Kampus sebagai Pesemaian Lima Asas

Kampus sebagai Pesemaian Lima Asas

- in Narasi
1188
0
Kampus sebagai Pesemaian Lima Asas

Mahasiswa adalah elit terdidik yang akan melanjutkan tongkat peradaban bangsa ini. Kejayaan dan kehancuran negeri ini tergantung pada mereka. Jika agen perubahan ini mampu mengelola keberagaman, niscaya cahaya persatuan akan menaungi setiap jengkal tanah air Indonesia. Sebaliknya, ketika mahasiswa tidak sanggup mengatur kemajemukan setiap insan yang berpijak di atas Ibu Pertiwi, maka masa depan nusantara menjadi buram. Sehingga tidak ada pilihan lain bagi mahasiswa selain memberikan kontribusi terbaiknya bagi persatuan bangsa. Mahasiswa tidak boleh berkhianat dengan menjadi agen-agen permusuhan dan perpecahan. Termasuk menjadi penyokong ideologi yang menghancurkan bangunan kebangsaan. Mahasiswa pun wajib memperkuat ketahanan dirinya dari paham-paham radikal dan intoleran yang mengancam kerukunan hidup.

Dalam konteks di atas, maka kita patut mengapresiasi hadirnya Permenristekdikti No. 55 Tahun 2018 tentang Pembinaan Ideologi Bangsa dalam Kegiatan kemahasiswaan di Perguruan Tinggi. Permenristekdikti ini menyebutkan bahwa PT bertanggung jawab melakukan pembinaan ideologi bangsa, yang mengacu pada empat pilar kebangsaan yaitu UUD 1945, Pancasila, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika, bagi mahasiswa dalam kegiatan kurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler. Permenristekdikti juga mewajibkan kampus membentuk Unit Kegiatan Mahasiswa Pengawal Ideologi Bangsa (UKM-PIB). Organisasi ekstra kampus dapat bergabung dalam UKM-PIB. Tujuan utama dari hadirnya peraturan ini adalah agar mahasiswa terhindar dari perilaku radikal dan intoleran.

Baca juga :Memerah Putihkan Kampus, Menangkal Radikalisme

Sebenarnya, tanpa kehadiran peraturan ini, lembaga/organisasi/komunitas di lingkungan kampus telah banyak yang melakukan penanaman nilai-nilai ke-Indonesiaan kepada para mahasiswa. Contohnya Latihan Kader HMI; Daurah Marhalah KAMMI; MAPABA (Masa Penerimaan Anggota Baru) PMII; Pekan Penerimaan Anggota Baru GMNI; semuanya kerap mendiskusikan tema-tema kebangsaan dengan sangat serius. Begitu pun organisasi internal kampus seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Keluarga Mahasiswa (KM), Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), dsb. Artinya kesadaran untuk menjaga narasi persatuan dan kesatuan, sekaligus urgensi berbangsa dan bernegara di kalangan kampus bukan merupakan hal yang asing. Hal ini yang perlu dijaga agar semakin banyak pihak yang peduli dan berperan langsung menjaga keutuhan negeri ini.

Tetapi apa yang selama ini telah dilakukan aktivis kampus tampaknya perlu ditingkatkan, baik kualitas maupun kuantitasnya. Sebab ancaman dan tantangan terhadap kebhinnekaan, yang menyasar mahasiswa, semakin kentara. Marak didapati perilaku intoleran justru dilakukan oleh kaum terdidik. Bahkan banyak mahasiswa yang telah terjerumus dalam organisasi radikal. Termasuk pemikiran mereka yang telah terpapar ideologi anti-NKRI. Pancasila dianggap berhala yang menghalangi ekspresi keberagamaan seseorang. Peraturan perundang-undangan yang berlaku dituduh sekuler dan tidak pro agama. Segala sesuatu yang tidak sesuai dengan paham yang dianutnya lantas dipandang pantas untuk dihancurkan. Pemikiran merasa diri sebagai pihak yang paling benar adalah batu sandungan utama menciptakan masyarakat pluralis yang menghargai perbedaan.

Kelompok radikal dan intoleran ini, meskipun jumlahnya kecil, sangat lantang menyuarakan sikap mereka yang berbeda dengan spirit kebangsaan. Jika tidak diwaspadai, secara perlahan akan mempengaruhi mahasiswa lain yang memiliki pandangan moderat. Sebab suatu hal yang dilakukan secara terus-menerus akhirnya dianggap sebagai hal biasa. Apabila kebiasaan yang dilakukan merupakan kebaikan, tentu tidak menjadi masalah. Sementara jika kebiasaan tersebut merupakan hal yang buruk, niscaya akan merusak. Hal inilah yang menimbulkan kesan kampus telah disusupi kelompok-kelompok radikal. Untuk menangkalnya, kelompok-kelompok mahasiswa yang memiliki pandangan kebangsaan yang solid harus keluar dan menunjukkan eksistensinya. Dan meneriakkan dengan lantang perlawanan terhadap ideologi perusak ikatan kebangsaan.

Dalam hal inilah, Permenristekdikti No. 55 Tahun 2018 menjadi sangat relevan. Permenristekdikti dapat menjadi wadah untuk terus mengokohkan dan menajamkan konsep Pancasila sehingga sesuai dengan kebutuhan zaman. Mhd Halkis (2017: 9) menjelaskan bahwa Pancasila menfasilitasi beragam perbedaan. Dan inilah pentingnya Pancasila. Ideologi negara ini terbuka dari beragam sudut pandang untuk menentukan keputusan yang benar. Bahkan dapat untuk melawan formalitas pemerintah. Pancasila tidak bersifat otoriter, bulat, dan utuh. Tetapi tidak juga kosing dan tdak berisi. Selain itu, Pancasila dalam kehidupan praktis bukan merupakan hubungan linear Pancasila sebagai dasar negara. Melainkan tentang interaksi relasi sosial untuk merespons Pancasila dan memberikan dampak dalam menentukan nilai-nilai Pancasila.

Facebook Comments