakang dengan sifat rahmah pada diri warganya. Berbagai rentetan peristiwa yang memilukan, seperti kekerasan antar pemeluk agama, penutupan tempat ibadah, aksi kekerasan (terorisme) yang mengatasnamakan agama, kekerasan antar umat karena perbedaan pendapat, tindak keekrasan rumah tangga dan kekerasan dalam masyarakat hingga perilaku korupsi dari pusat ke daerah.
Bentuk-bentuk sikap tersebut jauh dari mencerminkan sifat rahmah, sebagaimana menjadi salah satu pesan kenabian tersebut. Fenomena tersebut tentu saja mengentak kesadaran kita, sebagai sebuah negara yang mengklaim sebagai negara yang religius, yang menempatkan sila pertama dasar negara adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Sementara pada sisi lain, ada problem mendasar yang belum terselesaikan menyangkut penghayatan terhadap agama sebagai kumpulan doktrin yang mewujud dalam perilaku kehidupan sosial masyarakat.
Sifat rahmah tentu saja mewujud dalam doktrin agama yang harus menjiwai semua pemeluknya. Maknanya bukan hanya dihayati tetapi juga dalam level pengamalan. Oleh sebab itu, agama sebagai sumber moral dan etika dalam kehidupan kebangsaan kita akan terasa indah jika sifat rahmah benar-benar menemukan relevansinya dalam bangunan negara kita yang plural.
Sirat rahmah juga harus menemukan relevansiny dalam membimbing umat Islam sehingga agama (Islam) tidak terjebak pada simbol kekerasan atau pengikutnya melegalkan cara-cara kekerasan dalam metode dakwahnya.
Harus diakui bahwa agama pada satu sisi sebagai sumber moral dan etika sering kali menghadapi tantangan modernitas, yakni sebagai doktrin di satu pihak akan bersinggungan dengan perilaku para penganut agama yang gagal atau tidak siap dalam menghadapi modernitas. Oleh sebab itu, pemeluk agama harus merenungkan arti perubahan sosial yang mereka alami dan merenungkan perilakunya terhadap situasi baru yang berkembang.
Jika pemeluk agama gagal merespons perubahan sosial yang sangat cepat, terutama dengan hadirnya paham atau isme-isme baru dalam masyarakat, baik yang bercorak agama maupun sekuler, bisa membawa penganut agama pada pemahaman agama yang keliru.
Sekarang ini muncul pemahaman dan paham-paham baru yang cenderung radikal dan menepikan sidat rahmah, yang bisa membawa sikap-sikap anggota masyarakat untuk meminggirkan pluralisme dan toleransi dalam pemikiran dan ibadah keagamaan.
Dengan kata lain, jika pesan agama dalam membawa rahmah kehilangan pengaruh dan relevansinya dalam kehidupan keseharian, akan mudah memunculkan konflik dan kekerasan yang mengancam toleransi keberagaman, terutama dipicu motif tertentu, seperti politik, ekonomi, sosial dan kekuasaan.
Peradaban Indonesia yang dibangun di atas landasan ideologi Pancasila harus selalu disegarkan dan disemai dalam setiap kesempatan agar tidak mudah terjerembab dalam pusaran kekerasan dan pertentangan. Indonesia akan tetap tegak jika UUD 1945 dan Pancasila sebagai filosofi bangsa dipertahankan dan diimplementasikan dengan sikap beragama yang penuh rahmah.
Pancasila bukan agama atau kitab suci tetapi pandangan hidup bangsa, dan hasil dari kesepakatan para pendiri bangsa ini dalam menentukan arah bangsa denga roh Islam di dalamnya. Kita selaraskan sikap hidup beragama dengan sikap penuh rahmah agar Indonesia dengan Ideologi Pancasila bisa menjadi tempat bersemayam semua penduduknya dengan latar belakang yang beragam dalam beragama, bermahzab, bersuku-suku, dan warna kulit.
Sumber: Republika, Senin, 1 juni 2015 (Hal 4, Opini)
Penulis: Fahruddin Salim, Dosen/Tenaga Ahli di DPR RI