Kata “gotong royong” penulis rasa tidak akan asing ditelinga orang Indonesia. Ya, tentu saja karena gotong royong merupakan budaya orang Indonesia dari zaman dulu sampai sekarang, makanya sering ada yang namanya “Jumsih” (Jum’at Bersih) atau apa lah itu yang pada intinya adalah untuk urusan beres-beres kampung halaman agar lebih cepat bersih dari segala kotoran yang ada, seperti membersihkan solokan mampet, memotong rumput, atau membuang sampah yang berserakan.
Gotong royong pun tidak hanya persoalan bersih-bersih tapi juga akan menumbuhkan rasa kebersamaan setiap orang yang ikut dalam gotong royong tersebut, kemudian semua pekerjaan akan lebih mudah selesai apa bila dilakukan bersama, mungkin itu sedikitnya terkait dengan gotong royong secara umumnya, namun bisakah gotong royong ini masuk keranah dunia digital dan memiliki versi 4.0? Karena pada hari ini dunia digital seperti media sosial sudah banyak konten-konten yang berbau layaknya sampah, selokan mampet dan rumput yang mulai tumbuh liar dimana-mana.
Contohnya saja makin banyak konten-konten ujaran kebencian, hoax dan konten negatif lainnya yang tengah mengotori kampung halaman (time line) media sosial kita masing-masing. Dalam catatan Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) pada Oktober 2018 saja terdapat konten negatif yang bertebaran di media sosial Facebook sekitar 47,83%, Twitter 12,17%, Whatsapp 11,74%, dan Youtube 7,83%.
Konten negatif ini didomnisai oleh hoax yang bermuatan politik dalam rentang waktu Juli-September 2018 ada 230 hoax yang terverifikasi. Sebanyak 58,7 persen diantaranya bermuatan politik, 7,39 persen agama, 7,39 persen penipuan, 6,69 persen lalu lintas dan 5,2 persen kesehatan. Isinya amat meresahkan dan membuat kita geregetan ingin ikut marah-marah juga. Tapi kalo pun kita ikut marah-marah maka akan sama saja kita memperkeruh dan mengotori time line kita sendiri, ibaratnya api dilawan api hanya menyulut kebakaran yang lebih besar.
Baca juga :Menyemai Cinta di Alam Maya
Kemudian sebenarnya sudah ada hukumannya bagi orang-orang yang menyebarkan ujaran kebencian, hoax dan lain sebagainnya, tapi kenapa ko belum bisa meminimalisir hal tersebut, malah semakin menjamur dan sampai ribuan akun bermunculan untuk menyebarkan ujaran kebencian, hoax dan konten negatif lainnya.
Lalu apa yang harus kita perbuat dengan hal seperti ini? Tentu saja kita harus mencari solusi lainnya dengan cara yang berbeda, seperti melakukan pendekatan lunak. Pendekatan lunak ini seperti halnya membanjiri media sosial dengan pesan cinta dan damai. Melawan api dengan api hanya akan menyulut kebakaran yang lebih besar. Ujaran kebencian, hoax, dan konten negatif lainnya di media sosial harus dilawan dengan pengarusutamaan narasi cinta damai.
Tentu hal ini tidak hanya dilakukan oleh satu atau dua orang maka dari itu kita harus melakukannya secara bersamaan, terutama bagi orang-orang yang memiliki pengetahuan literasi digital, minimalnya mengerti apa itu ujaran kebencian, hoax dan konten negatif lainnya. layaknya gotong royong seperti budaya yang kita miliki namun bedanya dengan versi digital (4.0) dan alat yang lebih simpel, yaitu, menggunakan jempol, kuota dan smartphone (gawai)
Jempol kita menjadi alat untuk menyebarkan konten perdamaian sedangkan gawai dan kuota adalah media penyalur untuk membersihkan konten negatif yang menjamur di media sosial,
Media sosial harus dibanjiri dengan pesan dan narasi cinta damai secara terus-menerus sehingga konten negatif semakin tertimbun oleh konten-konten positif yang dilakukan secara masif oleh banyak orang yang ikut dalam gotong royong versi 4.0, layaknya membersihkan sampah, solokan mampet dan rumput yang tumbuh liar.
Kita harus sebarkan dengan ramai-ramai agar lebih cepat bersih kemudian harus dilakukan dengan rasa sukarela karena kalo bukan kita orang-orang yang peduli lalu siapa lagi? Mari mulai mencitai jangan membenci untuk kehidupan sosial yang lebih baik dan lebih sehat.