Civitas Akademika Bersatu Melawan Radikalisme

Civitas Akademika Bersatu Melawan Radikalisme

- in Narasi
1333
2
Civitas Akademika Bersatu Melawan Radikalisme

Persebaran radikalisme kian mengkhawatirkan saja. Bukan sekadar menyasar orang-orang awam saja yang secara ekonomi lemah, melainkan juga merambat secara perlahan ke dunia akademik kita, dari tingkat yang terendah sampai tertinggi. Jika demikian masifnya infiltrasi radikalisme di berbagai institusi pendidikan, lantas generasi macam apa yang kelak mengisi kantong-kantong sosial-politik negara-bangsa Indonesia?

Tentu, generasi dengan perspektif intoleranlah yang akan mengisi negara-bangsa Indonesia. Padahal, semenjak awal Indonesia berdiri, sudah berkomitmen untuk menjadi negara-bangsa yang merangkul semua perbedaan, dan mengasakan kehidupan masyarakat yang adil dan makmur, baik lahir maupun batin.

Fenomena masifnya infiltrasi radikalisme di sektor pendidikan sebenarnya adalah duka kita bersama. Karena, hal ini berkaitan dengan upaya kaderisasi generasi muda untuk mempersiapkan para pemimpin masa depan. Maka dari itu, memerangi radikalisme amat perlu dilakukan, karena hal ini adalah perjuangan jangka panjang.

Badan Intelejen Nasional (BIN) merisil hasil survei pada 2017, bahwa ada sekitar 39 persen mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia telah terpapar paham-paham radikal. Sebanyak 24 persen mahasiswa dan 23,3 persen palajar tingkat sekolah menengah atas (SMA) juga setuju dengan jihad dalam arti menegakkan negara Islam atau khilafah di Indonesia. (www.news.okezone.com)

Temuan ini menjadi penanda bahwa infiltrasi radikalisme ke dalam dunia pendidikan nyata adanya. Terlebih sasarannya yang nota bene remaja/generasi muda, yang secara psikologis kerap mengalami krisis identitas dan mencoba untuk mengidentifikasi diri. Begitu bertemu dengan radikalisme, lalu tertarik dengan ideologi yang ditawarkan, apalagi sudah dibumbui dengan dalil agama, tentu dengan mudah akan tumbuh-kembang menjadi pribadi yang radikal, dalam arti memiliki perspektif keagamaan intoleran.

Perspektif intoleran yang bercokol di benak generasi muda adalah awal mula terbentuknya konsep terorisme. Dengan kata lain, radikalisme merupakan pintu awal menuju aksi-aksi kekerasan atas nama agama dan berlandaskan dalil-dalil agama. Terlebih, jika secara sosial-politik amat mendukung tumbuhnya radikalisme-terorisme, tentu menjadi momentum yang tepat untuk mereka beraksi.

Maka dari itu, diperlukan pengetahuan mengenai faktor-faktor yang memunculkan terorisme, terutama dalam lingkup pendidikan, sebagai ‘produsen’ calon-calon pemimpin bangsa.

Yudi Latif (2018) dalam Ma’rifat Pagi menjelaskan faktor-faktor tumbuh-kembangnya terorisme di tanah air. Pertama, terorisme itu mencerminkan kemiskinan kehidupan keagamaan. Bahwa agama hanya dijalankan secara ritualistik, tapi gersang spirit keagamannya.

Kedua¸ terorisme mencerminkan relasi kemanusiaan pada tingkat global yang mengabaikan hak-hak asasi manusia, rasa keadilan, dan keadaban. Hal ini bisa kita temukan dalam realitas sehari-hari, bahwa hukum kerap runcing ke bawah dan mendadak tumpul ketika berhadapan dengan orang berduit.

Ketiga, terorisme mencerminkan pelumpuhan kapasitas kewarganeragaan untuk menjalin persatuan dalam keragaman. Studi-studi sosiologi agama menemukan fakta bahwa fundamentalisme sebagai akar terorisme mudah menjangkiri pribadi dengan pergaulan tertutup –tidak terbiasa dan membiasakan diri bersosial dengan karakteristik manusia yang beragam.

Keempat, terorisme mencerminkan penyimpangan dalam pelaksanaan kedaulatan rakyat. Demokrasi yang dianut negara-bangsa Indonesia mestinya berakar pada prinsip musyawarah mufakat, tapi justru mengadopsi nilai-nilai demokrasi liberal. Kelima¸terorisme mencerminkan persoalan pemenuhan kesejahteraan dan keadilan. Merebaknya ketidakadilan menjadi lahan subur pengembangbiakan terorisme-radikalisme.

Berbagai faktor tersebut, menurut Yudi Latif terjadi lantaran minimnya internalisasi Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Begitu juga di dunia akademik, semakin diabaikannya Pancasila sebagai prinsip hidup, maka pertumbuhan radikalisme terorisme pun akan masif.

Maka dari itu, di samping memiliki wawasan kebangsaan yang baik, para dosen juga mesti menyelipkan nilai-nilai Pancasila pada setiap perkuliahan. Bahwa sehatnya iklim dialog di kelas, merupakan salah satu prasyarat untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa tentang konsep Pancasila dan pilar-pilar penyangga NKRI.

Selain itu, juga diperlukan kerja sama dalam tataran mahasiswa. Baik itu mahasiswa akademis maupun organisatoris, mesti memiliki andil dalam penyemaian nilai Pancasila, untuk memberikan edukasi tentang urgensi bangsa dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Bahwa agama tidaklah tepat untuk dipertentangkan dengan konsep negara, karena nyatanya negara juga mengadopsi nilai-nilai agama untuk memperkokoh pilarnya.

Kegiatan-kegiatan yang diadakan mahasiswa mesti memuat nilai-nilai kebangsaan, sebagai upaya kaderisasi. Sehingga, begitu mahasiswa keluar dari kampus, memiliki perspektif keagamaan yang lebih santun, dan tak alergi lagi dengan perbedaan, baik yang berbasis suku, ras, agama, maupun golongan. Pendeknya, mereka bisa tumbuh-kembang menjadi insan yang santun dan kritis dalam merespon realitas keagamaan yang kerap dipolitisir.

Facebook Comments