Momentum hari perdamaian dunia yang biasa diperingati pada tanggal 21 September dapat menjadi titik balik bagi warganet untuk ikut merajut perdamaian antar buzzer digital. Dikatakan demikian karena buzzer selama ini turut berperan menyuburkan hoaks dan ujaran kebencian di media sosial. Akibatnya, hoaks kemudian telah menjadi industri yang membuat media sosial saban hari kian banal. Apalagi media sosial saat ini telah memiliki peran vital yang kemudian memancing para penumpang gelap dan kaum radikalis digital memanfaatkanya sebagai alat untuk memecah belah persatuan bangsa. Salah satunya dengan memanfaatkan hoaks dan ujaran kebencian sebagai konten utama guna merusak nilai-nilai tatanan persatuan dan kesatuan dalam nalar masyarakat Indonesia.
Konten hoaks kemudian telah menjadi sebuah industri pabrikasi yang direproduksi oleh oknum anti kebangsaan dengan berlandaskan sikap suka atau tidak suka, kebencian, hingga mengarah pada motif ekonomi. Jadi tidak salah bila kemudian alur pabrikasi hoaks saban hari kian profesional. Jika ditelisik, alur industri hoaks bekerja terbagi atas bagian produksi (think-thank), pemasaran (marketing), dan konsumen (follower). Setiap bagian kemudian diisi oleh para buzzer dan influencer profesional yang berwatak transaksional. Sistem kerjanya dimulai dari para buzzer yang bertugas menjadi marketing untuk mencari pemesan maupun donatur terutama menjelang ritus politik elektoral. Kemudian, setelah tercapai kesepakatan, ditindaklanjuti dengan memproduksi hoaks sesuai pesanan. Pada bagian produksi biasanya para buzzer bekerja cepat dengan menyajikan beragam konten hoaks. Frase yang digunakan tentulah bersifat provokatif, fitnah, ujaran kebencian hingga upaya menganti Pancasila.
Yang kian membuat gaduh dikarenakan hoaks seringkali menggunakan nama referensi pada orang yang dikenal publik dengan menyerupai media yang terverifikasi. Berhitung soal kemampuan, tentulah tidak diragukan lagi karena, para buzzer tersebut memiliki keahlian yang cukup cekatan, mulai dari pembuatan berbagai akun, me-recoveryakun anggotanya yang diblokir hingga meretas atau membajak akun orang lain. Untuk mempengaruhi dan mendorong menjadi opini publik atau bahkan menjadi kelompok penekan terhadap kebijakan tertentu, seringkali para buzzer dan influencer ini mengunakan tagar, serta didukung oleh ribuan follower baik akun real maupun robot baik anonim, semi anomin hingga sindikasi akun-akun buzzer. Terakhir bagian konsumen atau follower. Bagian ini berisikan buzzer pemula maupun warganet bersedia menjadi follower karena berlandaskan ideologi hingga kebencian terhadap kelompok, tokoh, agama maupun institusi tertentu.
Hal itu dapat dilacak dari follower yang bekerja secara masif tanpa pamrih sehingga difungsikan sebagai relawan digital untuk sekedar membantu menyebarkan konten hingga Like dan Share. Dalam penyebaran konten negatif, para buzzer yang menjadi distributor hoaks tak lagi berlandaskan data dan aspek rasionalitas, akan tetapi faktor suka atau tidak suka hingga kebencian. Sedangkan, sasarannya rerata merupakan tokoh politik, etnis, kelompok, institusi hingga upaya mendeligitimasi beragam kebenaran pihak-pihak yang akan disasar. Gambaran ini kian menegaskan bahwa buzzer dan industri hoaks telah menjadi ladang bisnis baru seiring meningkatnya kebutuhan penggunaan media sosial saat ini. Jika dibiarkan dikhawatirkan segregrasi atau kerenggangan hubungan sosial makin melebar hingga bisa menyulut perpecahan antar anak bangsa. Dikatakan demikian karena media sosial hingga saat ini masih cukup efektif digunakan untuk memprovokasi atau mempropaganda.
Oleh sebab itu, untuk merajut perdamaian antar buzzer digital, pemerintah dan warganet harus dapat mengedepankan beberapa hal diantaranya;
Pertama, menegaskan agenda literasi digital kebangsaan secara terstruktur, masif dan berkelanjutan. Tujuanya untuk mengerakan para warganet dan buzzer bersama-sama agar bisa membaca isu-isu sensasional yang diimbangi upaya membangun kerangka berpikir kritis dan logis. Dengan begitu, ketika menerima hoaks yang mengarah pada upaya “pecah belah antara suku agama dan antar golongan” dengan sendirinya akan terpacu untuk melakukan verifikasi dan konfirmasi agar bisa menemukan kebenaran tentang informasi tersebut. Dengan demikian, wargabet akan semakin rasional untuk tidak ikut serta menyebarluaskan hoaks.
Kedua, pemerintah dituntut untuk lebih mengintensifkan “kampanye bijak media sosial” terutama kepada kaum muda dan komunitas digital. Hal itu bisa dimulai dengan membangun komunitas konten kreator yang bernafaskan Pancasila. Para konten kreator ini bisa ditugasi mereproduksi berbagai konten mulai dari meme, video, hingga tulisan yang menyisipkan nilai-nilai perdamaian dan Pancasila. Dengan demikian, para generasi milenial akan tetap mengingat Pancasila sebagai ideologi perdamaian dan pemersatu bangsa. Berbagai langkah taktis itu pula, sedikit banyak akan memperpendek ruang gerak buzzer yang berwatak transaksional. Dengan begitu kita berharap akan banyak buzzer Pancasilais yang bisa mengajak para buzzer “hitam” untuk bisa bersama-sama merajut perdamaian dan ikut menghentikan sekaligus membenamkan hoaks.